Wednesday 21 December 2011

Kekerasan

Dunia Pendidikan mengakhiri tahun ini dengan satu kata tebal: Kekerasan. Seorang siswa sebuah sekolah ditusuk saat berada di sebuah kafe, juara olimpiade matematika wafat sia-sia di tangan seorang kriminal, seorang anak SD membunuh anak SMP, seorang mahasiswa tewas dikeroyok teman sekampusnya, dan rentetan peristiwa tradisi tawuran pelajar seakan tak pernah henti. Kasus penolakan anak SD untuk bersekolah hanya karena orang tuanya mengidap penyakit HIV, meski sekarang kasus ini telah selesai, juga merupakan sebentuk kekerasan psikologis dan sosial bagi sang anak. Kekerasan telah menjadi kanker akut dalam dunia pendidikan kita.

Jika ditilik dari penyebarannya, kekerasan bukan hanya akut terjadi dalam lembaga pendidikan, melainkan juga dalam tatanan sosial masyarakat secara umum. Tawuran telah menggejala mulai dari kampung, sekolah, antar kelompok organisasi dalam masyarakat di jalanan, atau antar politisi di gedung-gedung megah tempat suara rakyat mestinya didengarkan. Penyiksaan dan pembantaian orang utan pun pun semakin mencoreng gambaran Negara kita sebagai bangsa yang ramah. Indonesia sekarang sudah identik dengan kekerasan.

Mempromosokan sebuah gerakan damai, anti kekerasan dalam sebuah masyarakat yang gemar menghunus pedang jelas merupakan sebuah sikap yang menantang arus. Butuh keberanian dan jiwa yang besar untuk tidak putus asa dalam menyuarakan pentingnya semangat perdamaian tumbuh dalam hati anak-anak. Sebab, justru di sinilah terletak tugas mulia seorang pendidik, yaitu menumbuhkan semangat damai dalam diri anak didik, bukan malah menyuburkan agresivitas yang ada dalam diri mereka.

Sayangnya, para pendidik sendiri seringkali lupa, bahwa sebagai pendidik, ia juga adalah pemelihara, pelindung, dan mestinya menjadi sumber rasa nyaman. Masyarakat segera ingin kembalinya pendidikan karakter untuk mengatasi berbagai macam perilaku destruktif dan merusak yang terjadi dalam dunia pendidikan. Di mana peranan pendidikan karakter dalam konteks ini?

Mengatakan bahwa kekerasan merupakan bukti kegagalan pendidikan karakter di sekolah kita bukanlah sebuah argumentasi yang cerdas. Pendapat seperti ini terkesan defensif. Namun, marilah kita sekarang melihat apa yang ada di benak para pendidik ketika sebuah peristiwa kekerasan itu terjadi. Ada tiga pemikiran yang bisa kita analisis terkait dengan kekerasan dalam lembaga pendidikan.

Pertama, ketika terjadi sebuah peristiwa kekerasan, para pendidik secara spontan berpikir tentang kekerasan fisik yang terjadi di dalam lingkungan sekolah. Karena itu, ketika terjadi peristiwa kekerasan siswa, entah itu berupa tawuran ataupun perilaku kriminal, para pendidik dengan sigap membentengi diri dengan berkata, perilaku kekerasan itu terjadi di luar sekolah. Jadi, kekerasan yang terjadi itu bukan tanggungjawab guru atau sekolah.

Kedua, ketika kekerasan itu terjadi di dalam lingkungan sekolah, para pendidik memiliki kebingungan tentang bagaimana mengatasinya. Beberapa kasus, kekerasan dan bullying yang terjadi dalam lingkungan sekolah tidak terdeteksi dengan baik. Para pendidik baru menyadari ketika kasusnya sudah parah, atau beredar di masyarakat melalui jejaring sosial. Para pendidik, kalah lihai dibandingkan dengan para aggressor, pelaku kekerasan, sementara mereka gagal melindungi korban yang selama ini menjadi korban pemalakan ataupun pelecehan.

Ketiga, anak-anak sendiri memiliki berbagai macam persoalan psikologis, sosial, ataupun trauma masa lalu yang akarnya adalah keluarga. Karena itu, para pendidik berpikir bahwa perilaku kekerasan dalam diri anak didik itu muncul karena ‘dosa-dosa’ di dalam keluarga. Lembaga pendidikan bisa lepas tangan dalam hal ini. Sikap inipun adalah juga berciri defensif, tidak mau disalahkan, dan melimpahkan tanggungjawab ke orang lain.

Apa yang mesti dilakukan?

