Saturday 9 April 2011

Suara Kritis Jangan Pernah Mati

Tajuk Kompas hari ini (9/04) yang berjudul Jangan Bingungkan Sekolah menggelitik untuk ditanggapi. Ada beberapa kalimat yang membuat saya, sebagai kritikus pendidikan, terutama yang selalu mengkritik kebijakan UN, terkena, dan saya mau memberikan tanggapan atas pembelaan saya.

Kebijakan yang tidak bijaksana

Pernyataan pertama Tajuk KOMPAS yang ingin saya tanggapi, saya kutip, “Repotnya, pernyataan berseliweran ditangkap media sebagai sikap kritis. Sikap kurang kritis media membuat yang terlibat langsung urusan sekolah bingung.”

Kalimat ini seolah mengindikasikan bahwa media kurang bersikap kritis dan memuat apa saja komentar dan tanggapan orang, dalam hal ini, yang dianggap sebagai kritikus pendidikan. Dan komentar yang dimuat ini membuat bingung pelaku pendidikan di lapangan. Ini adalah pernyataan aneh yang kesimpulannya tidak memiliki dasar. Mengapa pernyataan kritis berseliweran membingungkan praktisi pendidikan di lapangan? Saya mendengarkan banyak keluhan dari beberapa guru dan sekolah tentang kebijakan UN 2011, dan ternyata mereka bingung bukan karena pernyataan para kritikus pendidikan tentang UN, melainkan karena sosialisasi mepet, dan kriteria penilaian kelulusan, selain nilai UN yang yang memasukkan nilai rapor dan Ujian Akhir Sekolah itulah yang membuat bingung sekolah. Bahkan di surat pembaca KOMPAS pernah seorang siswa menuliskan keberatan mereka atas kebijakan ini. Mengapa kebijakan ini membingungkan?

Pertama karena sekolah tidak mengantisipasi penggunaan nilai rapor dan UAS. Nilai rapor telah jadi, dan tidak bisa diubah-ubah, sedangkan yang masih bisa diantisipasi adalah nilai Ujian Sekolah. Maka, sudah ada beberapa sekolah yang mencoba ‘bermain’ untuk menyiasati kelulusan siswa dengan cara mendongkrak nilai UAS setinggi-tingginya, agar siswa tetap dapat lulus. Kebijakan perubahan kriteria kelulusan sekolah dengan sistem seperti ini telah memaksa para kepala sekolah untuk ‘bermain’ secara halus untuk mengkatrol nilai siswa. Apa arti fenomena ini?

Artinya fenomena ini adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional tentang UN, yang diumumkan secara mengkal, tidak matang karena sosialisasi informasinya buruk, telah membuat para guru dan pendidik untuk berbuat sesuatu yang secara moral tidak dapat dibenarkan dalam dunia pendidikan. Artinya pula, bukan karena kritikus pendidikan memberikan banyak argument pro kontra, sehingga pelaku pendidikan di lapangan bingung. Yang membuat bingung justru kebijakan pendidikan dari pemerintah tentang UN itu sendirilah yang menjadi akar penyebabnya. Perubahan kriteria penilaian seperti itu tidak bisa disosialisasikan hanya dua bulan sebelum UN. Minimal satu tahun sebelum UN perubahan kriteria penilaian itu HARUS diinformasikan kepada pemangku kepentingan. Jadi, saya tidak sependapat dengan pendapat tajuk Kompas yang mengatakan, “Kebijakan itu adalah jalan tengah yang bijaksana dan bijak”. Kebijakan itu justru tidak bijaksana dan bijak.

Pro kontra biasa di alam demokrasi

Pernyataan kedua yang ingin saya tanggapi adalah ini. “Acara tahunan sekitar Maret dan Juni itu jangan kita perkeruh dengan pernyataan pro dan kontra terus tidaknya UN.” Pernyataan pro kontra tentang UN tidak akan memperkeruh dunia pendidikan, justru pernyataan itu menunjukkan ada suara-suara yang patut di dengarkan oleh Pemerintah, dan suara mereka perlu juga diakomodasi oleh media sebagai pilar keempat Negara Demokratis. Pro dan kontra tetap akan ada selama kebijakan UN dari pemerintah tidak mengakomodasi tuntutan perubahan yang disampaikan masyarakat, terutama kalangan akademisi, praktisi pendidikan dan kritikus pendidikan.

