Friday 3 October 2014

SBY-Boediono Gagal Lindungi Anak Bangsa

JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, kasus kekerasan terhadap pelajar terus bermunculan. Pelecehan seksual di TK JIS dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) adalah dua di antaranya. Pemerintahan ini dinilai gagal melindungi para pelajar.

"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).

Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.

Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.

Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.

"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.

Sumber: Kompas.com 

Penulis: Arimbi Ramadhiani

Editor

: Palupi Annisa Auliani

Tuesday 5 August 2014

Perubahan Kurikulum Dilakukan secara Gegabah

JAKARTA - Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah gegabah dalam melakukan perubahan kurikulum.

Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.

“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.

Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.

Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.

Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.

“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.

Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.

“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.

Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.

Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.

Klinik Guru

Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.

Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.

“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.

Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.

Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.

“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.

Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.

Wednesday 23 July 2014

Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas

Media Indonesia, 14 Juli 2014
Oleh Doni Koesoema A.



Baru pertamakalinya di dalam sejarah, kedua tim sukses dari masing-masing kubu, yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowidodo-Jusuf Kalla, berdialog dengan para penyandang disabilitas untuk membahas masa depan mereka. Tema tentang hak-hak penyandang disabilitas bisa dikatakan sangat marjinal, jarang bahkan tidak dibahas dalam debat visi dan misi calon presiden, serta luput dari gelora kampanye.

Dalam dialog yang diadakan di aula Pegadaian, Kramat Raya, beberapa waktu lalu, perwakilan dari kedua tim sukses, Edy Prabowo (kubu Prabowo-Hatt), Rieke Dyah Pitaloka (kubu Jokowi-JK) berjanji untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas siapapun Presidennya. Kedua juru bicara adalah wakil rakyat yang lolos ke senayan dalam pileg lalu. Janji ini tentu menggembirakan. Namun, persoalan penyandang disabilitas bukanlah masalah janji-janji manis, melainkan aksi nyata yang membuat keberadaan mereka lebih bermartabat.

Kasus persyaratan SNMPTN yang diskriminatif bagi penyandang disabilitas, diskriminasi masuk SMA/SMK hanyalah gunung es dari persoalan fundamental pendidikan yang tidak memandang penyandang disabilitas sebagai manusia. Mereka dianggap sebagai objek penghalang dan beban, bahkan kalau toh dianggap sebagai manusia, mereka dianggap sebagai orang yang harus dikasihani. Paradigma ini sesat dan harus dikoreksi.

Penyandang disabilitas adalah manusia yang bermartabat dan memiliki hak. Perjuangan mereka adalah perjuangan demi penegakan kemanusiaan itu sendiri. Hak memperoleh pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas dilindungi oleh Konstitusi kita. Mereka bukan hanya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, melainkan juga sama seperti individu non-disabel, mereka memiliki keseluruhan hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bernegara, di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Publik mulai menyadari persoalan penyandang disabilitas ketika penyandang disabilitas sendiri mulai menyadari pentingnya menyuarakan hak-hak mereka. Bahkan, para penyandang disabilitas sudah sangat maju dengan secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (RUU Penyandang Disabilitas), sebagai pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Perubahan Radikal

RUU Penyandang disabilitas sudah masuk dalam salah satu prioritas Prolegnas 2014. RUU ini akan mengubah secara radikal paradigma kita terhadap penyandang disabilitas, dan tentu saja, perubahan paradigma ini akan memiliki pengaruh besar pada praksis pendidikan kita.

Perubahan radikal pertama adalah perubahan filosofis dari paradigma karitatif menjadi hak asasi manusia. UU No. 4 tahun 1997 masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang patut dikasihani, namun tidak memiliki hak. Karena itu, perlakuan terhadap mereka sekedar karitatif, berdasarkan rasa belas kasihan semata. Paradigma ini berubah menjadi pendekatan hak. Sebagai hak asasi, hak para penyandang disabilitas bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dicabut, atau dihilangkan oleh siapapun termasuk Negara.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada 2007 dan dikuatkan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas mewajibkan bahwa keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada melindungi hak-hak asasi penyandang disabilitas.

Kedua, persoalan penyandang disabilitas bukanlah persoalan individual, yaitu masalah ada pada penyandang disabilitas, melainkan pada unsur sosial, yaitu pemahaman masyarakat, negara, dan aparatur negara terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga negara. Mereka selama ini dianggap sebagai aib, objek penghalang. Masyarakatlah yang harus mengubah cara pandang mereka terhadap penyandang disabilitas. Mereka juga manusia yang memiliki hak dan martabat yang luhur, yang tidak pernah boleh dilecehkan oleh siapapun.