Para pendidik mesti menyadari bahwa perilaku kekerasan memiliki banyak akar, baik itu dalam lingkungan sekolah sendiri, di mana sekolah gagal menanamkan nilai cinta kasih serta penghargaan terhadap tubuh orang lain, baik itu dalam lingkungan masyarakat, baik itu dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat secara umum. Kekerasan juga bisa memiliki akar psikologis yang perlu diselesaikan melalui proses pendampingan dan terapi dengan bantuan psikolog profesional.

Persoalan kekerasan, bisa mulai dari yang tidak kasat mata, seperti pelecehan terhadap pribadi, tidak adanya pengakuan sosial atas keberadaan individu, berupa kekerasan psikologis, sampai pada perilaku kekerasan fisik yang merusak, menghancurkan orang lain.

Dalam banyak hal, persoalan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kita melibatkan berbagai macam dimensi, baik itu individual, psikologis, serta sosial. Karena itu, perilaku kekerasan, agar berkurang dalam lembaga pendidikan kita, memerlukan kerjasama lintas ilmu, melalui sebuah program jangka panjang yang tidak akan cukup jika hanya diatas melalui seminar atau lokakarya dengan para guru, siswa dan pendidik. Melawan budaya kekerasan, hanya bisa dilawan dengan membangun budaya penghargaan terhadap setiap tubuh manusia, tubuh diri sendiri maupun tubuh orang lain. Penghargaan terhadap tubuh merupakan prinsip pertama pilar keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.

Karena itu, diperlukan pendekatan lintas ilmu, lintas departemen. Pendidikan untuk perdamaian, yang menghargai setiap tubuh sebagai berharga dan bernilai, dapat kita lihat dari perilaku kita sendiri, terhadap tubuh kita sendiri, serta perlakukan kita terhadap tubuh orang lain. Apakah Anda mencintai tubuh Anda dan memelihara tubuh Anda? Apakah Anda juga penuh perhatian dan peduli pada tubuh orang lain, menghargai mereka sebagai bagian integral dan hakiki bagi individu?

Itulah tantangan mendesak kita dalam memasuki tahun baru 2012.

Tangerang, 20 Desember 2012

Tuesday 8 November 2011

Kebudayaan

Doni Koesoema A

Kata kebudayaan akan menjadi catatan pendidikan pertama saya. Kebudayaan menjadi kata penting karena Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengembalikan dimensi kebudayaan dalam rumah pendidikan nasional, sehingga kementerian pendidikan nasional dulu bernama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) juga berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk itu, diperlukan dua wakil menteri secara langsung, yaitu wamen yang mengurusi pendidikan dan satunya kebudayaan.

Kebudayaan dan Pembentukan Karakter

Dalam alasan penggabungan, Presiden SBY menyatakan bahwa pendidikan terkait dengan kebudayaan. Sebab melalui kebudayaan akan terbentuk karakter anak-anak bangsa. Jadi, kementerian pendidikan dan kebudayaan mengemban amanat penting pembentukan karakter anak-anak bangsa. Siapapun setuju bahwa kebudayaan memiliki kaitan erat dalam pembentukan karakter anak-anak bangsa. Namun masalahnya adalah dunia pendidikan dipenuhi dengan berbagai macam asumsi, paradigma, pemahaman dan konsep yang akan melatari kelahiran sebuah kebijakan praktis di lapangan.

Sebagai contoh, kalau pendidikan agama dianggap sebagai prioritas bagi pembentukan karakter anak bangsa, maka hal-hal yang terkait dengan unsur keagamaan akan menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan, seperti misalnya, mulai dari cara berpakaian, berpikir, belajar. Aka nada acara bacaan Alquran, baca Kitab Suci, rekoleksi, retret, pendalaman rohani, latihan ibadat dalam ritual keagamaan, bahkan nantinya pelajaran Agama akan dimasukkan dalam Ujian Nasional.

Prioritas pada unsur keagamaan terjadi karena keyakinan bahwa lemahnya moral bangsa ini adalah karena lemahnya iman dan keyakinan agama. Maka, unsur agama akan diberi tekanan. Namun masalahnya, apakah pembentukan karakter bisa secara sederhana diredusir pada praksis keagamaan seseorang? Lihat saja, dalam Idul Kurban kemarin, begitu banyak pejabat dan anggota DPR menyumbangkan hewan kurban. Bukankah mereka semua orang yang beriman? Tapi mengapa justru dari mereka muncul berbagai macam kasus korupsi yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia?