Adalah memang benar, apa yang disampaikan dalam Tajuk bahwa UN yang bocor tidak memiliki alasan kuat untuk menghapus UN. Delivery UN yang bocor, yang tidak sesuai standar prosedur operasi bagi sebuah evaluasi standar, jelas akan membuat semua tujuan yang akan dicapai tidak terlaksana, dan validitas Nilai UN tidak dapat memotret apa yang sesungguhnya mau dipotret. Memperbaiki pelaksanaan, tentu adalah solusi yang baik dan benar, karena kebocoran soal dalam bentuk apapun akan membuat validitas penilaian UN itu nol, alias hasil nilai itu tidak dapat dipakai sebagai perangkat mengukur apa yang mau diukur.

Namun, persoalan UN bukanlah sekedar bocor atau tidak. Di sana ada satu hal fundamental yang selama ini tidak pernah dianggap pemerintah sebagai penting, sehingga perubahan kebijakan apapun tentang UN tetap akan bermasalah, yaitu adanya sistem veto UN tentang kelulusan siswa. High Stakes testing, seperti UN memperlukan syarat dan kondisi yang relatif sama, di mana setiap peserta didik memperoleh pengalaman dan kesempatan belajar yang sama. Logika standardisasi adalah kalau standarnya sama, maka kualitas pendidikan akan meningkat. Namun, mereka lupa, bahwa standardisasi evaluasi harus disertai standardisasi minimal pengalaman belajar siswa. Kalau siswa tidak pernah belajar bahasa Inggris melalui listening, karena sekolah tidak memiliki lab bahasa, dan pada saat UN siswa harus mengerjakan UN melalui listening, kebijakan pemerintah seperti ini telah berlaku tidak adil bagi sekolah-sekolah yang standard sarana dan prasarana masih jauh. Karena itu, logika standardisasi yang seolah-olah dengan adanya evaluasi standard meningkatkan kualita pendidikan itu sebenarnya tidak seluruhnya benar. KOMPAS mestinya dapat melihat hal fundamental ini. Yang dipermasalahkan para kritikus pendidikan adalah persoalan tujuan UN dan Ketidakadilan yang terjadi dalam diri siswa dan sekolah miskin sebagai akibat dari kebijakan UN ini.

Tujuh tahun tanpa perubahan

Sejak tahun 2004 saya sudah secara terus menerus mengkritik kebijakan UN. Namun tujuh tahun telah berlalu dan saya tidak melihat adanya perubahan signifikan tentang kebijakan UN ini. Apakah pemerintah benar-benar sudah tuli dan tidak mau mendengarkan lagi kritikan dari akademisi dan pemerhati pendidikan Indonesia, yang adalah juga suara rakyat Indonesia?

Coba lihat sekilas apa yang sudah saya sampaikan untuk perbaikan dunia pendidikan terutama tentang Ujian Nasional. Artikel saya yang berjudul Aplaus palsu teater pendidikan nasional (Kompas, 19/06/2004) merupakan artikel opini yang pertama kali saya tulis untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN). Hasil UN adalah seperti aplaus palsu sebab katrolan nilai terjadi secara nasional. Terlalu banyak siswa yang tidak lulus.

Dua tahun setelah itu muncul artikel lain dengan judul Generasi penjual rujak (Kompas, 27/06/2006) yang merupakan balada kisah si Sari, seorang siswa di Surakarta yang tidak lulus UN. Ia terpaksa berjualan rujak untuk dapat membeli materi ujian kejar paket C. Pemerintah bilang ujian kejar paket C gratis, tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka harus tetap membeli buku-buku materi yang akan diujikan dalam kejar paket C. Ironisnya, setelah dua tahun berlalu dari ketidaklulusan Sari, adik Sari, Della, perempuan lincah dan energik itu juga bernasib sama. Ia juga tidak lulus UN. UN telah melahirkan tradisi keluarga yang gagal. Serta melahirkan cemooh sosial atas keluarga tersebut karena memiliki tradisi buruk sebagai korban UN.

Setelah itu berturut-turut keluar artikel saya berjudul Menggadaikan etika profesi (Kompas, 14/03/2007) dan Kanon moral Komensky dan UN (Kompas, 26/04/2007) tentang kehancuran moral guru akibat kebijakan UN, Ironi pendidikan dari Trunyan (Kompas, 18/07/2007) yang mengkritik sia-sianya diadakan UASBN untuk SD. Desa Trunyan adalah sebuah ironi sebab sebagai tempat utama kunjungan wisatawan, penduduk kampung di desa itu tetap miskin, dan anak-anak tidak bisa melanjutkan ke sekolah SMP karena tidak ada sekolah SMP. UN jelas tidak ada artinya bagi mereka. Ketidakadilan dalam pendidikan (Kompas, 29/11/2007), UN harus dihentikan (Kompas,30/04/2008) dan yang terakhir Sepuluh Kesesatan UN (Media Indonesia, 06/05/2008). Setelah tulisan yang terakhir, yang terdengar kasar dan keras itu, saya berhenti menulis tentang UN karena saya menganggap pemerintah telah berkepala batu, bertelinga besi, dan bernurani baja, yang sudah tidak MAU lagi mendengar kritikan dari warganya.

