Saturday 18 August 2012

Telah terbit buku : Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh

Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012


“Saat ini banyak sekolah mulai memikirkan dan menyelenggarakan pendidikan karakter dengan berbagai bentuk yang berbeda. Dalam usaha untuk mencari bentuk pendidikan karakter yang lebih menyeluruh dan utuh, tulisan sdr. Doni Koesoema ini memberikan banyak gagasan, masukan dan alternatif dalam merencanakan pendidikan karakter. Doni menjelaskan arti, dasar, filosofi, dan berbagai metode pendidikan karakter yang integral. Analisis persoalan dalam pendidikan karakter dibahas mendalam. Yang tidak kalah penting, juga  dibicarakan bagaimana menilai dan mengukur keberhasilan pendidikan karakter, yang sering menjadi kesulitan di lapangan. Singkatnya, tulisan ini banyak memberikan kekayaan pada pembaca yang berminat dalam pendidikan karakter di Indonesia.”

Paul Suparno, S.J., guru besar pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

“Karakter adalah dasar dari segala bentuk keberhasilan. Tanpa karakter maka kekayaan, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah keberhasilan. Oleh sebab itu pendidikan karakter sangatlah penting bagi bangsa. Bahkan karakter adalah inti dari pendidikan yang kita tanamkan pada siswa. Kegagalan menanamkan karakter pada siswa akan mendatangkan bencana. Di sinilah pentingnya buku Doni Koesoema ini. Buku ini membahas permasalahan pendidikan karakter sejak teori sehingga praksisnya. Buku ini sangat komprehensif membahas tentang Pendidikan Karakter dan merupakan buku yang sangat layak untuk dijadikan referensi bagi para pendidik yang ingin mengajarkan dan menanamkan karakter bangsa pada anak didiknya.”
  
Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Independen 

“Pendidikan karakter telah menjadi gerakan nasional. Ada kerinduan untuk merevitalisasi pendidikan karakter dalam praksis pendidikan kita. Dalam rangka revitalisasi itu, sudah ada banyak buku dan telaah yang membahas tentang pendidikan karakter. Namun semua itu dirasa masih kurang. Buku sumber tentang pendidikan karakter masih langka. Buku Mas Doni tentang Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh memperkaya wacana dan praksis kita tentang pendidikan karakter. Buku ini pantas dibaca oleh para pendidik, orang tua, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum agar revitalisasi pendidikan karakter berjalan dengan lebih baik.”

Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

Wednesday 15 August 2012

Memutus Rantai Tawuran Pelajar

Oleh Doni Koesoema A

Memprihatinkan! Mengawali tahun ajaran baru dan bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta muncul lagi.

Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!

Tanggung jawab minim

Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.

Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.

Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.

Kultur sekolah lemah

Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.

Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.

Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.

Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.

Ketidakhadiran negara

Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.

Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.

Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.

Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.

Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif- edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.

Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.

Peran komunitas sekolah

Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.

Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.

Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan

Kompas, 31 Juli 2012

Wednesday 21 December 2011

Kekerasan

Dunia Pendidikan mengakhiri tahun ini dengan satu kata tebal: Kekerasan. Seorang siswa sebuah sekolah ditusuk saat berada di sebuah kafe, juara olimpiade matematika wafat sia-sia di tangan seorang kriminal, seorang anak SD membunuh anak SMP, seorang mahasiswa tewas dikeroyok teman sekampusnya, dan rentetan peristiwa tradisi tawuran pelajar seakan tak pernah henti. Kasus penolakan anak SD untuk bersekolah hanya karena orang tuanya mengidap penyakit HIV, meski sekarang kasus ini telah selesai, juga merupakan sebentuk kekerasan psikologis dan sosial bagi sang anak. Kekerasan telah menjadi kanker akut dalam dunia pendidikan kita.

Jika ditilik dari penyebarannya, kekerasan bukan hanya akut terjadi dalam lembaga pendidikan, melainkan juga dalam tatanan sosial masyarakat secara umum. Tawuran telah menggejala mulai dari kampung, sekolah, antar kelompok organisasi dalam masyarakat di jalanan, atau antar politisi di gedung-gedung megah tempat suara rakyat mestinya didengarkan. Penyiksaan dan pembantaian orang utan pun pun semakin mencoreng gambaran Negara kita sebagai bangsa yang ramah. Indonesia sekarang sudah identik dengan kekerasan.