Jawabannya adalah pemahaman keagamaan yang diredusir pada persoalan ritual, namun dilepaskan dari konteks kehidupan sosial. Jadi, pemahaman agama hanya diredusir pada urusan pribadi, yang tidak terkait dengan kehidupan sosial. Maka, unsur ketidakadilan jarang menjadi bagian penting dalam penghayatan agama karena unsur ritual tata cara keagamaan lebih dipentingkan ketimbang praksis agama yang berkeadilan sosial, serta membela orang-orang miskin dan tersingkirkan.

Mutatis mutandis dengan kebudayaan. Tentu, ada banyak teori tentang kebudayaan. Konsep, paradigma, dan pandangan tentang apa itu kebudayaan tentu saja akan memengaruhi bagaimana kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan terkait dengan kebudayaan. Persis di sinilah yang membuat saya khawatir, karena saya melihat bahwa wakil menteri pendidikan yang mengurusi bidang kebudayaan tampaknya memahami kebudayaan hanya sebagai sebuah produk. Produk yang sudah jadi, dan dianggap baik serta adiluhung ini perlu dijaga, dikenalkan, dipraktekkan dalam lembaga pendidikan. Menjaga tradisi baik, tentu tidak ada salahnya. Yang saya khawatirkan, kita akan luput dalam menjawab tantangan zaman karena cara kita bertindak yang konservatif tidak akan berdaya menghadapi tantangan ke depan yang dinamis dan penuh perubahan.

Tradisional Konservatif

Lihat apa konsep Wamen yang mengurusi tentang kebudayaan seperti dilaporkan oleh para wartawan. Di sini saya mengutip beberapa saja.

"Minimnya akses muatan kebudayaan dalam kegiatan pendidikan tampak dari tidak adanya pilihan dalam pelajaran untuk mengambil mata pelajaran bahasa Batak dan Jawa. Begitu pula dalam ekstrakurikuler untuk menari juga belum disediakan di semua sekolah" (Antara News, 26/10).

"Kemungkinan yang bisa direalisasikan lebih dulu dan bisa terintegrasikan adalah siswa wajib mengunjungi museum," katanya.

Dalam ungkapan ini, kebudayaan sekedar dipahami sebagai proses pembelajaran bahasa, seperti bahasa Batak dan Jawa. Selain itu, kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai kegiatan tradisional, seperti menari.

Menurut Wamendikbud Wiendu Nuryanti, pada tahap awal akan dilakukan pengkajian apakah kebudayaan akan masuk dalam pelajaran pilihan atau wajib melalui kegiatan lintas budaya. Selain itu, juga akan dikaji adanya kemungkinan pertukaran dari satu etnik ke etnik lain, dan adanya rancangan bagi siswa wajib mengunjungi museum.

Apa yang bisa ditarik dari pernyataan di atas? Selain pendekatan kebudayaan yang sifatnya konservatif tradisional, diskusi kebudayaan juga mengalami penyempitan pada sekedar pembelajaran dalam sebuah mata pelajaran, apakah itu berupa mata pelajaran wajib atau pilihan. Kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai pertukaran antar etnik di Indonesia. Dan yang terakhir, pendekatan kebudayaan yang sifatnya tradisional konservatif tampak dalam keinginan wamenbud untuk mewajibkan siswa mengunjungi museum.

Kreatif dan inovatif

Beberapa indikasi dan pernyataan wamenbud ini memprihatinkan karena kebudayaan dipahami sekedar sebagai sebuah produk dan penghargaan atas tradisi semata. Pendekatan kebudayaan ini sangat kental dengan semangat tradisionalisme dan konservatisme.

Pendekatan kebudayaan yang tradisional dan konservatif tidak akan mampu mempersiapkan generasi muda Indonesia mengarungi ganasnya tantangan zaman ke depan yang cepat berubah dan membutuhkan sikap kreatif dan inovatif terhadap kebudayaan. Kita mesti mempersiapkan generasi muda untuk membangun kebudayaan baru, bukan sekedar menjaga tradisi dan produk lama kebudayaan bangsa.

Sikap kreatif dan inovatif terbentuk dari keinginan untuk mencipta secara baru demi tantangan baru. Sikap ini anti status quo. Sikap inilah yang mestinya dikembangkan dalam rangka pengembangan kebudayaan di Indonesia. Sekali lagi, kebudayaan tetap menjadi kata kunci pembentukan karakter anak bangsa. Namun, kebudayaan mesti dipahami secara lebih aktif, aktual, mencipta, membangun tatanan dan sikap-sikap baru. Sikap konservatif dan tradisionalis tidak akan mampu mengatasi tantangan ke depan yang dinamis dan cepat berubah.