Berbagai macam kritik dan masukan tentang kebijakan UN tampaknya tidak menggugah dan menggelitik hati para pengambil kebijakan untuk mengevaluasinya. Bahkan ketika pengadilan telah mengabulkan tuntutan warga negara yang menjadi korban kebijakan UN, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, pemerintah pun tetap maju tak gentar melaksanakan kebijakan yang sesungguhnya lebih banyak memberikan dampak negatif dan merusak dunia pendidikan daripada mengembangkannya. Kebijakan pendidikan tentang UN lebih banyak mendasarkan diri pada kepentingan politik daripada nilai-nilai pedagogis. Pemaksaan kebijakan UN tanpa mau mendengarkan aspirasi dari warga negara merupakan sebuah praktek politik otoriter yang tidak demokratis.

Dan saya khawatir, KOMPAS yang merupakan media nasional terbesar, mulai menganggap nyinyir dan sepi atas komentar dan kritikan para pemerhati pendidikan, terutama terkait dengan kebijakan UN. Semoga pendapat saya ini salah. Dan saya senang kalau pendapat saya ini salah. Maju terus dunia pendidikan di Indonesia. Suara kritis, jangan pernah mati!

Tuesday 22 February 2011

Menumbuhkan Keutamaan Kewarganegaraan

Doni Koesoema A

Penyakit gampang menghunus pedang, melempar batu, membakar harta benda orang lain, dan menghabisi nyawa pelaku kejahatan merupakan tindakan tercela dalam masyarakat beradab yang demokratis.

Apalagi penganiayaan dan pembunuhan karena perbedaan keyakinan (agama, politik, moral), ini benar-benar pelecehan terhadap martabat manusia yang dari sono-nya dibekali oleh Sang Pencipta kemampuan untuk berkeyakinan. Dunia pendidikan seharusnya tertantang untuk menumbuhkan keutamaan warga negara yang beradab dan demokratis. Inilah salah satu tantangan besar pendidikan karakter.

Netralitas negara

John Rawls, penganjur liberalisme politik, mengatakan bahwa negara yang demokratis mestinya hanya bertindak melalui prinsip-prinsip yang dapat dijustifikasi dan diterima oleh seluruh warga negara, mengacu pada apa yang disebut sebagai overlapping consensus berkaitan dengan norma-norma dan prioritas bagi kebijakan lembaga politik, sosial, dan ekonomi. Terhadap persoalan moral kontroversial, apalagi berkaitan dengan keyakinan iman di mana overlapping consensus tidak terdapat, negara mesti bersikap netral.

Liberalisme politis Rawls menyatakan bahwa sekolah umum, baik yang dikelola negara maupun masyarakat, mesti meng- arahkan peranan mereka dalam pengembangan pendidikan karakter pada penumbuhan keutamaan warga negara agar dapat menopang lembaga dan kultur demokratis. Hal ini penting karena anggota masyarakat itu terdiri atas berbagai latar belakang agama, paradigma moral, ideologi politik, dan tradisi kebudayaan yang berbeda-beda, dan sering kali mereka memiliki ketidaksepakatan pemahaman konseptual tentang kebaikan (good).

Untuk itu, masyarakat demokratis mesti mencari titik temu dan bekerja sama mencari kese- pakatan yang dapat diterima oleh semua tanpa mengesampingkan keyakinan pribadi mereka.

Sama tapi berbeda

Demokrasi Rawls secara filosofis bisa dimengerti karena mengukuhkan pandangan egalitarian bahwa manusia diciptakan sama. Karena itu, kerja sama dalam masyarakat demokratis mesti mengabaikan perbedaan latar belakang keyakinan, baik agama, politik, moral, maupun tradisi kebudayaan yang mereka miliki. Di sini, manusia melangkah pada ranah komunikasi yang dapat disepakati oleh semua orang melalui apa yang ia sebut sebagai penalaran publik. Dalam masyarakat demokratis, penalaran publik hadir dalam sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi.

Dari segi ini, baik presiden, komunitas religius mayoritas, maupun mayoritas masyarakat tidak dapat menentukan kesepakatan sendiri tanpa ditengahi oleh lembaga penalaran publik ketika menentukan hak asasi warga negara, terutama terkait hak-hak konstitusional esensial dan keadilan dasar.

