Wednesday 7 April 2010

30 Menit Bersama Wapres

Hari ini (Rabu, 7/4) saya memiliki kesempatan istimewa berjumpa dengan Bapak Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono di Istana Wakil Presiden. Dengan mengenakan seragam batik (biasanya beliau suka mengenakan kemeja putih), kami (Saya, H. Witdarmono, dan Ibu Henny Rahayu) diterima dengan penuh keramahan dan senyuman. Kami datang ingin berbagi cerita tentang pendidikan anak di negeri ini, terutama pendidikan karakter yang akan membentuk jatidiri mereka sebagai pribadi yang dewasa.

Bapak Wakil Presiden sangat antusias dan penuh dukungan pada kami sebagai warga negara yang memiliki niat mengembangkan anak-anak negeri ini melalui pendidikan, khususnya dengan men
gajak mereka memiliki budaya baca. Mengembangkan budaya baca, khususnya melalui koran Anak BERANI, bukan hanya dapat membantu anak-anak dalam hal kemampuan berbahasan/membaca (reading literacy) melainkan juga dengan membaca bacaan yang baik, dan dipandu oleh guru yang mengerti tentang pedagogi pendidikan karakter, dalam diri anak-anak akan terbentuk karakter yang kuat, sehingga mereka mampu bertumbuh menjadi warga Negara yang dewasa dan bertanggungjawab (moral literacy).

Bapak wakil presiden menegaskan b
ahwa pembentukan karakter mesti diusahakan sejak dini, dan media yang dipakai sebagai alat untuk mendidik, seperti koran BERANI, mesti tetap setia pada substansi pembentukan nilai yang dapat membentuk karakter anak didik melalui berbagai macam bacaan, entah itu melalui kisah tokoh-tokoh inspiratif nasional maupun internasional, maupun tokoh-tokoh besar dalam dunia fiksi yang inspiratif, seperti tokoh wayang, dll, yang mampu menyampaikan pesan pembentukan karakter kepada anak-anak.

Dalam pertemuan ini, saya juga menyerahkan dua buku saya yang berbicara tentang pendidikan karakter, yaitu Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2010, cetakan kedua) dan Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter (Grasindo, 2009) kepada Bapak Wakil Presiden.

Wednesday 6 January 2010

Desain Besar Pendidikan

KOMPAS, Selasa 1 Desember 2009
Doni Koesoema A

Pendidikan bukanlah obat mujarab bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Namun demikian, dengan mendisain kebijakan pendidikan secara baik dan sinambung mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi perubahan tatanan masyarakat. Sayangnya,kebijakan pendidikan kita lebih banyak didasari oleh perilaku reaktif untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan seringkali malah kontraproduktif bagi kinerja dunia pendidikan itu sendiri. Mendisain kebijakan pendidikan secara integral, merupakan sebuah keharusan.

Mengawali tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh melempar dua wacana penting, yaitu persolan integrasi evaluasi pendidikan dan pentingnya mendisain pendidikan yang mampu membentuk karakter budaya, bukan sekedar membentuk siswa menjadi individu yang santun, melainkan juga memiliki keingintahuan intelektual yang bermuara pada keunggulan akademis. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita selama ini.

Jika dua hal ini benar-benar ingin menjadi sasaran Mendiknas, mau tidak mau ia mesti berani mengkritisi kembali berbagai macam kebijakan pendidikan yang telah lalu. Ada beberapa warisan kebijakan pendidikan warisan Mendiknas sebelumnya yang mesti ditelaah kembali karena kebijakan tersebut tidak didasari oleh sikap pikir jangka panjang melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan reaksioner sesaat.

Tiga keprihatinan
Pertama, perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini sangat reaksioner dan tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan lahirnya generasi peneliti dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.

Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang sudah mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun terakhir. Partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan swasta akibat gelojoh pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok.

