Wednesday 8 December 2010

Mengembalikan Kehormatan Guru

Kompas, 26 November 2010
Oleh Doni Koesoema A

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini.

Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi

Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Doni Koesoema A Peneliti dan Konsultan Pendidikan, Alumnus Boston College Lynch School of Education, AS

Wednesday 28 July 2010

Diana, Apa Yang Kaucari?

Kompas, 21 Juli 2010 (Liputan Khusus Pendidikan)
Doni Koesoema A

Pertanyaan paling menjengkelkan yang sering diajukan orang dewasa kepada anak remaja adalah tentang cita-cita mereka. Mau jadi apa kelak kalau sudah lulus SMA? Jangankan memikirkan masa depan, remaja zaman sekarang sudah terkuras tenaganya untuk menghadapi Ujian Nasional maupun mempersiapkan diri berebut kursi di perguruan tinggi. Krisis cita-cita, kegamangan menggapai masa depan, inilah persoalan serius yang mereka hadapi.

Sebut saja namanya Diana. Sejak SMA, dia sama sekali tidak memiliki keinginan atau gambaran mau menjadi apa kelak. Lulus SMA, dia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Empat tahun belajar, sarjana ekonomi digondolnya. Ketika ditanya mengapa ia memilih jurusan ekonomi, jawabnya singkat, “papa dan mama ingin agar salah satu anaknya bergelar sarjana.” Diana tidak tahu apa yang ia cari.

Tidak memiliki cita-cita, tidak tahu apa yang dicari, seperti kisah Diana, mungkin bukan perangai anak muda zaman sekarang. Jika 30 tahun lalu seorang anak ditanya apa cita-cita mereka, jawaban mereka hampir seragam, “dokter”, ”guru”, atau ”insinyur”.

Sekarang, jika kita tanya mereka, kita akan menemukan beragam jawaban. Banyaknya alternatif karir, tiadanya pendampingan yang cukup dari sekolah, ketidakmampuan anak mengenal diri, serta kurangnya informasi tentang kekhasan karir tertentu, dapat membuat generasi mudah kita gamang menatap masa depan dalam meniti karir.

Banyak pilihan karir

Pada tahun 2005, misalnya, Biro Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat mencatat ada sekitar 12 ribu macam karir yang bisa dipilih (Reeves, 2005). Banyaknya alternatif karir, di satu sisi membawa kabar gembira, sebab tersedia berbagai macam karir yang sesuai dengan bakat dan kemampuan kita. Namun juga ada berita buruknya. Bagaimana mungkin kita dapat memilih karir yang paling tepat untuk diri kita di antara ribuan karir yang ditawarkan oleh dunia?

Merancang masa depan, mempersiapkan anak didik memilih karir serta profesi yang cocok merupakan tantangan bagi setiap lembaga pendidikan. Di banyak sekolah, peranan pendampingan ini umumnya diserahkan pada guru Bimbingan Konseling (BK). Namun, tidak semua lembaga pendidikan memberikan layanan yang memadai agar siswa dapat memilih jalur karir selepas mereka tamat SMA.

10 pertanyaan besar

Reeves (2005) memberikan tips sederhana agar anak-anak dapat memilih karir yang sesuai dalam hidup mereka. Ada sepuluh pertanyaan besar yang harus dijawab oleh mereka yang ingin memilih jalur karir secara tepat.

Pertama, mengenal diri. Siapakah dirimu? Memilih jalur karir tidak dapat dilepaskan dari proses pengenalan diri. Di sini berlaku teori “individu dengan karakter tertentu akan lebih baik bekerja pada jenis pekerjaan tertentu”. Apakah Anda termasuk individu yang pemalu, suka petualang, suka menyendiri, tidak sabar, empati? Apakah Anda seorang yang memiliki sikap tradisional, memiliki rasa ingin tahu, suka eksplorasi, dll? Pengenalan diri adalah kunci awal sukses memilih karir.

Kedua, mengenal ketertarikan dan kekuatan diri. Memilih karir bukan sekedar usaha mengumpulkan uang, melainkan melibatkan kepuasan batin tersendiri. Melakukan sesuatu karena hal itu menyenangkan serta Anda mampu melaksanakannya dengan baik seringkali menjadi motivasi seseorang untuk memilih karir tertentu dibandingkan dengan perolehan penghasilan yang ia terima. Ada orang yang lebih suka menghabiskan liburannya dengan berbaring di pinggir pantai, ada pula yang suka menghabiskan waktunya dengan mengunjungi museum. Jika di dunia ini setiap orang memiliki preferensi yang sama, tentu saja dunia akan membosankan. Memilih pekerjaan yang paling Anda sukai serta mengerti bahwa Anda mampu bertahan dalam dinamika kerja seperti itu adalah hal yang sangat penting.