Jakarta, 8 November 2011

lihat juga Rubrik Catatan Pendidikan Doni Koesoema A di www.pendidikankarakter.org

Tuesday 18 October 2011

Alamat Palsu

Kompas, 15 Oktober 2011

Doni Koesoema A

Para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini tampaknya harus belajar dari Ayu Ting Ting. Jangan sampai alamat yang mereka pegang untuk mengarahkan "ke mana" pendidikan nasional ternyata palsu.

Banyaknya kebijakan pendidikan yang dipilih semakin menunjukkan bahwa alamat yang mereka pegang benar-benar palsu. Kebijakan pendidikan itu salah arah dan tak sampai pada apa yang sebenarnya ingin dituju.

Pengambil kebijakan pendidikan tampaknya semakin kalap dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversial : baik terkait dengan Ujian Nasional maupun dengan pengembangan profesi guru. Yang terakhir, kebijakan menambah jam mengajar guru dari minimal 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam per minggu mendadak sontak menimbulkan protes para guru.

Dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi dan dimenangkannya tuntutan para penyelenggara pendidikan swasta atas kata dapat menjadi wajib yang mendiskriminasi sekolah swasta jelas menunjukkan bahwa kalangan legislatif tak memahami dinamika yang terjadi dalam dunia pendidikan. Anggota yang legislatif yang membuat undang-undang tentang pendidikan tak punya kompetensi memadai sehingga produk hukum yang dibuat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Jika diteruskan dan dijadikan dasar sebagai cara bertindak dalam pengaturan kebijakan pendidikan nasional di tingkat yang lebih rendah, cacat hukum di tingkat undang-undang akan melahirkan kebijakan yang distorsif, tak adil, dan malah meremehkan keberadaan dunia pendidikan dan eksistensi pendidik sendiri.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, peran guru sebagai evaluator bagi kinerja siswa telah dikebiri dalam kebijakan ujian nasional yang memandulkan kinerja guru. Diskriminasi atas peran sekolah swasta juga terjadi. Negara lebih memperhatikan sekolah negeri ketimbang sekolah swasta dalam pembiayaan pendidikan. Demikian juga dalam penentuan kuota sertifikasi guru. Ada ketakadilan dalam penentuan kuota sertifikasi antara guru negeri dan swasta.

Sekarang persoalan jam mengajar guru, yang sebenarnya sudah tak adil, justru diperberat lagi dengan adanya peraturan minimal menjadi 27,5 jam tatap muka per minggu. Jam mengajar guru minimal 24 jam ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009.

Banyak guru yang tak dapat memenuhi minimal mengajar 24 jam per minggu. Ini terjadi karena perbedaan alokasi jam mengajar antarmata pelajaran. Jumlah jam yang tersedia selama satu nminggu tak akan mungkin dipenuhi oleh guru yang mengampu mata pelajaran dengan alokasi kecil, seperti Olahraga, Geografi, dan Agama. Alokasi 24 jam tatap muka per minggu bisa dipenuhi apabila sekolah memiliki lebih banyak kelas paralel.

Ketidakadilan

Aturan minimal 24 jam tatap muka per minggu saja sudah merupakan kebijakan yang tak adil. Kaetakadilan pertama terjadi karena pekerjaan guru hanya dinilai dari yang ia ajarkan di depan kelas. Kegiatan lain yang dilakukan guru di luar jam mengajar di kelas---seperti memberi remedial teaching, koreksi, membuat soal, mendesain program pembelajaran---tidak dihitung sebagai pekerjaan guru.

Apalagi sekarang malah mau ditambah menjadi 27,5 jam per minggu. Kebijakan ini tidak hanya menegaskan kebutaan para pengambil kebijakan pendidikan, tetapi semakin mengukuhkan keyakinan bahwa mereka sesungguhnya tak peduli terhadap pengembangan kualitas pendidikan nasional. Orang-orang seperti itu tidak layak menduduki posisi pemimpin yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.

Kedua, sangat tidak adil dan melukai hati para guru dan pendidik ketika pekerjaan mereka selama sebulan hanya dihitung dan dibayar berdasarkan jam yang mereka lakukan selama seminggu. Jadi, gambaran kasarnya begini. Guru bekerja selama satu bulan, tetapi gaji yang mereka terima hanyalah untuk seminggu bekerja. Para pengambil kebijakan mestinya segera sadar bahwa kebijakan yang mereka buat tersebut sangat melukai, tidakk adil, serta tidak menghargai profesi guru.