Demokrasi Rawls secara konseptual memperkukuh tesis bahwa manusia diciptakan tanpa perbedaan. Manusia diciptakan sama, yaitu sama-sama diciptakan telanjang, memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri, baik kepercayaan, keyakinan iman, tradisi budaya, maupun religi.

Namun, meski manusia dilahirkan sama, preferensi dan keinginan individu berbeda karena sejarah dan pengalaman individu berbeda. Itu semua terbentuk melalui sosialisasi, akuisisi, kompromi, negosiasi, dan edukasi yang dialami sejak kecil. Jadi, perbedaan adalah kodrat dalam kehidupan itu sendiri.

Kegagalan negara

Kegemaran masyarakat menghunus pedang untuk menganiaya kelompok minoritas mesti dipahami sebagai kegagalan negara dan lembaga pendidikan dalam mendidik anggotanya. Pendidikan mestinya membentuk individu sebagai pribadi berkarakter, yang mampu mengembangkan potensi intelektual secara adekuat, kritis, bertanggung jawab.

Bahwa kelompok mayoritas—baik yang menguasai aparat ideologis-teologis (agamawan), ideologis-politis (politisi), maupun para penunggang liar kepentingan teologis, politis, dan ekonomis—menguasai berbagai macam sumber (kekuasaan, agama, politik, dan fisik), tidak berarti mereka punya hak dan dibenarkan secara moral mengganyang kalangan minoritas.

Menumbuhkan keutamaan kewarganegaraan hanya bisa tumbuh jika lembaga pendidikan benar-benar menanamkan arti perbedaan dalam akal, hati, dan jiwa setiap individu. Mengajarkan dan menyadarkan bahwa individu adalah pribadi yang unik dan berbeda merupakan sebuah keharusan. Kodrat manusia sebagai makhluk yang luhur dan bebas itu sama.

Pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa hormat atas perbedaan dan rasa keadilan dengan cara melindungi dan membela mereka yang lemah, kecil, minoritas, tertindas, dan terpinggirkan. Bukan karena mereka miskin atau kecil, melainkan karena mereka adalah sama-sama makhluk yang bermartabat.

Doni Koesoema A Konsultan Pendidikan

Dimuat di KOMPAS, 22 Februari 2011

Kebebalan Moral Penguasa

Oleh Doni Koesoema A

Belum selesai kasus Gayus, keluhan gaji Presiden, sekarang muncul buku-buku tentang SBY dalam paket sumbangan buku sekolah. Lebih lagi, dana yang digunakan adalah Dana Alokasi Khusus yang mestinya dipergunakan demi pengembangan pendidikan. Alih-alih menyediakan buku bermutu, dana rakyat ini dipakai untuk promosi politik gratis bagi pemilih muda. Pengurus negeri ini sudah benar-benar lupa tugas mereka sebagai pelayan rakyat. Ranah penting sekolah pun dirusak demi dagangan politik murahan!

Entah sengaja atau tidak, entah sesuai dengan penggunaan dana alokasi khusus, kehadiran buku-buku tentang SBY merusak rasa keadilan masyarakat, melecehkan lembaga pendidikan dan menunjukkan kebebalan moral para pengurus negeri.

Keadilan ternoda

Kehadiran buku-buku tersebut merusak rasa keadilan karena di tengah terpuruknya dunia pendidikan yang sering diacak-acak dengan pengambilan kebijakan pendidikan dadakan, yang mengacaukan seluruh dinamika pembelajaran di sekolah, pemerintah atau ’oknum’ pemerintah lebih suka memancing di air keruh untuk mencari keuntungan bagi diri dan kelompoknya.

Sementara perhatian pada pengembangan dunia pendidikan jangka panjang diabaikan, seperti kebijakan UN yang tidak pernah dipikirkan secara jauh dan visioner, demi kepentingan politik kelompok kepentingan sempit mereka rela mengobok-obok sekolah dengan membombardir buku-buku tentang SBY. Sasarannya jelas, anak-anak SMP, khususnya kelas IX adalah pemilih muda potensial dalam pemilu 2014. Jika demi kepentingan politiknya mereka bisa memikirkan jangka jauh, kenapa tidak dalam dunia pendidikan?

Ketidakadilan itu terjadi karena hanya kelompok kepentingan tertentu, yang memiliki kepentingan dan kekuasaan dapat mengobok-obok sekolahan. Alasan bahwa buku-buku tersebut telah lolos sebagai buku pengayaan yang telah dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, tidak dapat menjadi pembenaran bahwa buku-buku tersebut beredar di sekolah. Alasan-alasan itu mengecilkan arti buku-buku pendidikan lain, seperti buku ensiklopedi, kamus pengetahuan, seri-seri ilmu pengetahuan, yang lebih dibutuhkan bagi pengembangan pendidikan. Dana rakyat itu untuk pengembangan pendidikan, bukan untuk promosi citra politik figur tertentu.

