Tuesday 5 August 2014

Perubahan Kurikulum Dilakukan secara Gegabah

JAKARTA - Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah gegabah dalam melakukan perubahan kurikulum.

Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.

“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.

Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.

Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.

Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.

“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.

Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.

“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.

Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.

Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.

Klinik Guru

Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.

Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.

“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.

Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.

Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.

“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.

Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.

Wednesday 23 July 2014

Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas

Media Indonesia, 14 Juli 2014
Oleh Doni Koesoema A.



Baru pertamakalinya di dalam sejarah, kedua tim sukses dari masing-masing kubu, yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowidodo-Jusuf Kalla, berdialog dengan para penyandang disabilitas untuk membahas masa depan mereka. Tema tentang hak-hak penyandang disabilitas bisa dikatakan sangat marjinal, jarang bahkan tidak dibahas dalam debat visi dan misi calon presiden, serta luput dari gelora kampanye.

Dalam dialog yang diadakan di aula Pegadaian, Kramat Raya, beberapa waktu lalu, perwakilan dari kedua tim sukses, Edy Prabowo (kubu Prabowo-Hatt), Rieke Dyah Pitaloka (kubu Jokowi-JK) berjanji untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas siapapun Presidennya. Kedua juru bicara adalah wakil rakyat yang lolos ke senayan dalam pileg lalu. Janji ini tentu menggembirakan. Namun, persoalan penyandang disabilitas bukanlah masalah janji-janji manis, melainkan aksi nyata yang membuat keberadaan mereka lebih bermartabat.

Kasus persyaratan SNMPTN yang diskriminatif bagi penyandang disabilitas, diskriminasi masuk SMA/SMK hanyalah gunung es dari persoalan fundamental pendidikan yang tidak memandang penyandang disabilitas sebagai manusia. Mereka dianggap sebagai objek penghalang dan beban, bahkan kalau toh dianggap sebagai manusia, mereka dianggap sebagai orang yang harus dikasihani. Paradigma ini sesat dan harus dikoreksi.

Penyandang disabilitas adalah manusia yang bermartabat dan memiliki hak. Perjuangan mereka adalah perjuangan demi penegakan kemanusiaan itu sendiri. Hak memperoleh pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas dilindungi oleh Konstitusi kita. Mereka bukan hanya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, melainkan juga sama seperti individu non-disabel, mereka memiliki keseluruhan hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bernegara, di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Publik mulai menyadari persoalan penyandang disabilitas ketika penyandang disabilitas sendiri mulai menyadari pentingnya menyuarakan hak-hak mereka. Bahkan, para penyandang disabilitas sudah sangat maju dengan secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (RUU Penyandang Disabilitas), sebagai pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Perubahan Radikal

RUU Penyandang disabilitas sudah masuk dalam salah satu prioritas Prolegnas 2014. RUU ini akan mengubah secara radikal paradigma kita terhadap penyandang disabilitas, dan tentu saja, perubahan paradigma ini akan memiliki pengaruh besar pada praksis pendidikan kita.

Perubahan radikal pertama adalah perubahan filosofis dari paradigma karitatif menjadi hak asasi manusia. UU No. 4 tahun 1997 masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang patut dikasihani, namun tidak memiliki hak. Karena itu, perlakuan terhadap mereka sekedar karitatif, berdasarkan rasa belas kasihan semata. Paradigma ini berubah menjadi pendekatan hak. Sebagai hak asasi, hak para penyandang disabilitas bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dicabut, atau dihilangkan oleh siapapun termasuk Negara.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada 2007 dan dikuatkan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas mewajibkan bahwa keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada melindungi hak-hak asasi penyandang disabilitas.