Mempromosokan sebuah gerakan damai, anti kekerasan dalam sebuah masyarakat yang gemar menghunus pedang jelas merupakan sebuah sikap yang menantang arus. Butuh keberanian dan jiwa yang besar untuk tidak putus asa dalam menyuarakan pentingnya semangat perdamaian tumbuh dalam hati anak-anak. Sebab, justru di sinilah terletak tugas mulia seorang pendidik, yaitu menumbuhkan semangat damai dalam diri anak didik, bukan malah menyuburkan agresivitas yang ada dalam diri mereka.

Sayangnya, para pendidik sendiri seringkali lupa, bahwa sebagai pendidik, ia juga adalah pemelihara, pelindung, dan mestinya menjadi sumber rasa nyaman. Masyarakat segera ingin kembalinya pendidikan karakter untuk mengatasi berbagai macam perilaku destruktif dan merusak yang terjadi dalam dunia pendidikan. Di mana peranan pendidikan karakter dalam konteks ini?

Mengatakan bahwa kekerasan merupakan bukti kegagalan pendidikan karakter di sekolah kita bukanlah sebuah argumentasi yang cerdas. Pendapat seperti ini terkesan defensif. Namun, marilah kita sekarang melihat apa yang ada di benak para pendidik ketika sebuah peristiwa kekerasan itu terjadi. Ada tiga pemikiran yang bisa kita analisis terkait dengan kekerasan dalam lembaga pendidikan.

Pertama, ketika terjadi sebuah peristiwa kekerasan, para pendidik secara spontan berpikir tentang kekerasan fisik yang terjadi di dalam lingkungan sekolah. Karena itu, ketika terjadi peristiwa kekerasan siswa, entah itu berupa tawuran ataupun perilaku kriminal, para pendidik dengan sigap membentengi diri dengan berkata, perilaku kekerasan itu terjadi di luar sekolah. Jadi, kekerasan yang terjadi itu bukan tanggungjawab guru atau sekolah.

Kedua, ketika kekerasan itu terjadi di dalam lingkungan sekolah, para pendidik memiliki kebingungan tentang bagaimana mengatasinya. Beberapa kasus, kekerasan dan bullying yang terjadi dalam lingkungan sekolah tidak terdeteksi dengan baik. Para pendidik baru menyadari ketika kasusnya sudah parah, atau beredar di masyarakat melalui jejaring sosial. Para pendidik, kalah lihai dibandingkan dengan para aggressor, pelaku kekerasan, sementara mereka gagal melindungi korban yang selama ini menjadi korban pemalakan ataupun pelecehan.

Ketiga, anak-anak sendiri memiliki berbagai macam persoalan psikologis, sosial, ataupun trauma masa lalu yang akarnya adalah keluarga. Karena itu, para pendidik berpikir bahwa perilaku kekerasan dalam diri anak didik itu muncul karena ‘dosa-dosa’ di dalam keluarga. Lembaga pendidikan bisa lepas tangan dalam hal ini. Sikap inipun adalah juga berciri defensif, tidak mau disalahkan, dan melimpahkan tanggungjawab ke orang lain.

Apa yang mesti dilakukan?

Para pendidik mesti menyadari bahwa perilaku kekerasan memiliki banyak akar, baik itu dalam lingkungan sekolah sendiri, di mana sekolah gagal menanamkan nilai cinta kasih serta penghargaan terhadap tubuh orang lain, baik itu dalam lingkungan masyarakat, baik itu dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat secara umum. Kekerasan juga bisa memiliki akar psikologis yang perlu diselesaikan melalui proses pendampingan dan terapi dengan bantuan psikolog profesional.

Persoalan kekerasan, bisa mulai dari yang tidak kasat mata, seperti pelecehan terhadap pribadi, tidak adanya pengakuan sosial atas keberadaan individu, berupa kekerasan psikologis, sampai pada perilaku kekerasan fisik yang merusak, menghancurkan orang lain.