Melecehkan sekolah

Kehadiran buku-buku SBY juga melecehkan lembaga pendidikan, karena lembaga pendidikan sudah tidak lagi dianggap sebagai ruang penting bagi pembentukan generasi bangsa yang cerdas, terbuka, dan berhak memperoleh semua informasi penting yang relevan dengan tahap perkembangan pendidikannya. Pengetahuan anak-anak dibatasi, atau diarahkan serta disempitkan pada gambaran figur tertentu.

Selain itu, lembaga pendidikan tidak ubahnya sebagai sebuah pasar, di mana kelompok politik bisa berkampanye secara gratis dengan mempergunakan struktur, kultur, dan kekuasaan yang dimilikinya atas lembaga pendidikan. Kampanya terselubung seperti ini membuat lembaga pendidikan bukan menjadi lembaga pencerahan, melainkan menjadi lembaga indotrinasi, dengan mengarahkan pengetahuan, pemahaman, tentang kehidupan politik masyarakat pada satu aliran politik tertentu.

Kebebalan moral

Kebebalan moral para pengurus negeri semakin kentara ketika mereka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki, entah itu kekuasaan politik, uang, dan kewenangan pengambilan kebijakan yang telah bekerjasama dengan makelar politik dalam rangka mencari pemilih muda potensial 2014. Mereka bebal secara moral karena kepentingan perbaikan dunia pendidikan jangka panjang tidak mereka perhatikan, sebaliknya kepentingan politik jangka panjang merekalah yang mereka kejar.

Kita ingat, sampai sekarang sosialisasi peraturan Ujian Nasional saja belum tersebar ke seluruh negeri, sementara UN semakin mendekat. Kebijakan Ujian Nasional tidak dapat dibuat seperti orang main sulap atau dadu yang tinggal dilempar lalu tahu angkanya berapa. Kebijakan pendidikan nasional mesti dipikirkan jangka panjang.

Bahkan mestinya, sekarang ini, pemerintah mesti sudah memikirkan dan mengeluarkan kebijakan tentang Ujian Nasional yang akan berlaku pada tahun 2012. Dunia pendidikan bekerja berdasarkan ritme yang pelan tapi pasti, dan tidak dapat diobok-obok dengan kebijakan yang dikeluarkan secara mendadak, sebab akan memengaruhi seluruh dinamika pendidikan dan pengajaran di kelas.

Pemerintah mesti segera memperbaiki citranya dalam dunia pendidikan jika sungguh-sungguh ingin mengadakan perbaikan pendidikan bagi negeri ini. Citra itu bisa diperbaiki melalui pembuatan kebijakan pendidikan jangka panjang. Yang mendesak adalah kebijakan tentang UN yang masih menjadi duri dalam daging bagi dunia pendidikan. Sementara itu, secepatnya pemerintah harus tegas bertindak untuk mengusir para pedagang politik yang saat ini mengobok-obok sekolah dengan dagangan buku mereka.

Buku-buku politik itu sungguh melanggar rasa keadilan masyarakat, melecehkan lembaga pendidikan, dan menjadi tanda kebebalan moral para pemimpin bangsa, yang justru memperburuk citra mereka di mata anak-anak muda. Buku-buku SBY mestinya segera ditarik dari peredaran di sekolah-sekolah kita!

Doni Koesoema A. Konsultan Pendidikan

Dimuat di KOMPAS, 28 Januari 2011

Wednesday 8 December 2010

Mengembalikan Kehormatan Guru

Kompas, 26 November 2010
Oleh Doni Koesoema A

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini.

Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi

Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Doni Koesoema A Peneliti dan Konsultan Pendidikan, Alumnus Boston College Lynch School of Education, AS

Wednesday 28 July 2010

Diana, Apa Yang Kaucari?

Kompas, 21 Juli 2010 (Liputan Khusus Pendidikan)
Doni Koesoema A

Pertanyaan paling menjengkelkan yang sering diajukan orang dewasa kepada anak remaja adalah tentang cita-cita mereka. Mau jadi apa kelak kalau sudah lulus SMA? Jangankan memikirkan masa depan, remaja zaman sekarang sudah terkuras tenaganya untuk menghadapi Ujian Nasional maupun mempersiapkan diri berebut kursi di perguruan tinggi. Krisis cita-cita, kegamangan menggapai masa depan, inilah persoalan serius yang mereka hadapi.