Kalau mau bersikap adil, mestinya jam mengajar guru itu dihitung secara penuh selama satu bulan. Jadi gaji guru tidak hanya dihitung berdasarkan jam mengajar selama seminggu. Apabila guru mengajar tatap muka selama 24 jam per minggu, itu berarti selama satu bulan dia melakukan 96 jam tatap muka. Dari 96 jam mengajar yang dilakukan selama satu bulan penuh, hanya 24 jam yang dihargai. Bagaimana dengan jumlah tatap muka guru tersisa yang 72 jam? apakah ada penghargaan pemerintah terhadap sisa jam mengajar yang 72 jam tersebut?

Mestinya pemerintah segera menyadari bahwa kebijakan jam mengajar guru yang telah ditetapkan itu sangat tidak manusiawi, tidak adil, dan melecehkan pekerjaan guru. Berbagai macam kebijakan pendidikan, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa anggota legislatif membuat undang-undang tanpa didasari niat baik dalam mengembangkan dunia pendidikan.

Aturan dibuat asal-asalan, diskriminatif, dan tidak adil. Itu justru malah membuat negara ini menjauh dari tujuan semula, yaitu membawa masyarakat Indonesia adil, makmur, dan berkeadilan di mana masyarakatnya menjadi kian cerdas dan bermartabat.

Jangan-jangan alamat yang dipegang para pengambil kebijakan pendidikan tersebut ternyata alamat palsu sehingga pendidikan nasional tak akan sampai pada tujuannya. Kepalsuan dalam dunia pendidikan hanya akan melahirkan ketidakadilan, frustrasi, dan pelecehan terhadap martabat para guru. Kepalsuan membuat tujuan pendidikan nasional tak akan tercapai. Ayu Ting Ting dengan alamat palsunya sesungguhnya menelanjangi kedunguan para pengambil kebijakan pendidikan karena mereka tak tahu lagi mau dibawa "ke mana" nasib para guru dan dunia pendidikan di negeri ini.

Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan

www.pendidikankarakter.org

foto:laguterbaru-net

Tuesday 19 July 2011

Mengkritisi Kebijakan Pendidikan Nasional


Judul: Mengkritisi Kebijakan Pendidikan Nasional - Menemukan
Pijar Harapan Bagi Perjalanan bangsa
Pengarang: Doni Koesoema A
Tahun terbit: 2011 (edisi e-book)
Penerbit: Agora Education & www.pendidikankarakter.org
Jumlah Hal.: 217

Menemukan Pijar Harapan...

Di balik setiap kekelaman, pastilah ada pijar cahaya. Mungkin, dua sisi inilah yang menjadi pergulatan hidup bagi seorang pendidik, guru, dan mereka yang cinta pada dunia pendidikan. Di balik kekelaman atmosfer kebijakan pendidikan nasional, para pendidik tetap diharapkan setia, konsisten, dan tidak ikut menjadi kabur dalam menghayati panggilan luhurnya dalam masyarakat.

Menemukan pijar harapan di balik sisi gelap kebijakan pendidikan nasional adalah pesan utama dari buku ini. Sebab, hidup dalam dinamika kultur pendidikan seperti ini, guru ibarat hidup dalam kesunyian, tanpa suara, dan bisa jadi juga tanpa kekuatan. Sunyi, karena keramaian suasana kelas, hiruk pikuk persekolahan, dan elan vital serta kegairahan dalam mengajar seringkali tidak pernah terpublikasi keluar. Apa yang terjadi di dalam kelas adalah menjadi pengalaman personal guru. Sementara, profesi ini sesungguhnya tidak pernah lepas dari berbagai macam konflik kepentingan dan pengawasan dari dunia di luar kelas itu sendiri. Justru di dalam kesunyian profesinya, jalinan interaksi yang dihadapi oleh guru sangatlah kompleks. Selain itu, profesi ini tidak berdiri sendiri, melainkan berada di dalam jalinan relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang senantiasa berebut pengaruh mendefinisikan citra guru di tentang masyarakat.

Kegelisahan, pergolakan, pemikiran dan kritik yang ada dalam buku ini adalah pergolakan seorang yang pernah menjadi guru, pendidik, sekaligus akademisi, yang di satu sisi memahami apa yang terjadi di dalam kelas, namun serentak menyadari adanya berbagai macam persoalan yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kinerja seorang guru dalam level nasional. Karena itu, buku ini menjadi sumbangan yang berharga, paling tidak menjadi sebuah catatan dan kesaksian dari sudut pandang guru, sebagai pendidik, sekaligus sebagai warga Negara yang merindukan cerdasnya anak-anak bangsa ini.