Dalam banyak hal, persoalan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kita melibatkan berbagai macam dimensi, baik itu individual, psikologis, serta sosial. Karena itu, perilaku kekerasan, agar berkurang dalam lembaga pendidikan kita, memerlukan kerjasama lintas ilmu, melalui sebuah program jangka panjang yang tidak akan cukup jika hanya diatas melalui seminar atau lokakarya dengan para guru, siswa dan pendidik. Melawan budaya kekerasan, hanya bisa dilawan dengan membangun budaya penghargaan terhadap setiap tubuh manusia, tubuh diri sendiri maupun tubuh orang lain. Penghargaan terhadap tubuh merupakan prinsip pertama pilar keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.

Karena itu, diperlukan pendekatan lintas ilmu, lintas departemen. Pendidikan untuk perdamaian, yang menghargai setiap tubuh sebagai berharga dan bernilai, dapat kita lihat dari perilaku kita sendiri, terhadap tubuh kita sendiri, serta perlakukan kita terhadap tubuh orang lain. Apakah Anda mencintai tubuh Anda dan memelihara tubuh Anda? Apakah Anda juga penuh perhatian dan peduli pada tubuh orang lain, menghargai mereka sebagai bagian integral dan hakiki bagi individu?

Itulah tantangan mendesak kita dalam memasuki tahun baru 2012.

Tangerang, 20 Desember 2012

Tuesday 8 November 2011

Kebudayaan

Doni Koesoema A

Kata kebudayaan akan menjadi catatan pendidikan pertama saya. Kebudayaan menjadi kata penting karena Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengembalikan dimensi kebudayaan dalam rumah pendidikan nasional, sehingga kementerian pendidikan nasional dulu bernama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) juga berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk itu, diperlukan dua wakil menteri secara langsung, yaitu wamen yang mengurusi pendidikan dan satunya kebudayaan.

Kebudayaan dan Pembentukan Karakter

Dalam alasan penggabungan, Presiden SBY menyatakan bahwa pendidikan terkait dengan kebudayaan. Sebab melalui kebudayaan akan terbentuk karakter anak-anak bangsa. Jadi, kementerian pendidikan dan kebudayaan mengemban amanat penting pembentukan karakter anak-anak bangsa. Siapapun setuju bahwa kebudayaan memiliki kaitan erat dalam pembentukan karakter anak-anak bangsa. Namun masalahnya adalah dunia pendidikan dipenuhi dengan berbagai macam asumsi, paradigma, pemahaman dan konsep yang akan melatari kelahiran sebuah kebijakan praktis di lapangan.

Sebagai contoh, kalau pendidikan agama dianggap sebagai prioritas bagi pembentukan karakter anak bangsa, maka hal-hal yang terkait dengan unsur keagamaan akan menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan, seperti misalnya, mulai dari cara berpakaian, berpikir, belajar. Aka nada acara bacaan Alquran, baca Kitab Suci, rekoleksi, retret, pendalaman rohani, latihan ibadat dalam ritual keagamaan, bahkan nantinya pelajaran Agama akan dimasukkan dalam Ujian Nasional.

Prioritas pada unsur keagamaan terjadi karena keyakinan bahwa lemahnya moral bangsa ini adalah karena lemahnya iman dan keyakinan agama. Maka, unsur agama akan diberi tekanan. Namun masalahnya, apakah pembentukan karakter bisa secara sederhana diredusir pada praksis keagamaan seseorang? Lihat saja, dalam Idul Kurban kemarin, begitu banyak pejabat dan anggota DPR menyumbangkan hewan kurban. Bukankah mereka semua orang yang beriman? Tapi mengapa justru dari mereka muncul berbagai macam kasus korupsi yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia?

Jawabannya adalah pemahaman keagamaan yang diredusir pada persoalan ritual, namun dilepaskan dari konteks kehidupan sosial. Jadi, pemahaman agama hanya diredusir pada urusan pribadi, yang tidak terkait dengan kehidupan sosial. Maka, unsur ketidakadilan jarang menjadi bagian penting dalam penghayatan agama karena unsur ritual tata cara keagamaan lebih dipentingkan ketimbang praksis agama yang berkeadilan sosial, serta membela orang-orang miskin dan tersingkirkan.