Sebut saja namanya Diana. Sejak SMA, dia sama sekali tidak memiliki keinginan atau gambaran mau menjadi apa kelak. Lulus SMA, dia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Empat tahun belajar, sarjana ekonomi digondolnya. Ketika ditanya mengapa ia memilih jurusan ekonomi, jawabnya singkat, “papa dan mama ingin agar salah satu anaknya bergelar sarjana.” Diana tidak tahu apa yang ia cari.

Tidak memiliki cita-cita, tidak tahu apa yang dicari, seperti kisah Diana, mungkin bukan perangai anak muda zaman sekarang. Jika 30 tahun lalu seorang anak ditanya apa cita-cita mereka, jawaban mereka hampir seragam, “dokter”, ”guru”, atau ”insinyur”.

Sekarang, jika kita tanya mereka, kita akan menemukan beragam jawaban. Banyaknya alternatif karir, tiadanya pendampingan yang cukup dari sekolah, ketidakmampuan anak mengenal diri, serta kurangnya informasi tentang kekhasan karir tertentu, dapat membuat generasi mudah kita gamang menatap masa depan dalam meniti karir.

Banyak pilihan karir

Pada tahun 2005, misalnya, Biro Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat mencatat ada sekitar 12 ribu macam karir yang bisa dipilih (Reeves, 2005). Banyaknya alternatif karir, di satu sisi membawa kabar gembira, sebab tersedia berbagai macam karir yang sesuai dengan bakat dan kemampuan kita. Namun juga ada berita buruknya. Bagaimana mungkin kita dapat memilih karir yang paling tepat untuk diri kita di antara ribuan karir yang ditawarkan oleh dunia?

Merancang masa depan, mempersiapkan anak didik memilih karir serta profesi yang cocok merupakan tantangan bagi setiap lembaga pendidikan. Di banyak sekolah, peranan pendampingan ini umumnya diserahkan pada guru Bimbingan Konseling (BK). Namun, tidak semua lembaga pendidikan memberikan layanan yang memadai agar siswa dapat memilih jalur karir selepas mereka tamat SMA.

10 pertanyaan besar

Reeves (2005) memberikan tips sederhana agar anak-anak dapat memilih karir yang sesuai dalam hidup mereka. Ada sepuluh pertanyaan besar yang harus dijawab oleh mereka yang ingin memilih jalur karir secara tepat.

Pertama, mengenal diri. Siapakah dirimu? Memilih jalur karir tidak dapat dilepaskan dari proses pengenalan diri. Di sini berlaku teori “individu dengan karakter tertentu akan lebih baik bekerja pada jenis pekerjaan tertentu”. Apakah Anda termasuk individu yang pemalu, suka petualang, suka menyendiri, tidak sabar, empati? Apakah Anda seorang yang memiliki sikap tradisional, memiliki rasa ingin tahu, suka eksplorasi, dll? Pengenalan diri adalah kunci awal sukses memilih karir.

Kedua, mengenal ketertarikan dan kekuatan diri. Memilih karir bukan sekedar usaha mengumpulkan uang, melainkan melibatkan kepuasan batin tersendiri. Melakukan sesuatu karena hal itu menyenangkan serta Anda mampu melaksanakannya dengan baik seringkali menjadi motivasi seseorang untuk memilih karir tertentu dibandingkan dengan perolehan penghasilan yang ia terima. Ada orang yang lebih suka menghabiskan liburannya dengan berbaring di pinggir pantai, ada pula yang suka menghabiskan waktunya dengan mengunjungi museum. Jika di dunia ini setiap orang memiliki preferensi yang sama, tentu saja dunia akan membosankan. Memilih pekerjaan yang paling Anda sukai serta mengerti bahwa Anda mampu bertahan dalam dinamika kerja seperti itu adalah hal yang sangat penting.

Ketiga, memahami makna nilai kerja. Orang bisa saja memilih pekerjaan yang sama, namun jika kita lihat lebih dekat, karir yang sama memiliki banyak perbedaan tergantung dari nilai-nilai yang diyakini. Karir sebagai guru,misalnya, memiliki banyak variasi dalam praksis tergantung pilihan nilai setiap orang. Ada orang yang memilih menjadi guru taman kanak-kanak, mengajar anak SMA, mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, mengajar matematika, biologi. Ada yang memilih di kota, di pedalaman, dll. Semua ini menunjukkan apa yang bernilai bagi pribadi guru tersebut. Penghayatan akan makna pekerjaan akan menentukan pilihan karir seseorang.