Kedua, persoalan penyandang disabilitas bukanlah persoalan individual, yaitu masalah ada pada penyandang disabilitas, melainkan pada unsur sosial, yaitu pemahaman masyarakat, negara, dan aparatur negara terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga negara. Mereka selama ini dianggap sebagai aib, objek penghalang. Masyarakatlah yang harus mengubah cara pandang mereka terhadap penyandang disabilitas. Mereka juga manusia yang memiliki hak dan martabat yang luhur, yang tidak pernah boleh dilecehkan oleh siapapun.

Ketiga, secara hukum yuridis, konsep tentang penyandang disabilitas berubah. Bila dalam UU No. 4/1997 masih memakai istilah penyandang cacat, istilah ini sudah tidak tepat lagi dan harus dihilangkan, sebab cacat fisik dan mental bukanlah sebuah kecelakaan yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Istilah yang lebih manusiawi dan dipakai sekarang adalah penyandang disabilitas. Pembedaannya bukan antara yang cacat dengan normal, melainkan pada disabel dan non-disabel. Mereka semua adalah sama-sama manusia yang memiliki hak dan martabat yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Bukan Inklusi

Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dalam praksis pendidikan kita selama ini hanyalah tempelan dan tambahan. Ini terbukti dengan adanya lembaga pendidikan yang inklusif. Padahal, semestinya tidak ada sekolah yang inklusi, sebab pendidikan itu pada hakikatnya adalah inklusi. Bila pendidikan adalah inklusi, yaitu membantu setiap warga negara, siapapun mereka untuk dapat terlibat dan berbaur dalam pengembangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, pembatasan-pembatasan apapun atas dasar alasan disabilitas merupakan sikap tidak adil dan diskriminatif. Setiap penyandang disabilitas memiliki hak untuk masuk dan mengenyam pendidikan dari jenjang, jalur, dan jenis pendidikan apapun mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Konsep kita tentang pendidikan umum dengan program inklusi harus dihapus. Pemahaman yang distortif terhadap pendidikan inklusi telah berakibat bahwa praksis pendidikan inklusi sekedar formalitas. Pemerintah secara formal menyediakan keberadaan pendidikan inklusi, namun hal-hal fundamental, seperti ketersediaan sarana belajar, guru, akomodasi wajar proses belajar siswa, sistem evaluasi dan kurikulum, tidak berubah. Ini sama saja memberikan kesempatan berenang pada penyandang disabilitas, namun tidak disediakan pelampung, atau penjaga kolam renang, sehingga penyandang disabilitas akhirnya tenggelam dalam pendekatan sekolah inklusi sebab tak memperoleh akomodasi satu pun.

Ketiadaan sarana-prasarana dan tenaga di Perguruan Tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan para penyandang disabilitas dari akses mereka terhadapa pendidikan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai tinggi. Negara bertanggungjawab untuk menyediakan akses ini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi

Bukan Semalam

Membalik keadaan, di mana sistem pendidikan kita memiliki jiwa adil dan menerapkan prinsip non-diskriminasi terhadap penyandang disabilitas bukanlah pekerjaan semalam. Namun, pekerjaan ini tidak dapat dilakukan bila paradigma dan visi kita tentang kehadiran para penyandang disabilitas tidak berubah. Dalam konteks pendidikan, perubahan radikal ini harus disertai desain jangka panjang dan eksplisitasi penghargaan terhadap penyandang disabilitas dalam aturan hukum dan perundang-undangan kita. Untuk itu, ada tiga prioritas yang mesti segera dikerjakan.

Pertama, pemerintah harus secara eksplisit dan tegas menyatakan dan mengukuhkan dalam produk hukum dan praksis bahwa penyandang disabilitas tidak didiskriminasi dalam mengenyam pendidikan dalam jenjang manapun, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah tidak boleh sekedar lipservice dengan menghapus persyaratan diskiminatif dalam SNMPTN, namun tetap mempraktikkan perilaku diskriminatif secara diam-diam.