Mutatis mutandis dengan kebudayaan. Tentu, ada banyak teori tentang kebudayaan. Konsep, paradigma, dan pandangan tentang apa itu kebudayaan tentu saja akan memengaruhi bagaimana kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan terkait dengan kebudayaan. Persis di sinilah yang membuat saya khawatir, karena saya melihat bahwa wakil menteri pendidikan yang mengurusi bidang kebudayaan tampaknya memahami kebudayaan hanya sebagai sebuah produk. Produk yang sudah jadi, dan dianggap baik serta adiluhung ini perlu dijaga, dikenalkan, dipraktekkan dalam lembaga pendidikan. Menjaga tradisi baik, tentu tidak ada salahnya. Yang saya khawatirkan, kita akan luput dalam menjawab tantangan zaman karena cara kita bertindak yang konservatif tidak akan berdaya menghadapi tantangan ke depan yang dinamis dan penuh perubahan.

Tradisional Konservatif

Lihat apa konsep Wamen yang mengurusi tentang kebudayaan seperti dilaporkan oleh para wartawan. Di sini saya mengutip beberapa saja.

"Minimnya akses muatan kebudayaan dalam kegiatan pendidikan tampak dari tidak adanya pilihan dalam pelajaran untuk mengambil mata pelajaran bahasa Batak dan Jawa. Begitu pula dalam ekstrakurikuler untuk menari juga belum disediakan di semua sekolah" (Antara News, 26/10).

"Kemungkinan yang bisa direalisasikan lebih dulu dan bisa terintegrasikan adalah siswa wajib mengunjungi museum," katanya.

Dalam ungkapan ini, kebudayaan sekedar dipahami sebagai proses pembelajaran bahasa, seperti bahasa Batak dan Jawa. Selain itu, kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai kegiatan tradisional, seperti menari.

Menurut Wamendikbud Wiendu Nuryanti, pada tahap awal akan dilakukan pengkajian apakah kebudayaan akan masuk dalam pelajaran pilihan atau wajib melalui kegiatan lintas budaya. Selain itu, juga akan dikaji adanya kemungkinan pertukaran dari satu etnik ke etnik lain, dan adanya rancangan bagi siswa wajib mengunjungi museum.

Apa yang bisa ditarik dari pernyataan di atas? Selain pendekatan kebudayaan yang sifatnya konservatif tradisional, diskusi kebudayaan juga mengalami penyempitan pada sekedar pembelajaran dalam sebuah mata pelajaran, apakah itu berupa mata pelajaran wajib atau pilihan. Kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai pertukaran antar etnik di Indonesia. Dan yang terakhir, pendekatan kebudayaan yang sifatnya tradisional konservatif tampak dalam keinginan wamenbud untuk mewajibkan siswa mengunjungi museum.

Kreatif dan inovatif

Beberapa indikasi dan pernyataan wamenbud ini memprihatinkan karena kebudayaan dipahami sekedar sebagai sebuah produk dan penghargaan atas tradisi semata. Pendekatan kebudayaan ini sangat kental dengan semangat tradisionalisme dan konservatisme.

Pendekatan kebudayaan yang tradisional dan konservatif tidak akan mampu mempersiapkan generasi muda Indonesia mengarungi ganasnya tantangan zaman ke depan yang cepat berubah dan membutuhkan sikap kreatif dan inovatif terhadap kebudayaan. Kita mesti mempersiapkan generasi muda untuk membangun kebudayaan baru, bukan sekedar menjaga tradisi dan produk lama kebudayaan bangsa.

Sikap kreatif dan inovatif terbentuk dari keinginan untuk mencipta secara baru demi tantangan baru. Sikap ini anti status quo. Sikap inilah yang mestinya dikembangkan dalam rangka pengembangan kebudayaan di Indonesia. Sekali lagi, kebudayaan tetap menjadi kata kunci pembentukan karakter anak bangsa. Namun, kebudayaan mesti dipahami secara lebih aktif, aktual, mencipta, membangun tatanan dan sikap-sikap baru. Sikap konservatif dan tradisionalis tidak akan mampu mengatasi tantangan ke depan yang dinamis dan cepat berubah.