Keempat, menentukan apakah kepribadian kerja Anda. Dr. John Holland, dalam penelitiannya menemukan bahwa ada enam kategori kepribadian kerja yang bisa menjadi alat bagi seseorang untuk menentukan pekerjaan apakah yang kiranya cocok dengan diri mereka. Keenam kategori itu adalah realistik (orang yang lebih dikenal sebagai pelaksana/pekerja), investigatif (pekerjaan pemikir), artistik (kelompok para pencipta, seniman,), sosial (kelompok para penolong), bisnis (suka ambil resiko, kerja sama) dan konvensional (organisator melalui rutin dan prosedur).

Kelima, setelah mengeksplorasi berbagai macam karir, Anda menentukan karir yang menurut Anda kiranya tepat, cocok, serta sesuai dengan cita-cita Anda.

Keenam, apakah Anda sudah berada di jalur yang benar? Mempertimbangkan dengan akal dan hati berbagai macam kemungkinan kesulitan, tantangan yang Anda hadapi jika memilih karir tertentu tersebut.

Ketujuh, Anda perlu mencari informasi orang-orang yang jenis karirnya telah Anda pilih. Untuk itu, Anda bisa menggali informasi dari mereka, banyak berjumpa dan bertemu, serta mengadakan interaksi dengan mereka terlebih yang telah mengalami sukses dalam karirnya.

Kedelapan, cek pekerjaan sesungguhnya. Agar tidak salah langkah, Anda perlu memeriksa bagaimana profil karir itu dalam kenyataannya. Pertama-tama dengan mengidentifikasi tempat kerja atau lingkungan di mana karir itu umumnya berada. Lalu mencari profil pekerjaan, seperti jam kerja, penghasilan, jenis pekerjaan, syarat-syarat teknis dan ketrampilan, dll.

Kesembilan, bagaimana Anda tahu Anda telah memilih karir yang benar? Untuk mengetahui apakah Anda telah memilih karir yang tepat, Anda dapat membuat perbandingan tentang karir yang Anda inginkan dengan apa yang ditawarkan oleh karir tertentu dalam diri Anda.

Jika sampai sembilan langkah Anda belum menemukan karir yang tepat, Anda tidak perlu berkecil hati. Proses seperti ini merupakan pembelajaran yang baik dan membuat kita mampu memulainya dari awal lagi dalam mempersiapkan masa depan. Inilah pertanyaan ke sepuluh. Berani mulai menentukan alternatif karir lain.

Memilih karir merupakan persoalan pokok yang dihadapi generasi muda kita. Lembaga pendidikan mestinya membantu mereka agar semakin jernih memahami diri mereka, nilai-nilai yang mereka percaya tentang kerja, kemampuan dan ketertarikan mereka, dan membantu mereka agar dapat mempertimbangkan semua itu dengan akal dan hati yang jernih. Baru setelah itu mereka bisa menentukan mau melanjutkan ke perguruan tinggi mana, atau tidak, jurusan apa, ke mana, di mana.

Jadi, Diana, apa yang kaucari?

Doni Koesoema A Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Tuesday 20 July 2010

Kucing Hitam Pendidikan Karakter

Kompas, 19 Juli 2010
Doni Koesoema A

Mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap, begitu ujar seorang guru. Memulai tahun ajaran baru, banyak sekolah mempromosikan program pendidikan karakter. Bahkan, tahun ini pun pemerintah juga menggemakan tentang pentingnya pendidikan karakter. Namun, semakin banyak dibicarakan, semakin tidak jelas halnya. Akhirnya, seperti kata guru tadi, kita berhadapan dengan kucing hitam dalam kamar yang gelap.

Diskursus terbuka

Wacana pendidikan karakter memang menarik dibicarakan. Hal sepenting pembentukan karakter yang menyangkut pertumbuhan individu dan warga negara di masa kini dan mendatang tidak mungkin hanya dibicarakan oleh sekelompok elit pengambil keputusan. Diskursus terbuka mesti menjadi hal yang wajar, karena pendidikan adalah tanggungjawab semua.

Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang mesti dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkan pendidikan karakter. Meskipun pendidikan karakter dirasakan kemendesakannya, baik itu berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh, serta dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat, pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident).

Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial, budaya, agama, psikologi, pendidikan, dan psikis. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mau tidak mau mesti melibatkan banyak pihak. Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain dalam rangka pengembangan pendidikan karakter.

Namun, meskipun setiap pihak memiliki perbedaan kepentingan dalam pengembangan pendidikan karakter, ada dua hal yang sama-sama menjadi tantangan bagi setiap klaim yang mereka ajukan. Pertama, fokus bagi pendidikan karakter. Kedua, metodologi. Ketiga, evaluasi.

Fokus pendidikan karakter

Ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi wacana. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang terakhir pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuham moral Kohlberg (character development).

Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dll, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan pemerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.

Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Metodologi

Hiruk pikuk debat tentang pendidikan karakter terutama berkaitan dengan metodologi atau pendekatan. Pendekatan pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti ketika pada masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila, dikhawatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang mematikan nalar dan daya kritis siswa.

Pendekatan pendidikan karakter bisa dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.

Apapapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah, dll.

Evaluasi

Yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. Pendidikan karakter seringkali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi. Membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter, dan dengan demikian menilai pengetahuan siswa tentangnya melalui tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan menilai perilaku siswa. Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian dalam pendidikan karakter.

Masalah evaluasi sering dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas, atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah, dimana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? Faktanya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekedar menjadi macam kertas, dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan.

Kucing hitam atau kotak hitam?

Pendidikan karakter tidak perlu dipahami seperti kucing hitam jika kita mampu memetakan persoalan, serta berani bertindak untuk menjawab tantangan bagi pengembangan pendidikan karakter. Indoktrinasi, bisa jadi menjadi salah satu tantangan. Namun, relativisme moral, serta reduksi pendidikan karakter pada hal yang sifatnya rohani, spiritual, atau sekedar pada tata krama dan sopan santun, serta ketidakseriusan pelaksanaan akibat sulit memahami dan menilai pendidikan karakter kiranya menjadi tantangan bagi tiap pendidik dan pengambil keputusan.

Pendekatan yang lebih utuh dan menyeluruh bagi pendidikan karakter kiranya diperlukan. Adanya perbedaan pendapat tentang pendidikan karakter adalah hal yang sehat. Namun, pemaksaan politis, baik itu dari pihak negara, masyarakat, maupun dari pihak sekolah tentangnya, tanpa memberikan ruang bagi dialog, debat, diskusi, kritik yang terbuka, kiranya bukan awal pengembangan pendidikan karakter yang baik.

Pendidikan karakter mestinya menjadi kotak hitam pendidikan, di mana setiap gerak, kegiatan, pemikiran, diskusi, praksis yang terjadi di sekolah dapat ditelusuri kembali, direnungkan, dievaluasi, sehingga jalan-jalan perbaikan itu terbuka. Selalu terbuka pada perbaikan, inilah salah satu sikap yang mesti dimiliki jika kita ingin mengembangkan pendidikan karakter yang berkesinambungan.

Doni Koesoema A. Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Wednesday 7 April 2010

30 Menit Bersama Wapres

Hari ini (Rabu, 7/4) saya memiliki kesempatan istimewa berjumpa dengan Bapak Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono di Istana Wakil Presiden. Dengan mengenakan seragam batik (biasanya beliau suka mengenakan kemeja putih), kami (Saya, H. Witdarmono, dan Ibu Henny Rahayu) diterima dengan penuh keramahan dan senyuman. Kami datang ingin berbagi cerita tentang pendidikan anak di negeri ini, terutama pendidikan karakter yang akan membentuk jatidiri mereka sebagai pribadi yang dewasa.

Bapak Wakil Presiden sangat antusias dan penuh dukungan pada kami sebagai warga negara yang memiliki niat mengembangkan anak-anak negeri ini melalui pendidikan, khususnya dengan men
gajak mereka memiliki budaya baca. Mengembangkan budaya baca, khususnya melalui koran Anak BERANI, bukan hanya dapat membantu anak-anak dalam hal kemampuan berbahasan/membaca (reading literacy) melainkan juga dengan membaca bacaan yang baik, dan dipandu oleh guru yang mengerti tentang pedagogi pendidikan karakter, dalam diri anak-anak akan terbentuk karakter yang kuat, sehingga mereka mampu bertumbuh menjadi warga Negara yang dewasa dan bertanggungjawab (moral literacy).

Bapak wakil presiden menegaskan b
ahwa pembentukan karakter mesti diusahakan sejak dini, dan media yang dipakai sebagai alat untuk mendidik, seperti koran BERANI, mesti tetap setia pada substansi pembentukan nilai yang dapat membentuk karakter anak didik melalui berbagai macam bacaan, entah itu melalui kisah tokoh-tokoh inspiratif nasional maupun internasional, maupun tokoh-tokoh besar dalam dunia fiksi yang inspiratif, seperti tokoh wayang, dll, yang mampu menyampaikan pesan pembentukan karakter kepada anak-anak.

Dalam pertemuan ini, saya juga menyerahkan dua buku saya yang berbicara tentang pendidikan karakter, yaitu Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2010, cetakan kedua) dan Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter (Grasindo, 2009) kepada Bapak Wakil Presiden.

Pendidikan Keagamaan