Perlu diingat, bahwa banyaknya pengangguran terdidik dari perguruan tinggi maupun yang berasal dari lulusan SMA tidak akan serta merta diatasi dengan mendirikan SMK. Persoalan pengangguran bukanlah persoalan utama bagi dunia pendidikan, melainkan persoalan politik ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggungjawab menciptakan lapangan pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka menjadi individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan para siswa yang masuk dalam Perguruan Tinggi (PT). Di masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan keilmuan yang dimilikinya. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti, ilmuwan, dll, karena kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan siswa pada akuisisi kemampuan dan ketrampilan teknik, sedangkan refleksi filosofis intelektual yang memiliki rigoritas akademis menjadi semakin berkurang.

Kedua, perubahan proporsi kebijakan ini juga tidak didasari oleh sebuah cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, melainkan juga dari segi pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri.

Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan hanya akan menciptakan tenaga kerja murahan dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan swasta karena mereka tidak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk rekrutmen karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung oleh Negara.

Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian dan tugas dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat Akademi merupakan bagian dari kinerja Dirjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini mesti bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke Politeknik atau Akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi dengan pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja murahan bagi bangsa ini.

Dari segi evaluasi, UN SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang dibutuhkan oleh SMK/SMA maupun PT sangat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan menjadi pemborosan anggaran Negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan pemerintah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan suara rakyatnya sendiri.

Ketiga, pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan mesti bermuara pada keunggulan akademis. Sekolah itu tugas utama adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat. Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, namun ini bukan tugas utama sekolah, melainkan tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan oleh Mendiknas yang baru merupakan tugas utama sekolah.

Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara masak, matang, dan berkesinambungan mestinya menjadi orientasi bagi Pemerintah dalam mendisain pendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, namun menciptakan sebuah generasi yang memiliki keunggulan akademis, kiranya menjadi tugas abadi setiap lembaga pendidikan. Inilah yang semestinya menjadi desain besar pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat.

Sunday 27 December 2009

Depdiknas Gelar Pameran Foto Pendidikan

Doni Koesoema A memperoleh Penghargaan dari Mendiknas dalam rangka Apresiasi Penulis Artikel Peduli Pendidikan 2008-2009.

Ditulis oleh Dwi Riyanto, tanggal 15-12-2009

Mendiknas Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA mengamati salah satu foto juara, Selasa (15/12).

Jakarta (Mandikdasmen): Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan Pameran Foto Pendidikan di Plaza Insan Berprestasi Gedung A Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, mulai 15-22 Desember 2009. Pada pameran ini dipampang 62 foto apik yang terdiri dari 50 karya terseleksi hasil Lomba Foto Pendidikan dan 12 foto kegiatan dari sejumlah unit kerja Depdiknas, yaitu Pusat Informasi dan Humas, Ditjen PNFI, Ditjen PMPTK, Balitbang, Irjen, dan Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pameran ini merupakan tindak lanjut dari Lomba Foto Pendidikan yang diadakan oleh Depdiknas. Lomba bertajuk ‘Pendidikan Tanggung Jawab Kita Semua’ ini diikuti 246 fotografer dari tiga kategori, yaitu pelajar/mahasiswa, umum, dan masyarakat, dengan jumlah foto 755 lembar. Setelah melalui seleksi dan penilaian ketat oleh dewan juri profesional, terpilih tiga pemenang dari masing-masing kategori.

Pemenang Lomba Foto Pendidikan

Juara

Kategori

Pelajar/Mahasiswa

Umum

Wartawan

I

Otniel Yoreiza (Bandung)

Tan Josua Fiktor (Surabaya)

Agus Susanto (Jakarta)

I

I Made Adi Dharmawan

Sugede SS (Sukoharjo)

Vidayyub Ahmad (Makassar)

III

Muhammad Iqbal (Tangerang)

Tri Handiyatno

Heru Srikumoro (Yogyakarta)

Dalam sambutannya pada pembukaan pameran di Plaza Insan Berprestasi Gedung A Depdiknas, Selasa (15/12), Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA., mengatakan, tujuan pameran yaitu untuk memberikan semangat dan motivasi kepada masyarakat agar bersama-sama pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. “Karena foto-foto yang dipamerkan adalah potret pendidikan kita yang apa adanya tanpa rekayasa,” ujarnya. Pembukaan dihadiri Dirjen Mandikdasmen Prof. Suyanto, Ph.D. dan sejumlah pejabat di lingkungan Depdiknas.