Kedua, pemerintah harus mendesain secara jelas kebijakan afirmatif apa yang akan mereka lakukan untuk mengakomodasi kehadiran para penyandang disabilitas agar memiliki keterbukaan akses pada setiap jalur pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah harus secara jelas menyatakan bahwa pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi adalah inklusif, dan pemerintah memiliki program dan agenda yang jelas untuk menyediakan berbagai macam perangkat dan sistem agar kebijakan ini diterapkan dengan semakin baik dan masa depan.

Ketiga, harus ada proses penilaian dan asesmen yang utuh ketika pemerintah menentukan seseorang harus masuk sekolah khusus, melalui kriteria dan proses yang secara objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah khusus hanya diperuntukkan bagi mereka yang sungguh-sungguh secara khusus tidak dapat berintegrasi dengan sekolah umum baik dari segi kurikulum, metode, sarana, guru dan tujuan.

Masyarakat dan para pengambil kebijakan harus terbuka dan berani mengoreksi konsep dan paradigma mereka tentang kehadiran para penyandang disabilitas. Sebuah masyarakat yang beradab dan manusiawi hanya bisa dilihat dari bagaimana sistem, struktur, dan perilaku masyarakat itu menghargai kehadiran para penyandang disabilitas, terutama dalam kehidupan publik.

Penyandang disabilitas adalah manusia. Mereka adalah saudara-saudara kita, yang patut kita perlakukan dengan penuh cinta, dan dilindungi dalam sebuah produk hukum, undang-undang, peraturan, dan praksis kehidupan bermasyarakat yang menghargai harkat dan martabat mereka sebagai ciptaan Tuhan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan

Tuesday 1 July 2014

Menyingkap Misteri Veronika

Apakah Anda tahu siapakah Veronika, perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di jalan salibNya? Hampir bisa dipastikan, setiap umat Katolik tahu siapa Veronika. Namun, bila ditanya lebih jauh tentang sosok ini, mereka tidak dapat memberikan jawaban lain selain, "ia adalah perempuan yang mengusap wajah Yesus." Lain itu tidak ada informasi lain. Siapakah dia sesungguhnya, berasal dari mana, bagaimana kisahnya, dll. Veronika tetap menjadi misteri bagi kita, sebab namanya tidak tertulis dalam Injil, namun menjadi sangat populer dalam prosesi doa jalan salib terutama pada pemberhentian ke-enam, yang menampilkan sosok penuh belas kasih ini.

Buku ini mengajak pembaca untuk menelusur dari mana sebenarnya asal-usul gambaran dan kisah Veronika yang sampai pada kita saat ini, yaitu sosok perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di perjalanan menuju Kalvari, di mana ia kemudian memperoleh gambar wajah Yesus.

Kisah tentang Veronika bukanlah tanpa asal. Ketika merekonstruksi Veronika dari perspektif sejarah, ditemukan beberapa fakta menarik. Kisah tentang Veronika yang sampai pada kita saat ini bukanlah satu-satunya kisah yang ada tentang Veronika, baik sebagai sosok perempuan kudus ataupun kisat tentang gambar Yesus. Di berbagai tempat, terdapat berbagai kisah legendaris tentang Veronika. Siapakah dia sebenarnya?

Bila Anda memiliki nama Baptis Veronika, Anda wajib memiliki buku ini karena buku ini akan memandu Anda bagaimana menghayati nama pelindung Veronika. Bagi Anda yang punya kenalan bernama Veronika, Anda mesti memastikan bahwa Andalah orang pertama yang menghadiahi teman Anda tersebut dengan buku luar biasa ini. Bagi Anda yang tidak memiliki saudara atau teman yang bernama Veronika, namun penasaran dengan sosok yang sangat legendaris di kalangan umat Katolik ini, Anda wajib membaca buku ini, dan mendapatkan pencerahan yang luar biasa dari buku ini.