Jakarta, 8 November 2011

lihat juga Rubrik Catatan Pendidikan Doni Koesoema A di www.pendidikankarakter.org

Tuesday 18 October 2011

Alamat Palsu

Kompas, 15 Oktober 2011

Doni Koesoema A

Para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini tampaknya harus belajar dari Ayu Ting Ting. Jangan sampai alamat yang mereka pegang untuk mengarahkan "ke mana" pendidikan nasional ternyata palsu.

Banyaknya kebijakan pendidikan yang dipilih semakin menunjukkan bahwa alamat yang mereka pegang benar-benar palsu. Kebijakan pendidikan itu salah arah dan tak sampai pada apa yang sebenarnya ingin dituju.

Pengambil kebijakan pendidikan tampaknya semakin kalap dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversial : baik terkait dengan Ujian Nasional maupun dengan pengembangan profesi guru. Yang terakhir, kebijakan menambah jam mengajar guru dari minimal 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam per minggu mendadak sontak menimbulkan protes para guru.

Dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi dan dimenangkannya tuntutan para penyelenggara pendidikan swasta atas kata dapat menjadi wajib yang mendiskriminasi sekolah swasta jelas menunjukkan bahwa kalangan legislatif tak memahami dinamika yang terjadi dalam dunia pendidikan. Anggota yang legislatif yang membuat undang-undang tentang pendidikan tak punya kompetensi memadai sehingga produk hukum yang dibuat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Jika diteruskan dan dijadikan dasar sebagai cara bertindak dalam pengaturan kebijakan pendidikan nasional di tingkat yang lebih rendah, cacat hukum di tingkat undang-undang akan melahirkan kebijakan yang distorsif, tak adil, dan malah meremehkan keberadaan dunia pendidikan dan eksistensi pendidik sendiri.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, peran guru sebagai evaluator bagi kinerja siswa telah dikebiri dalam kebijakan ujian nasional yang memandulkan kinerja guru. Diskriminasi atas peran sekolah swasta juga terjadi. Negara lebih memperhatikan sekolah negeri ketimbang sekolah swasta dalam pembiayaan pendidikan. Demikian juga dalam penentuan kuota sertifikasi guru. Ada ketakadilan dalam penentuan kuota sertifikasi antara guru negeri dan swasta.

Sekarang persoalan jam mengajar guru, yang sebenarnya sudah tak adil, justru diperberat lagi dengan adanya peraturan minimal menjadi 27,5 jam tatap muka per minggu. Jam mengajar guru minimal 24 jam ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009.

Banyak guru yang tak dapat memenuhi minimal mengajar 24 jam per minggu. Ini terjadi karena perbedaan alokasi jam mengajar antarmata pelajaran. Jumlah jam yang tersedia selama satu nminggu tak akan mungkin dipenuhi oleh guru yang mengampu mata pelajaran dengan alokasi kecil, seperti Olahraga, Geografi, dan Agama. Alokasi 24 jam tatap muka per minggu bisa dipenuhi apabila sekolah memiliki lebih banyak kelas paralel.

Ketidakadilan

Aturan minimal 24 jam tatap muka per minggu saja sudah merupakan kebijakan yang tak adil. Kaetakadilan pertama terjadi karena pekerjaan guru hanya dinilai dari yang ia ajarkan di depan kelas. Kegiatan lain yang dilakukan guru di luar jam mengajar di kelas---seperti memberi remedial teaching, koreksi, membuat soal, mendesain program pembelajaran---tidak dihitung sebagai pekerjaan guru.

Apalagi sekarang malah mau ditambah menjadi 27,5 jam per minggu. Kebijakan ini tidak hanya menegaskan kebutaan para pengambil kebijakan pendidikan, tetapi semakin mengukuhkan keyakinan bahwa mereka sesungguhnya tak peduli terhadap pengembangan kualitas pendidikan nasional. Orang-orang seperti itu tidak layak menduduki posisi pemimpin yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.