Buku ini merupakan butir-butir perenungan pribadi penulis yang telah dipublikasikan di berbagai media masa sejak sepuluh tahun terakhir. Artikel dalam buku ini dibagi dalam tema-tema terpisah yang ditata kronologis berdasarkan waktu penerbitan. Pembagian tema dalam buku ini adalah sebagai berikut: profesionalisme guru (Bagian 1), kebijakan pendidikan (Bagian 2), evaluasi pendidikan (Bagian 3), pedagogi pendidikan (Bagian 4), tentang intelektual (Bagian 5), keluarga (Bagian 6) dan kurikulum (Bagian 7). Buku ini bisa dibaca per tema maupun per artikel secara sendiri-sendiri, agar pembaca memperoleh gambaran betapa persoalan pendidikan nasional kita begitu kompleks, menantang, dan mengajak semua pihak untuk mendengarkan apa yang ada dalam hati, pikiran, dan harapan penulis, yang adalah seorang guru, pendidik, dan akademisi.

Mengikutinya secara kronologis, bisa membuat kita menyadari bagaimana dinamika dan persoalan yang dihadapi oleh guru dan bangsa ini selama satu dasawarsa terakhir. Memahami konteks, kiranya penting untuk memahami artikel-artikel dalam buku ini, sebab konteks waktu serta pokok persoalan yang dibahas tidak terjadi dalam ruang hampa. Sedangkan, cercahan pemikiran, inti gagasan dan nilai yang terkandung dalam tiap artikel ini tetap relevan hingga hari ini. Bahkan, beberapa butir perjuangan yang disuarakan dalam buku ini, seperti perjuangan perbaikan nasib guru, perubahan kebijakan pendidikan nasional, dikembalikannya kegairahan belajar pada posisinya yang tepat kiranya menjadi tantangan yang tidak mudah bagi guru, maupun para pengambil kebijakan pendidikan nasional.

Buku ini, di satu sisi berisi harapan ke depan akan adanya cahaya cerah perubahan bagi pendidikan nasional kita, namun di sini lain, menjadi cermin untuk memahami kedalaman makna profesi sebagai guru, juga sebagai politisi yang mestinya melayani kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan. Berbagai macam persoalan yang muncul, pada hakekatnya adalah sebuah sarana kritik diri, sekaligus sebuah cambukan agar mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik itu guru, masyarakat, maupun pemerintah, sama-sama mau membuka diri, dan memulai perjalanan baru bagi lapangnya harapan perbaikan dalam dunia pendidikan kita.

Semoga, kumpulan artikel yang terdokumentasikan dalam buku ini dapat menjadi kesaksian tertulis perjalanan sejarah pendidikan nasional kita, membuat kita semakin memahami dinamika dan pokok persoalan kebangsaan yang dihadapi. Bahkan, dalam beberapa hal, buku ini menawarkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan baik oleh para guru sendiri, maupun pemerintah terkait dengan kebijakan pendidikan nasional.

Doni Koesoema A

Saturday 9 April 2011

Suara Kritis Jangan Pernah Mati

Tajuk Kompas hari ini (9/04) yang berjudul Jangan Bingungkan Sekolah menggelitik untuk ditanggapi. Ada beberapa kalimat yang membuat saya, sebagai kritikus pendidikan, terutama yang selalu mengkritik kebijakan UN, terkena, dan saya mau memberikan tanggapan atas pembelaan saya.

Kebijakan yang tidak bijaksana

Pernyataan pertama Tajuk KOMPAS yang ingin saya tanggapi, saya kutip, “Repotnya, pernyataan berseliweran ditangkap media sebagai sikap kritis. Sikap kurang kritis media membuat yang terlibat langsung urusan sekolah bingung.”

Kalimat ini seolah mengindikasikan bahwa media kurang bersikap kritis dan memuat apa saja komentar dan tanggapan orang, dalam hal ini, yang dianggap sebagai kritikus pendidikan. Dan komentar yang dimuat ini membuat bingung pelaku pendidikan di lapangan. Ini adalah pernyataan aneh yang kesimpulannya tidak memiliki dasar. Mengapa pernyataan kritis berseliweran membingungkan praktisi pendidikan di lapangan? Saya mendengarkan banyak keluhan dari beberapa guru dan sekolah tentang kebijakan UN 2011, dan ternyata mereka bingung bukan karena pernyataan para kritikus pendidikan tentang UN, melainkan karena sosialisasi mepet, dan kriteria penilaian kelulusan, selain nilai UN yang yang memasukkan nilai rapor dan Ujian Akhir Sekolah itulah yang membuat bingung sekolah. Bahkan di surat pembaca KOMPAS pernah seorang siswa menuliskan keberatan mereka atas kebijakan ini. Mengapa kebijakan ini membingungkan?