Mungkin Anda tidak tahu, beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Vatikan menyembunyikan fakta-fakta tentang Veronika ini? Dan banyak yang menyimpulkan bahwa Selubung Veronika yang berada di Vatikan  yang sering dieskpose setiap Tahun Yubileum itu palsu. Benarkah? Apa kepentingan Vatikan merahasiakan misteri keberadaan Selubung Veronika ini?

Dan apakah misteri lain yang tersembunyi dari kisah Veronika ini?

Jawabnya hanya bisa Anda temukan di Buku ini!

Tuesday 3 September 2013

Pendidikan di Kongres Diaspora



Reformasi pendidikan nasional tidak dapat diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang. Rezim telah berlaku pongah, abai terhadap suara rakyat, serta tidak serius mengurus pendidikan. Itulah pesan utama dari diskusi Task Force Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2013.
Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti proyeksi peningkatan ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi, meningkatnya kualitas pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas, sudah tidak lagi membuat peserta terpukau.

Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten, di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia, bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi pembohongan publik.

Tiga pesan

Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional saat ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak teori. Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.

Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang diaspora maupun yang ”diaspora” di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan begitu dahsyat.
Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan terdidik (well-educated).

Pertama, kita perlu membentuk Dewan Pendidikan Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan pendidikan terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh para politisi yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam pengembangan kebijakan pendidikan nasional.

Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya belajar nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang tradisional, cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan kegairahan belajar dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan budaya belajar multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya hanya menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar bertumbuh secara kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat sekitar.

Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu luas dan besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu warga negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, mesti membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain melalui berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan berkelanjutan ini dapat segera terwujud.

Tiga kritik

Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitasnya. Proses ”pemaksaan” Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap lima tahun.

Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi para pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa otoritas akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan, dan itu memang benar.

Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir sebagai pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa, dan bisa mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas ruang dan waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu secara tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah warga negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja pendidikan perlu segera ditinggalkan.

Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral, efektivitas penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.

Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan, komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara bangsa-bangsa lain.

Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada masa depan. (Kompas, 29 Agustus 2013)
Doni Koesoema A — Pemerhati Pendidikan

Saturday 18 August 2012

Telah terbit buku : Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh

Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012


“Saat ini banyak sekolah mulai memikirkan dan menyelenggarakan pendidikan karakter dengan berbagai bentuk yang berbeda. Dalam usaha untuk mencari bentuk pendidikan karakter yang lebih menyeluruh dan utuh, tulisan sdr. Doni Koesoema ini memberikan banyak gagasan, masukan dan alternatif dalam merencanakan pendidikan karakter. Doni menjelaskan arti, dasar, filosofi, dan berbagai metode pendidikan karakter yang integral. Analisis persoalan dalam pendidikan karakter dibahas mendalam. Yang tidak kalah penting, juga  dibicarakan bagaimana menilai dan mengukur keberhasilan pendidikan karakter, yang sering menjadi kesulitan di lapangan. Singkatnya, tulisan ini banyak memberikan kekayaan pada pembaca yang berminat dalam pendidikan karakter di Indonesia.”

Paul Suparno, S.J., guru besar pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

“Karakter adalah dasar dari segala bentuk keberhasilan. Tanpa karakter maka kekayaan, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah keberhasilan. Oleh sebab itu pendidikan karakter sangatlah penting bagi bangsa. Bahkan karakter adalah inti dari pendidikan yang kita tanamkan pada siswa. Kegagalan menanamkan karakter pada siswa akan mendatangkan bencana. Di sinilah pentingnya buku Doni Koesoema ini. Buku ini membahas permasalahan pendidikan karakter sejak teori sehingga praksisnya. Buku ini sangat komprehensif membahas tentang Pendidikan Karakter dan merupakan buku yang sangat layak untuk dijadikan referensi bagi para pendidik yang ingin mengajarkan dan menanamkan karakter bangsa pada anak didiknya.”
  
Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Independen 

“Pendidikan karakter telah menjadi gerakan nasional. Ada kerinduan untuk merevitalisasi pendidikan karakter dalam praksis pendidikan kita. Dalam rangka revitalisasi itu, sudah ada banyak buku dan telaah yang membahas tentang pendidikan karakter. Namun semua itu dirasa masih kurang. Buku sumber tentang pendidikan karakter masih langka. Buku Mas Doni tentang Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh memperkaya wacana dan praksis kita tentang pendidikan karakter. Buku ini pantas dibaca oleh para pendidik, orang tua, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum agar revitalisasi pendidikan karakter berjalan dengan lebih baik.”

Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

Wednesday 15 August 2012

Memutus Rantai Tawuran Pelajar

Oleh Doni Koesoema A

Memprihatinkan! Mengawali tahun ajaran baru dan bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta muncul lagi.

Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!

Tanggung jawab minim

Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.

Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.

Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.

Kultur sekolah lemah

Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.

Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.

Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.

Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.

Ketidakhadiran negara

Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.

Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.

Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.

Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.

Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif- edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.

Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.

Peran komunitas sekolah

Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.

Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.

Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan

Kompas, 31 Juli 2012

Wednesday 21 December 2011

Kekerasan

Dunia Pendidikan mengakhiri tahun ini dengan satu kata tebal: Kekerasan. Seorang siswa sebuah sekolah ditusuk saat berada di sebuah kafe, juara olimpiade matematika wafat sia-sia di tangan seorang kriminal, seorang anak SD membunuh anak SMP, seorang mahasiswa tewas dikeroyok teman sekampusnya, dan rentetan peristiwa tradisi tawuran pelajar seakan tak pernah henti. Kasus penolakan anak SD untuk bersekolah hanya karena orang tuanya mengidap penyakit HIV, meski sekarang kasus ini telah selesai, juga merupakan sebentuk kekerasan psikologis dan sosial bagi sang anak. Kekerasan telah menjadi kanker akut dalam dunia pendidikan kita.

Jika ditilik dari penyebarannya, kekerasan bukan hanya akut terjadi dalam lembaga pendidikan, melainkan juga dalam tatanan sosial masyarakat secara umum. Tawuran telah menggejala mulai dari kampung, sekolah, antar kelompok organisasi dalam masyarakat di jalanan, atau antar politisi di gedung-gedung megah tempat suara rakyat mestinya didengarkan. Penyiksaan dan pembantaian orang utan pun pun semakin mencoreng gambaran Negara kita sebagai bangsa yang ramah. Indonesia sekarang sudah identik dengan kekerasan.

Mempromosokan sebuah gerakan damai, anti kekerasan dalam sebuah masyarakat yang gemar menghunus pedang jelas merupakan sebuah sikap yang menantang arus. Butuh keberanian dan jiwa yang besar untuk tidak putus asa dalam menyuarakan pentingnya semangat perdamaian tumbuh dalam hati anak-anak. Sebab, justru di sinilah terletak tugas mulia seorang pendidik, yaitu menumbuhkan semangat damai dalam diri anak didik, bukan malah menyuburkan agresivitas yang ada dalam diri mereka.

Sayangnya, para pendidik sendiri seringkali lupa, bahwa sebagai pendidik, ia juga adalah pemelihara, pelindung, dan mestinya menjadi sumber rasa nyaman. Masyarakat segera ingin kembalinya pendidikan karakter untuk mengatasi berbagai macam perilaku destruktif dan merusak yang terjadi dalam dunia pendidikan. Di mana peranan pendidikan karakter dalam konteks ini?

Mengatakan bahwa kekerasan merupakan bukti kegagalan pendidikan karakter di sekolah kita bukanlah sebuah argumentasi yang cerdas. Pendapat seperti ini terkesan defensif. Namun, marilah kita sekarang melihat apa yang ada di benak para pendidik ketika sebuah peristiwa kekerasan itu terjadi. Ada tiga pemikiran yang bisa kita analisis terkait dengan kekerasan dalam lembaga pendidikan.