Ketiga, memahami makna nilai kerja. Orang bisa saja memilih pekerjaan yang sama, namun jika kita lihat lebih dekat, karir yang sama memiliki banyak perbedaan tergantung dari nilai-nilai yang diyakini. Karir sebagai guru,misalnya, memiliki banyak variasi dalam praksis tergantung pilihan nilai setiap orang. Ada orang yang memilih menjadi guru taman kanak-kanak, mengajar anak SMA, mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, mengajar matematika, biologi. Ada yang memilih di kota, di pedalaman, dll. Semua ini menunjukkan apa yang bernilai bagi pribadi guru tersebut. Penghayatan akan makna pekerjaan akan menentukan pilihan karir seseorang.

Keempat, menentukan apakah kepribadian kerja Anda. Dr. John Holland, dalam penelitiannya menemukan bahwa ada enam kategori kepribadian kerja yang bisa menjadi alat bagi seseorang untuk menentukan pekerjaan apakah yang kiranya cocok dengan diri mereka. Keenam kategori itu adalah realistik (orang yang lebih dikenal sebagai pelaksana/pekerja), investigatif (pekerjaan pemikir), artistik (kelompok para pencipta, seniman,), sosial (kelompok para penolong), bisnis (suka ambil resiko, kerja sama) dan konvensional (organisator melalui rutin dan prosedur).

Kelima, setelah mengeksplorasi berbagai macam karir, Anda menentukan karir yang menurut Anda kiranya tepat, cocok, serta sesuai dengan cita-cita Anda.

Keenam, apakah Anda sudah berada di jalur yang benar? Mempertimbangkan dengan akal dan hati berbagai macam kemungkinan kesulitan, tantangan yang Anda hadapi jika memilih karir tertentu tersebut.

Ketujuh, Anda perlu mencari informasi orang-orang yang jenis karirnya telah Anda pilih. Untuk itu, Anda bisa menggali informasi dari mereka, banyak berjumpa dan bertemu, serta mengadakan interaksi dengan mereka terlebih yang telah mengalami sukses dalam karirnya.

Kedelapan, cek pekerjaan sesungguhnya. Agar tidak salah langkah, Anda perlu memeriksa bagaimana profil karir itu dalam kenyataannya. Pertama-tama dengan mengidentifikasi tempat kerja atau lingkungan di mana karir itu umumnya berada. Lalu mencari profil pekerjaan, seperti jam kerja, penghasilan, jenis pekerjaan, syarat-syarat teknis dan ketrampilan, dll.

Kesembilan, bagaimana Anda tahu Anda telah memilih karir yang benar? Untuk mengetahui apakah Anda telah memilih karir yang tepat, Anda dapat membuat perbandingan tentang karir yang Anda inginkan dengan apa yang ditawarkan oleh karir tertentu dalam diri Anda.

Jika sampai sembilan langkah Anda belum menemukan karir yang tepat, Anda tidak perlu berkecil hati. Proses seperti ini merupakan pembelajaran yang baik dan membuat kita mampu memulainya dari awal lagi dalam mempersiapkan masa depan. Inilah pertanyaan ke sepuluh. Berani mulai menentukan alternatif karir lain.

Memilih karir merupakan persoalan pokok yang dihadapi generasi muda kita. Lembaga pendidikan mestinya membantu mereka agar semakin jernih memahami diri mereka, nilai-nilai yang mereka percaya tentang kerja, kemampuan dan ketertarikan mereka, dan membantu mereka agar dapat mempertimbangkan semua itu dengan akal dan hati yang jernih. Baru setelah itu mereka bisa menentukan mau melanjutkan ke perguruan tinggi mana, atau tidak, jurusan apa, ke mana, di mana.

Jadi, Diana, apa yang kaucari?

Doni Koesoema A Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Tuesday 20 July 2010

Kucing Hitam Pendidikan Karakter

Kompas, 19 Juli 2010
Doni Koesoema A

Mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap, begitu ujar seorang guru. Memulai tahun ajaran baru, banyak sekolah mempromosikan program pendidikan karakter. Bahkan, tahun ini pun pemerintah juga menggemakan tentang pentingnya pendidikan karakter. Namun, semakin banyak dibicarakan, semakin tidak jelas halnya. Akhirnya, seperti kata guru tadi, kita berhadapan dengan kucing hitam dalam kamar yang gelap.