Kedua, sangat tidak adil dan melukai hati para guru dan pendidik ketika pekerjaan mereka selama sebulan hanya dihitung dan dibayar berdasarkan jam yang mereka lakukan selama seminggu. Jadi, gambaran kasarnya begini. Guru bekerja selama satu bulan, tetapi gaji yang mereka terima hanyalah untuk seminggu bekerja. Para pengambil kebijakan mestinya segera sadar bahwa kebijakan yang mereka buat tersebut sangat melukai, tidakk adil, serta tidak menghargai profesi guru.

Kalau mau bersikap adil, mestinya jam mengajar guru itu dihitung secara penuh selama satu bulan. Jadi gaji guru tidak hanya dihitung berdasarkan jam mengajar selama seminggu. Apabila guru mengajar tatap muka selama 24 jam per minggu, itu berarti selama satu bulan dia melakukan 96 jam tatap muka. Dari 96 jam mengajar yang dilakukan selama satu bulan penuh, hanya 24 jam yang dihargai. Bagaimana dengan jumlah tatap muka guru tersisa yang 72 jam? apakah ada penghargaan pemerintah terhadap sisa jam mengajar yang 72 jam tersebut?

Mestinya pemerintah segera menyadari bahwa kebijakan jam mengajar guru yang telah ditetapkan itu sangat tidak manusiawi, tidak adil, dan melecehkan pekerjaan guru. Berbagai macam kebijakan pendidikan, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa anggota legislatif membuat undang-undang tanpa didasari niat baik dalam mengembangkan dunia pendidikan.

Aturan dibuat asal-asalan, diskriminatif, dan tidak adil. Itu justru malah membuat negara ini menjauh dari tujuan semula, yaitu membawa masyarakat Indonesia adil, makmur, dan berkeadilan di mana masyarakatnya menjadi kian cerdas dan bermartabat.

Jangan-jangan alamat yang dipegang para pengambil kebijakan pendidikan tersebut ternyata alamat palsu sehingga pendidikan nasional tak akan sampai pada tujuannya. Kepalsuan dalam dunia pendidikan hanya akan melahirkan ketidakadilan, frustrasi, dan pelecehan terhadap martabat para guru. Kepalsuan membuat tujuan pendidikan nasional tak akan tercapai. Ayu Ting Ting dengan alamat palsunya sesungguhnya menelanjangi kedunguan para pengambil kebijakan pendidikan karena mereka tak tahu lagi mau dibawa "ke mana" nasib para guru dan dunia pendidikan di negeri ini.

Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan

www.pendidikankarakter.org

foto:laguterbaru-net

Tuesday 19 July 2011

Mengkritisi Kebijakan Pendidikan Nasional


Judul: Mengkritisi Kebijakan Pendidikan Nasional - Menemukan
Pijar Harapan Bagi Perjalanan bangsa
Pengarang: Doni Koesoema A
Tahun terbit: 2011 (edisi e-book)
Penerbit: Agora Education & www.pendidikankarakter.org
Jumlah Hal.: 217

Menemukan Pijar Harapan...

Di balik setiap kekelaman, pastilah ada pijar cahaya. Mungkin, dua sisi inilah yang menjadi pergulatan hidup bagi seorang pendidik, guru, dan mereka yang cinta pada dunia pendidikan. Di balik kekelaman atmosfer kebijakan pendidikan nasional, para pendidik tetap diharapkan setia, konsisten, dan tidak ikut menjadi kabur dalam menghayati panggilan luhurnya dalam masyarakat.

Menemukan pijar harapan di balik sisi gelap kebijakan pendidikan nasional adalah pesan utama dari buku ini. Sebab, hidup dalam dinamika kultur pendidikan seperti ini, guru ibarat hidup dalam kesunyian, tanpa suara, dan bisa jadi juga tanpa kekuatan. Sunyi, karena keramaian suasana kelas, hiruk pikuk persekolahan, dan elan vital serta kegairahan dalam mengajar seringkali tidak pernah terpublikasi keluar. Apa yang terjadi di dalam kelas adalah menjadi pengalaman personal guru. Sementara, profesi ini sesungguhnya tidak pernah lepas dari berbagai macam konflik kepentingan dan pengawasan dari dunia di luar kelas itu sendiri. Justru di dalam kesunyian profesinya, jalinan interaksi yang dihadapi oleh guru sangatlah kompleks. Selain itu, profesi ini tidak berdiri sendiri, melainkan berada di dalam jalinan relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang senantiasa berebut pengaruh mendefinisikan citra guru di tentang masyarakat.