Pertama karena sekolah tidak mengantisipasi penggunaan nilai rapor dan UAS. Nilai rapor telah jadi, dan tidak bisa diubah-ubah, sedangkan yang masih bisa diantisipasi adalah nilai Ujian Sekolah. Maka, sudah ada beberapa sekolah yang mencoba ‘bermain’ untuk menyiasati kelulusan siswa dengan cara mendongkrak nilai UAS setinggi-tingginya, agar siswa tetap dapat lulus. Kebijakan perubahan kriteria kelulusan sekolah dengan sistem seperti ini telah memaksa para kepala sekolah untuk ‘bermain’ secara halus untuk mengkatrol nilai siswa. Apa arti fenomena ini?

Artinya fenomena ini adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional tentang UN, yang diumumkan secara mengkal, tidak matang karena sosialisasi informasinya buruk, telah membuat para guru dan pendidik untuk berbuat sesuatu yang secara moral tidak dapat dibenarkan dalam dunia pendidikan. Artinya pula, bukan karena kritikus pendidikan memberikan banyak argument pro kontra, sehingga pelaku pendidikan di lapangan bingung. Yang membuat bingung justru kebijakan pendidikan dari pemerintah tentang UN itu sendirilah yang menjadi akar penyebabnya. Perubahan kriteria penilaian seperti itu tidak bisa disosialisasikan hanya dua bulan sebelum UN. Minimal satu tahun sebelum UN perubahan kriteria penilaian itu HARUS diinformasikan kepada pemangku kepentingan. Jadi, saya tidak sependapat dengan pendapat tajuk Kompas yang mengatakan, “Kebijakan itu adalah jalan tengah yang bijaksana dan bijak”. Kebijakan itu justru tidak bijaksana dan bijak.

Pro kontra biasa di alam demokrasi

Pernyataan kedua yang ingin saya tanggapi adalah ini. “Acara tahunan sekitar Maret dan Juni itu jangan kita perkeruh dengan pernyataan pro dan kontra terus tidaknya UN.” Pernyataan pro kontra tentang UN tidak akan memperkeruh dunia pendidikan, justru pernyataan itu menunjukkan ada suara-suara yang patut di dengarkan oleh Pemerintah, dan suara mereka perlu juga diakomodasi oleh media sebagai pilar keempat Negara Demokratis. Pro dan kontra tetap akan ada selama kebijakan UN dari pemerintah tidak mengakomodasi tuntutan perubahan yang disampaikan masyarakat, terutama kalangan akademisi, praktisi pendidikan dan kritikus pendidikan.

Adalah memang benar, apa yang disampaikan dalam Tajuk bahwa UN yang bocor tidak memiliki alasan kuat untuk menghapus UN. Delivery UN yang bocor, yang tidak sesuai standar prosedur operasi bagi sebuah evaluasi standar, jelas akan membuat semua tujuan yang akan dicapai tidak terlaksana, dan validitas Nilai UN tidak dapat memotret apa yang sesungguhnya mau dipotret. Memperbaiki pelaksanaan, tentu adalah solusi yang baik dan benar, karena kebocoran soal dalam bentuk apapun akan membuat validitas penilaian UN itu nol, alias hasil nilai itu tidak dapat dipakai sebagai perangkat mengukur apa yang mau diukur.

Namun, persoalan UN bukanlah sekedar bocor atau tidak. Di sana ada satu hal fundamental yang selama ini tidak pernah dianggap pemerintah sebagai penting, sehingga perubahan kebijakan apapun tentang UN tetap akan bermasalah, yaitu adanya sistem veto UN tentang kelulusan siswa. High Stakes testing, seperti UN memperlukan syarat dan kondisi yang relatif sama, di mana setiap peserta didik memperoleh pengalaman dan kesempatan belajar yang sama. Logika standardisasi adalah kalau standarnya sama, maka kualitas pendidikan akan meningkat. Namun, mereka lupa, bahwa standardisasi evaluasi harus disertai standardisasi minimal pengalaman belajar siswa. Kalau siswa tidak pernah belajar bahasa Inggris melalui listening, karena sekolah tidak memiliki lab bahasa, dan pada saat UN siswa harus mengerjakan UN melalui listening, kebijakan pemerintah seperti ini telah berlaku tidak adil bagi sekolah-sekolah yang standard sarana dan prasarana masih jauh. Karena itu, logika standardisasi yang seolah-olah dengan adanya evaluasi standard meningkatkan kualita pendidikan itu sebenarnya tidak seluruhnya benar. KOMPAS mestinya dapat melihat hal fundamental ini. Yang dipermasalahkan para kritikus pendidikan adalah persoalan tujuan UN dan Ketidakadilan yang terjadi dalam diri siswa dan sekolah miskin sebagai akibat dari kebijakan UN ini.