Diskursus terbuka

Wacana pendidikan karakter memang menarik dibicarakan. Hal sepenting pembentukan karakter yang menyangkut pertumbuhan individu dan warga negara di masa kini dan mendatang tidak mungkin hanya dibicarakan oleh sekelompok elit pengambil keputusan. Diskursus terbuka mesti menjadi hal yang wajar, karena pendidikan adalah tanggungjawab semua.

Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang mesti dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkan pendidikan karakter. Meskipun pendidikan karakter dirasakan kemendesakannya, baik itu berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh, serta dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat, pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident).

Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial, budaya, agama, psikologi, pendidikan, dan psikis. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mau tidak mau mesti melibatkan banyak pihak. Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain dalam rangka pengembangan pendidikan karakter.

Namun, meskipun setiap pihak memiliki perbedaan kepentingan dalam pengembangan pendidikan karakter, ada dua hal yang sama-sama menjadi tantangan bagi setiap klaim yang mereka ajukan. Pertama, fokus bagi pendidikan karakter. Kedua, metodologi. Ketiga, evaluasi.

Fokus pendidikan karakter

Ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi wacana. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang terakhir pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuham moral Kohlberg (character development).

Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dll, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan pemerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.

Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Metodologi

Hiruk pikuk debat tentang pendidikan karakter terutama berkaitan dengan metodologi atau pendekatan. Pendekatan pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti ketika pada masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila, dikhawatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang mematikan nalar dan daya kritis siswa.

Pendekatan pendidikan karakter bisa dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.

Apapapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah, dll.

Evaluasi

Yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. Pendidikan karakter seringkali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi. Membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter, dan dengan demikian menilai pengetahuan siswa tentangnya melalui tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan menilai perilaku siswa. Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian dalam pendidikan karakter.

Masalah evaluasi sering dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas, atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah, dimana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? Faktanya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekedar menjadi macam kertas, dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan.

Kucing hitam atau kotak hitam?

Pendidikan karakter tidak perlu dipahami seperti kucing hitam jika kita mampu memetakan persoalan, serta berani bertindak untuk menjawab tantangan bagi pengembangan pendidikan karakter. Indoktrinasi, bisa jadi menjadi salah satu tantangan. Namun, relativisme moral, serta reduksi pendidikan karakter pada hal yang sifatnya rohani, spiritual, atau sekedar pada tata krama dan sopan santun, serta ketidakseriusan pelaksanaan akibat sulit memahami dan menilai pendidikan karakter kiranya menjadi tantangan bagi tiap pendidik dan pengambil keputusan.

Pendekatan yang lebih utuh dan menyeluruh bagi pendidikan karakter kiranya diperlukan. Adanya perbedaan pendapat tentang pendidikan karakter adalah hal yang sehat. Namun, pemaksaan politis, baik itu dari pihak negara, masyarakat, maupun dari pihak sekolah tentangnya, tanpa memberikan ruang bagi dialog, debat, diskusi, kritik yang terbuka, kiranya bukan awal pengembangan pendidikan karakter yang baik.

Pendidikan karakter mestinya menjadi kotak hitam pendidikan, di mana setiap gerak, kegiatan, pemikiran, diskusi, praksis yang terjadi di sekolah dapat ditelusuri kembali, direnungkan, dievaluasi, sehingga jalan-jalan perbaikan itu terbuka. Selalu terbuka pada perbaikan, inilah salah satu sikap yang mesti dimiliki jika kita ingin mengembangkan pendidikan karakter yang berkesinambungan.

Doni Koesoema A. Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Wednesday 7 April 2010

30 Menit Bersama Wapres

Hari ini (Rabu, 7/4) saya memiliki kesempatan istimewa berjumpa dengan Bapak Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono di Istana Wakil Presiden. Dengan mengenakan seragam batik (biasanya beliau suka mengenakan kemeja putih), kami (Saya, H. Witdarmono, dan Ibu Henny Rahayu) diterima dengan penuh keramahan dan senyuman. Kami datang ingin berbagi cerita tentang pendidikan anak di negeri ini, terutama pendidikan karakter yang akan membentuk jatidiri mereka sebagai pribadi yang dewasa.