Kegelisahan, pergolakan, pemikiran dan kritik yang ada dalam buku ini adalah pergolakan seorang yang pernah menjadi guru, pendidik, sekaligus akademisi, yang di satu sisi memahami apa yang terjadi di dalam kelas, namun serentak menyadari adanya berbagai macam persoalan yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kinerja seorang guru dalam level nasional. Karena itu, buku ini menjadi sumbangan yang berharga, paling tidak menjadi sebuah catatan dan kesaksian dari sudut pandang guru, sebagai pendidik, sekaligus sebagai warga Negara yang merindukan cerdasnya anak-anak bangsa ini.

Buku ini merupakan butir-butir perenungan pribadi penulis yang telah dipublikasikan di berbagai media masa sejak sepuluh tahun terakhir. Artikel dalam buku ini dibagi dalam tema-tema terpisah yang ditata kronologis berdasarkan waktu penerbitan. Pembagian tema dalam buku ini adalah sebagai berikut: profesionalisme guru (Bagian 1), kebijakan pendidikan (Bagian 2), evaluasi pendidikan (Bagian 3), pedagogi pendidikan (Bagian 4), tentang intelektual (Bagian 5), keluarga (Bagian 6) dan kurikulum (Bagian 7). Buku ini bisa dibaca per tema maupun per artikel secara sendiri-sendiri, agar pembaca memperoleh gambaran betapa persoalan pendidikan nasional kita begitu kompleks, menantang, dan mengajak semua pihak untuk mendengarkan apa yang ada dalam hati, pikiran, dan harapan penulis, yang adalah seorang guru, pendidik, dan akademisi.

Mengikutinya secara kronologis, bisa membuat kita menyadari bagaimana dinamika dan persoalan yang dihadapi oleh guru dan bangsa ini selama satu dasawarsa terakhir. Memahami konteks, kiranya penting untuk memahami artikel-artikel dalam buku ini, sebab konteks waktu serta pokok persoalan yang dibahas tidak terjadi dalam ruang hampa. Sedangkan, cercahan pemikiran, inti gagasan dan nilai yang terkandung dalam tiap artikel ini tetap relevan hingga hari ini. Bahkan, beberapa butir perjuangan yang disuarakan dalam buku ini, seperti perjuangan perbaikan nasib guru, perubahan kebijakan pendidikan nasional, dikembalikannya kegairahan belajar pada posisinya yang tepat kiranya menjadi tantangan yang tidak mudah bagi guru, maupun para pengambil kebijakan pendidikan nasional.

Buku ini, di satu sisi berisi harapan ke depan akan adanya cahaya cerah perubahan bagi pendidikan nasional kita, namun di sini lain, menjadi cermin untuk memahami kedalaman makna profesi sebagai guru, juga sebagai politisi yang mestinya melayani kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan. Berbagai macam persoalan yang muncul, pada hakekatnya adalah sebuah sarana kritik diri, sekaligus sebuah cambukan agar mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik itu guru, masyarakat, maupun pemerintah, sama-sama mau membuka diri, dan memulai perjalanan baru bagi lapangnya harapan perbaikan dalam dunia pendidikan kita.

Semoga, kumpulan artikel yang terdokumentasikan dalam buku ini dapat menjadi kesaksian tertulis perjalanan sejarah pendidikan nasional kita, membuat kita semakin memahami dinamika dan pokok persoalan kebangsaan yang dihadapi. Bahkan, dalam beberapa hal, buku ini menawarkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan baik oleh para guru sendiri, maupun pemerintah terkait dengan kebijakan pendidikan nasional.

Doni Koesoema A

Pendidikan Keagamaan