Tujuh tahun tanpa perubahan

Sejak tahun 2004 saya sudah secara terus menerus mengkritik kebijakan UN. Namun tujuh tahun telah berlalu dan saya tidak melihat adanya perubahan signifikan tentang kebijakan UN ini. Apakah pemerintah benar-benar sudah tuli dan tidak mau mendengarkan lagi kritikan dari akademisi dan pemerhati pendidikan Indonesia, yang adalah juga suara rakyat Indonesia?

Coba lihat sekilas apa yang sudah saya sampaikan untuk perbaikan dunia pendidikan terutama tentang Ujian Nasional. Artikel saya yang berjudul Aplaus palsu teater pendidikan nasional (Kompas, 19/06/2004) merupakan artikel opini yang pertama kali saya tulis untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN). Hasil UN adalah seperti aplaus palsu sebab katrolan nilai terjadi secara nasional. Terlalu banyak siswa yang tidak lulus.

Dua tahun setelah itu muncul artikel lain dengan judul Generasi penjual rujak (Kompas, 27/06/2006) yang merupakan balada kisah si Sari, seorang siswa di Surakarta yang tidak lulus UN. Ia terpaksa berjualan rujak untuk dapat membeli materi ujian kejar paket C. Pemerintah bilang ujian kejar paket C gratis, tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka harus tetap membeli buku-buku materi yang akan diujikan dalam kejar paket C. Ironisnya, setelah dua tahun berlalu dari ketidaklulusan Sari, adik Sari, Della, perempuan lincah dan energik itu juga bernasib sama. Ia juga tidak lulus UN. UN telah melahirkan tradisi keluarga yang gagal. Serta melahirkan cemooh sosial atas keluarga tersebut karena memiliki tradisi buruk sebagai korban UN.

Setelah itu berturut-turut keluar artikel saya berjudul Menggadaikan etika profesi (Kompas, 14/03/2007) dan Kanon moral Komensky dan UN (Kompas, 26/04/2007) tentang kehancuran moral guru akibat kebijakan UN, Ironi pendidikan dari Trunyan (Kompas, 18/07/2007) yang mengkritik sia-sianya diadakan UASBN untuk SD. Desa Trunyan adalah sebuah ironi sebab sebagai tempat utama kunjungan wisatawan, penduduk kampung di desa itu tetap miskin, dan anak-anak tidak bisa melanjutkan ke sekolah SMP karena tidak ada sekolah SMP. UN jelas tidak ada artinya bagi mereka. Ketidakadilan dalam pendidikan (Kompas, 29/11/2007), UN harus dihentikan (Kompas,30/04/2008) dan yang terakhir Sepuluh Kesesatan UN (Media Indonesia, 06/05/2008). Setelah tulisan yang terakhir, yang terdengar kasar dan keras itu, saya berhenti menulis tentang UN karena saya menganggap pemerintah telah berkepala batu, bertelinga besi, dan bernurani baja, yang sudah tidak MAU lagi mendengar kritikan dari warganya.

Berbagai macam kritik dan masukan tentang kebijakan UN tampaknya tidak menggugah dan menggelitik hati para pengambil kebijakan untuk mengevaluasinya. Bahkan ketika pengadilan telah mengabulkan tuntutan warga negara yang menjadi korban kebijakan UN, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, pemerintah pun tetap maju tak gentar melaksanakan kebijakan yang sesungguhnya lebih banyak memberikan dampak negatif dan merusak dunia pendidikan daripada mengembangkannya. Kebijakan pendidikan tentang UN lebih banyak mendasarkan diri pada kepentingan politik daripada nilai-nilai pedagogis. Pemaksaan kebijakan UN tanpa mau mendengarkan aspirasi dari warga negara merupakan sebuah praktek politik otoriter yang tidak demokratis.

Dan saya khawatir, KOMPAS yang merupakan media nasional terbesar, mulai menganggap nyinyir dan sepi atas komentar dan kritikan para pemerhati pendidikan, terutama terkait dengan kebijakan UN. Semoga pendapat saya ini salah. Dan saya senang kalau pendapat saya ini salah. Maju terus dunia pendidikan di Indonesia. Suara kritis, jangan pernah mati!

Pendidikan Keagamaan