Bapak Wakil Presiden sangat antusias dan penuh dukungan pada kami sebagai warga negara yang memiliki niat mengembangkan anak-anak negeri ini melalui pendidikan, khususnya dengan men
gajak mereka memiliki budaya baca. Mengembangkan budaya baca, khususnya melalui koran Anak BERANI, bukan hanya dapat membantu anak-anak dalam hal kemampuan berbahasan/membaca (reading literacy) melainkan juga dengan membaca bacaan yang baik, dan dipandu oleh guru yang mengerti tentang pedagogi pendidikan karakter, dalam diri anak-anak akan terbentuk karakter yang kuat, sehingga mereka mampu bertumbuh menjadi warga Negara yang dewasa dan bertanggungjawab (moral literacy).

Bapak wakil presiden menegaskan b
ahwa pembentukan karakter mesti diusahakan sejak dini, dan media yang dipakai sebagai alat untuk mendidik, seperti koran BERANI, mesti tetap setia pada substansi pembentukan nilai yang dapat membentuk karakter anak didik melalui berbagai macam bacaan, entah itu melalui kisah tokoh-tokoh inspiratif nasional maupun internasional, maupun tokoh-tokoh besar dalam dunia fiksi yang inspiratif, seperti tokoh wayang, dll, yang mampu menyampaikan pesan pembentukan karakter kepada anak-anak.

Dalam pertemuan ini, saya juga menyerahkan dua buku saya yang berbicara tentang pendidikan karakter, yaitu Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2010, cetakan kedua) dan Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter (Grasindo, 2009) kepada Bapak Wakil Presiden.

Wednesday 6 January 2010

Desain Besar Pendidikan

KOMPAS, Selasa 1 Desember 2009
Doni Koesoema A

Pendidikan bukanlah obat mujarab bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Namun demikian, dengan mendisain kebijakan pendidikan secara baik dan sinambung mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi perubahan tatanan masyarakat. Sayangnya,kebijakan pendidikan kita lebih banyak didasari oleh perilaku reaktif untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan seringkali malah kontraproduktif bagi kinerja dunia pendidikan itu sendiri. Mendisain kebijakan pendidikan secara integral, merupakan sebuah keharusan.

Mengawali tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh melempar dua wacana penting, yaitu persolan integrasi evaluasi pendidikan dan pentingnya mendisain pendidikan yang mampu membentuk karakter budaya, bukan sekedar membentuk siswa menjadi individu yang santun, melainkan juga memiliki keingintahuan intelektual yang bermuara pada keunggulan akademis. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita selama ini.

Jika dua hal ini benar-benar ingin menjadi sasaran Mendiknas, mau tidak mau ia mesti berani mengkritisi kembali berbagai macam kebijakan pendidikan yang telah lalu. Ada beberapa warisan kebijakan pendidikan warisan Mendiknas sebelumnya yang mesti ditelaah kembali karena kebijakan tersebut tidak didasari oleh sikap pikir jangka panjang melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan reaksioner sesaat.

Tiga keprihatinan
Pertama, perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini sangat reaksioner dan tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan lahirnya generasi peneliti dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.

Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang sudah mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun terakhir. Partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan swasta akibat gelojoh pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok.

Perlu diingat, bahwa banyaknya pengangguran terdidik dari perguruan tinggi maupun yang berasal dari lulusan SMA tidak akan serta merta diatasi dengan mendirikan SMK. Persoalan pengangguran bukanlah persoalan utama bagi dunia pendidikan, melainkan persoalan politik ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggungjawab menciptakan lapangan pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka menjadi individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan para siswa yang masuk dalam Perguruan Tinggi (PT). Di masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan keilmuan yang dimilikinya. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti, ilmuwan, dll, karena kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan siswa pada akuisisi kemampuan dan ketrampilan teknik, sedangkan refleksi filosofis intelektual yang memiliki rigoritas akademis menjadi semakin berkurang.

Kedua, perubahan proporsi kebijakan ini juga tidak didasari oleh sebuah cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, melainkan juga dari segi pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri.

Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan hanya akan menciptakan tenaga kerja murahan dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan swasta karena mereka tidak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk rekrutmen karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung oleh Negara.

Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian dan tugas dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat Akademi merupakan bagian dari kinerja Dirjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini mesti bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke Politeknik atau Akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi dengan pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja murahan bagi bangsa ini.

Dari segi evaluasi, UN SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang dibutuhkan oleh SMK/SMA maupun PT sangat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan menjadi pemborosan anggaran Negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan pemerintah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan suara rakyatnya sendiri.