Pertama, ketika terjadi sebuah peristiwa kekerasan, para pendidik secara spontan berpikir tentang kekerasan fisik yang terjadi di dalam lingkungan sekolah. Karena itu, ketika terjadi peristiwa kekerasan siswa, entah itu berupa tawuran ataupun perilaku kriminal, para pendidik dengan sigap membentengi diri dengan berkata, perilaku kekerasan itu terjadi di luar sekolah. Jadi, kekerasan yang terjadi itu bukan tanggungjawab guru atau sekolah.

Kedua, ketika kekerasan itu terjadi di dalam lingkungan sekolah, para pendidik memiliki kebingungan tentang bagaimana mengatasinya. Beberapa kasus, kekerasan dan bullying yang terjadi dalam lingkungan sekolah tidak terdeteksi dengan baik. Para pendidik baru menyadari ketika kasusnya sudah parah, atau beredar di masyarakat melalui jejaring sosial. Para pendidik, kalah lihai dibandingkan dengan para aggressor, pelaku kekerasan, sementara mereka gagal melindungi korban yang selama ini menjadi korban pemalakan ataupun pelecehan.

Ketiga, anak-anak sendiri memiliki berbagai macam persoalan psikologis, sosial, ataupun trauma masa lalu yang akarnya adalah keluarga. Karena itu, para pendidik berpikir bahwa perilaku kekerasan dalam diri anak didik itu muncul karena ‘dosa-dosa’ di dalam keluarga. Lembaga pendidikan bisa lepas tangan dalam hal ini. Sikap inipun adalah juga berciri defensif, tidak mau disalahkan, dan melimpahkan tanggungjawab ke orang lain.

Apa yang mesti dilakukan?

Para pendidik mesti menyadari bahwa perilaku kekerasan memiliki banyak akar, baik itu dalam lingkungan sekolah sendiri, di mana sekolah gagal menanamkan nilai cinta kasih serta penghargaan terhadap tubuh orang lain, baik itu dalam lingkungan masyarakat, baik itu dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat secara umum. Kekerasan juga bisa memiliki akar psikologis yang perlu diselesaikan melalui proses pendampingan dan terapi dengan bantuan psikolog profesional.

Persoalan kekerasan, bisa mulai dari yang tidak kasat mata, seperti pelecehan terhadap pribadi, tidak adanya pengakuan sosial atas keberadaan individu, berupa kekerasan psikologis, sampai pada perilaku kekerasan fisik yang merusak, menghancurkan orang lain.

Dalam banyak hal, persoalan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kita melibatkan berbagai macam dimensi, baik itu individual, psikologis, serta sosial. Karena itu, perilaku kekerasan, agar berkurang dalam lembaga pendidikan kita, memerlukan kerjasama lintas ilmu, melalui sebuah program jangka panjang yang tidak akan cukup jika hanya diatas melalui seminar atau lokakarya dengan para guru, siswa dan pendidik. Melawan budaya kekerasan, hanya bisa dilawan dengan membangun budaya penghargaan terhadap setiap tubuh manusia, tubuh diri sendiri maupun tubuh orang lain. Penghargaan terhadap tubuh merupakan prinsip pertama pilar keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.

Karena itu, diperlukan pendekatan lintas ilmu, lintas departemen. Pendidikan untuk perdamaian, yang menghargai setiap tubuh sebagai berharga dan bernilai, dapat kita lihat dari perilaku kita sendiri, terhadap tubuh kita sendiri, serta perlakukan kita terhadap tubuh orang lain. Apakah Anda mencintai tubuh Anda dan memelihara tubuh Anda? Apakah Anda juga penuh perhatian dan peduli pada tubuh orang lain, menghargai mereka sebagai bagian integral dan hakiki bagi individu?

Itulah tantangan mendesak kita dalam memasuki tahun baru 2012.

Tangerang, 20 Desember 2012

Pendidikan Keagamaan