Ketiga, secara hukum yuridis, konsep tentang penyandang disabilitas berubah. Bila dalam UU No. 4/1997 masih memakai istilah penyandang cacat, istilah ini sudah tidak tepat lagi dan harus dihilangkan, sebab cacat fisik dan mental bukanlah sebuah kecelakaan yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Istilah yang lebih manusiawi dan dipakai sekarang adalah penyandang disabilitas. Pembedaannya bukan antara yang cacat dengan normal, melainkan pada disabel dan non-disabel. Mereka semua adalah sama-sama manusia yang memiliki hak dan martabat yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Bukan Inklusi

Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dalam praksis pendidikan kita selama ini hanyalah tempelan dan tambahan. Ini terbukti dengan adanya lembaga pendidikan yang inklusif. Padahal, semestinya tidak ada sekolah yang inklusi, sebab pendidikan itu pada hakikatnya adalah inklusi. Bila pendidikan adalah inklusi, yaitu membantu setiap warga negara, siapapun mereka untuk dapat terlibat dan berbaur dalam pengembangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, pembatasan-pembatasan apapun atas dasar alasan disabilitas merupakan sikap tidak adil dan diskriminatif. Setiap penyandang disabilitas memiliki hak untuk masuk dan mengenyam pendidikan dari jenjang, jalur, dan jenis pendidikan apapun mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Konsep kita tentang pendidikan umum dengan program inklusi harus dihapus. Pemahaman yang distortif terhadap pendidikan inklusi telah berakibat bahwa praksis pendidikan inklusi sekedar formalitas. Pemerintah secara formal menyediakan keberadaan pendidikan inklusi, namun hal-hal fundamental, seperti ketersediaan sarana belajar, guru, akomodasi wajar proses belajar siswa, sistem evaluasi dan kurikulum, tidak berubah. Ini sama saja memberikan kesempatan berenang pada penyandang disabilitas, namun tidak disediakan pelampung, atau penjaga kolam renang, sehingga penyandang disabilitas akhirnya tenggelam dalam pendekatan sekolah inklusi sebab tak memperoleh akomodasi satu pun.

Ketiadaan sarana-prasarana dan tenaga di Perguruan Tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan para penyandang disabilitas dari akses mereka terhadapa pendidikan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai tinggi. Negara bertanggungjawab untuk menyediakan akses ini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi

Bukan Semalam

Membalik keadaan, di mana sistem pendidikan kita memiliki jiwa adil dan menerapkan prinsip non-diskriminasi terhadap penyandang disabilitas bukanlah pekerjaan semalam. Namun, pekerjaan ini tidak dapat dilakukan bila paradigma dan visi kita tentang kehadiran para penyandang disabilitas tidak berubah. Dalam konteks pendidikan, perubahan radikal ini harus disertai desain jangka panjang dan eksplisitasi penghargaan terhadap penyandang disabilitas dalam aturan hukum dan perundang-undangan kita. Untuk itu, ada tiga prioritas yang mesti segera dikerjakan.

Pertama, pemerintah harus secara eksplisit dan tegas menyatakan dan mengukuhkan dalam produk hukum dan praksis bahwa penyandang disabilitas tidak didiskriminasi dalam mengenyam pendidikan dalam jenjang manapun, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah tidak boleh sekedar lipservice dengan menghapus persyaratan diskiminatif dalam SNMPTN, namun tetap mempraktikkan perilaku diskriminatif secara diam-diam.

Kedua, pemerintah harus mendesain secara jelas kebijakan afirmatif apa yang akan mereka lakukan untuk mengakomodasi kehadiran para penyandang disabilitas agar memiliki keterbukaan akses pada setiap jalur pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah harus secara jelas menyatakan bahwa pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi adalah inklusif, dan pemerintah memiliki program dan agenda yang jelas untuk menyediakan berbagai macam perangkat dan sistem agar kebijakan ini diterapkan dengan semakin baik dan masa depan.

Ketiga, harus ada proses penilaian dan asesmen yang utuh ketika pemerintah menentukan seseorang harus masuk sekolah khusus, melalui kriteria dan proses yang secara objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah khusus hanya diperuntukkan bagi mereka yang sungguh-sungguh secara khusus tidak dapat berintegrasi dengan sekolah umum baik dari segi kurikulum, metode, sarana, guru dan tujuan.

Masyarakat dan para pengambil kebijakan harus terbuka dan berani mengoreksi konsep dan paradigma mereka tentang kehadiran para penyandang disabilitas. Sebuah masyarakat yang beradab dan manusiawi hanya bisa dilihat dari bagaimana sistem, struktur, dan perilaku masyarakat itu menghargai kehadiran para penyandang disabilitas, terutama dalam kehidupan publik.