Ketiga, pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan mesti bermuara pada keunggulan akademis. Sekolah itu tugas utama adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat. Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, namun ini bukan tugas utama sekolah, melainkan tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan oleh Mendiknas yang baru merupakan tugas utama sekolah.

Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara masak, matang, dan berkesinambungan mestinya menjadi orientasi bagi Pemerintah dalam mendisain pendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, namun menciptakan sebuah generasi yang memiliki keunggulan akademis, kiranya menjadi tugas abadi setiap lembaga pendidikan. Inilah yang semestinya menjadi desain besar pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat.

Sunday 27 December 2009

Depdiknas Gelar Pameran Foto Pendidikan

Doni Koesoema A memperoleh Penghargaan dari Mendiknas dalam rangka Apresiasi Penulis Artikel Peduli Pendidikan 2008-2009.

Ditulis oleh Dwi Riyanto, tanggal 15-12-2009

Mendiknas Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA mengamati salah satu foto juara, Selasa (15/12).

Jakarta (Mandikdasmen): Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan Pameran Foto Pendidikan di Plaza Insan Berprestasi Gedung A Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, mulai 15-22 Desember 2009. Pada pameran ini dipampang 62 foto apik yang terdiri dari 50 karya terseleksi hasil Lomba Foto Pendidikan dan 12 foto kegiatan dari sejumlah unit kerja Depdiknas, yaitu Pusat Informasi dan Humas, Ditjen PNFI, Ditjen PMPTK, Balitbang, Irjen, dan Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pameran ini merupakan tindak lanjut dari Lomba Foto Pendidikan yang diadakan oleh Depdiknas. Lomba bertajuk ‘Pendidikan Tanggung Jawab Kita Semua’ ini diikuti 246 fotografer dari tiga kategori, yaitu pelajar/mahasiswa, umum, dan masyarakat, dengan jumlah foto 755 lembar. Setelah melalui seleksi dan penilaian ketat oleh dewan juri profesional, terpilih tiga pemenang dari masing-masing kategori.

Pemenang Lomba Foto Pendidikan

Juara

Kategori

Pelajar/Mahasiswa

Umum

Wartawan

I

Otniel Yoreiza (Bandung)

Tan Josua Fiktor (Surabaya)

Agus Susanto (Jakarta)

I

I Made Adi Dharmawan

Sugede SS (Sukoharjo)

Vidayyub Ahmad (Makassar)

III

Muhammad Iqbal (Tangerang)

Tri Handiyatno

Heru Srikumoro (Yogyakarta)

Dalam sambutannya pada pembukaan pameran di Plaza Insan Berprestasi Gedung A Depdiknas, Selasa (15/12), Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA., mengatakan, tujuan pameran yaitu untuk memberikan semangat dan motivasi kepada masyarakat agar bersama-sama pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. “Karena foto-foto yang dipamerkan adalah potret pendidikan kita yang apa adanya tanpa rekayasa,” ujarnya. Pembukaan dihadiri Dirjen Mandikdasmen Prof. Suyanto, Ph.D. dan sejumlah pejabat di lingkungan Depdiknas.

Lebih lanjut Muhammad Nuh berkata, dengan banyaknya persepsi masyarakat tentang potret pendidikan, Depdiknas ikut termotivasi untuk terus memacu diri dalam meningkatkan prestasi kerja.

Pada lomba ini, juara I masing-masing kategori mendapatkan hadiah uang Rp 7 juta dan kamera digital SLR D3000. Juara II mendapat Rp 2 juta. Sementara juara III Rp 1 juta.

Selain membuka Pameran Lomba Foto Pendidikan, Muhammad Nuh juga memberikan apresiasi dan penghargaan kepada sepuluh penulis artikel pendidikan. Mereka adalah Ahmad Baedowi, Hendrizal SIP, Syamsir Alam, Amich Alhumami, Agus Wibowo, Septiono Sugiharto, Doni Koesoema A, Ki Supriyoko, Agus Suwignyo, dan Fuad Fachrudin.



Sunday 27 September 2009

Radikalisasi Peran Guru

Resensi Buku
KOMPAS, Minggu, 27 September 2009 | 03:12 WIB

M.Musthafa

Data buku

• Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter
• Penulis: Doni Koesoema A
• Penerbit: Grasindo
• Cetakan: I, 2009
• Tebal: xvi + 216 halaman

Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?

Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger"

Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana

Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

M Mushthafa Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Mahasiswa Program Master of Applied Ethics (Erasmus Mundus) Utrecht University, Belanda.

Pendidikan Keagamaan