Penyandang disabilitas adalah manusia. Mereka adalah saudara-saudara kita, yang patut kita perlakukan dengan penuh cinta, dan dilindungi dalam sebuah produk hukum, undang-undang, peraturan, dan praksis kehidupan bermasyarakat yang menghargai harkat dan martabat mereka sebagai ciptaan Tuhan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan

Tuesday 1 July 2014

Menyingkap Misteri Veronika

Apakah Anda tahu siapakah Veronika, perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di jalan salibNya? Hampir bisa dipastikan, setiap umat Katolik tahu siapa Veronika. Namun, bila ditanya lebih jauh tentang sosok ini, mereka tidak dapat memberikan jawaban lain selain, "ia adalah perempuan yang mengusap wajah Yesus." Lain itu tidak ada informasi lain. Siapakah dia sesungguhnya, berasal dari mana, bagaimana kisahnya, dll. Veronika tetap menjadi misteri bagi kita, sebab namanya tidak tertulis dalam Injil, namun menjadi sangat populer dalam prosesi doa jalan salib terutama pada pemberhentian ke-enam, yang menampilkan sosok penuh belas kasih ini.

Buku ini mengajak pembaca untuk menelusur dari mana sebenarnya asal-usul gambaran dan kisah Veronika yang sampai pada kita saat ini, yaitu sosok perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di perjalanan menuju Kalvari, di mana ia kemudian memperoleh gambar wajah Yesus.

Kisah tentang Veronika bukanlah tanpa asal. Ketika merekonstruksi Veronika dari perspektif sejarah, ditemukan beberapa fakta menarik. Kisah tentang Veronika yang sampai pada kita saat ini bukanlah satu-satunya kisah yang ada tentang Veronika, baik sebagai sosok perempuan kudus ataupun kisat tentang gambar Yesus. Di berbagai tempat, terdapat berbagai kisah legendaris tentang Veronika. Siapakah dia sebenarnya?

Bila Anda memiliki nama Baptis Veronika, Anda wajib memiliki buku ini karena buku ini akan memandu Anda bagaimana menghayati nama pelindung Veronika. Bagi Anda yang punya kenalan bernama Veronika, Anda mesti memastikan bahwa Andalah orang pertama yang menghadiahi teman Anda tersebut dengan buku luar biasa ini. Bagi Anda yang tidak memiliki saudara atau teman yang bernama Veronika, namun penasaran dengan sosok yang sangat legendaris di kalangan umat Katolik ini, Anda wajib membaca buku ini, dan mendapatkan pencerahan yang luar biasa dari buku ini.

Mungkin Anda tidak tahu, beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Vatikan menyembunyikan fakta-fakta tentang Veronika ini? Dan banyak yang menyimpulkan bahwa Selubung Veronika yang berada di Vatikan  yang sering dieskpose setiap Tahun Yubileum itu palsu. Benarkah? Apa kepentingan Vatikan merahasiakan misteri keberadaan Selubung Veronika ini?

Dan apakah misteri lain yang tersembunyi dari kisah Veronika ini?

Jawabnya hanya bisa Anda temukan di Buku ini!

Tuesday 3 September 2013

Pendidikan di Kongres Diaspora



Reformasi pendidikan nasional tidak dapat diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang. Rezim telah berlaku pongah, abai terhadap suara rakyat, serta tidak serius mengurus pendidikan. Itulah pesan utama dari diskusi Task Force Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2013.
Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti proyeksi peningkatan ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi, meningkatnya kualitas pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas, sudah tidak lagi membuat peserta terpukau.

Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten, di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia, bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi pembohongan publik.

Tiga pesan

Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional saat ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak teori. Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.

Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang diaspora maupun yang ”diaspora” di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan begitu dahsyat.
Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan terdidik (well-educated).

Pertama, kita perlu membentuk Dewan Pendidikan Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan pendidikan terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh para politisi yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam pengembangan kebijakan pendidikan nasional.

Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya belajar nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang tradisional, cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan kegairahan belajar dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan budaya belajar multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya hanya menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar bertumbuh secara kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat sekitar.

Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu luas dan besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu warga negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, mesti membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain melalui berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan berkelanjutan ini dapat segera terwujud.

Tiga kritik

Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitasnya. Proses ”pemaksaan” Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap lima tahun.

Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi para pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa otoritas akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan, dan itu memang benar.

Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir sebagai pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa, dan bisa mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas ruang dan waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu secara tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah warga negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja pendidikan perlu segera ditinggalkan.

Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral, efektivitas penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.

Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan, komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara bangsa-bangsa lain.

Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada masa depan. (Kompas, 29 Agustus 2013)
Doni Koesoema A — Pemerhati Pendidikan

Pendidikan Keagamaan