Lebih lanjut Muhammad Nuh berkata, dengan banyaknya persepsi masyarakat tentang potret pendidikan, Depdiknas ikut termotivasi untuk terus memacu diri dalam meningkatkan prestasi kerja.

Pada lomba ini, juara I masing-masing kategori mendapatkan hadiah uang Rp 7 juta dan kamera digital SLR D3000. Juara II mendapat Rp 2 juta. Sementara juara III Rp 1 juta.

Selain membuka Pameran Lomba Foto Pendidikan, Muhammad Nuh juga memberikan apresiasi dan penghargaan kepada sepuluh penulis artikel pendidikan. Mereka adalah Ahmad Baedowi, Hendrizal SIP, Syamsir Alam, Amich Alhumami, Agus Wibowo, Septiono Sugiharto, Doni Koesoema A, Ki Supriyoko, Agus Suwignyo, dan Fuad Fachrudin.



Sunday 27 September 2009

Radikalisasi Peran Guru

Resensi Buku
KOMPAS, Minggu, 27 September 2009 | 03:12 WIB

M.Musthafa

Data buku

• Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter
• Penulis: Doni Koesoema A
• Penerbit: Grasindo
• Cetakan: I, 2009
• Tebal: xvi + 216 halaman

Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?

Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger"

Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana

Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

M Mushthafa Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Mahasiswa Program Master of Applied Ethics (Erasmus Mundus) Utrecht University, Belanda.

Saturday 26 September 2009

Sekolah Mahal, Tanya Kenapa?

Majalah Gatra, No.23 Tahun XIII, 18-25 April 2007, hlm.8
Doni Koesoema, A

Sistem pendidikan kita sedang menghadapi krisis solidaritas, jauh dari reksa demokratis, dan abai terhadap keadilan sosial. Meski kita telah memasuki millenium ketiga, cara kita menanggapi tiga serangan ini tak beranjak jauh dari warisan semangat baru jaman Adam Smith di tahun 1850-an. Semangat itu adalah, “mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri!"

Biaya sekolah memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya sendiri mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di garda depan menyelamatkan pendidikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara, orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.

Namun ketika negara sudah dibelenggu oleh hempasan gelombang modal, sistem pendidikan pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini pada gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan, mematikan demokrasi dan menghancurkan solidaritas antar rakyat negeri!

Mengapa sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar dua instansi ini, yaitu, lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan corak relasional antar dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai pada rakyat miskin, menggerogoti demokrasi dan melukai keadilan.

Sekolah kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan lembaga pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu, membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!

Kedua, kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika pemerintah lebih suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang “gemar mengeruk kekayaan, melupakan semua, kecuali dirinya sendiri, ” setiap kewenangan yang semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang penjarahan kekayaan. Pejabat pemerintah dan swasta (kalau ada kesempatan!) akan berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.

Ketiga, mental malingisme pejabat negara, juga swasta, semakin menggila terutama karena tuntutan persaingan di pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap kultur pendidikan kita. “Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan, kita akan menggunungkan uang.” Itulah isi pesan dalam brosur mereka.

Banyak perusahaan berusaha memprivatisasi lembaga pendidikan, kalau bisa membeli sistem pendidikan. Caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan moral para pejabat negara. Bagaimana? Dengan membuatnya tidak bekerja! Karena itu, cara paling gampang untuk memprivatisasi lembaga pendidikan adalah dengan membuat para pejabat negara membiarkan lembaga pendidikan mati tanpa subsidi, mengurangi anggaran penelitian, memandulkan persaingan, dll. Singkatnya, agar dapat dijual, lembaga pendidikan negeri harus dibuat tidak berdaya. Kalau sudah tidak berdaya, mereka akan siap dijual. Inilah yang terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi kita yang telah mengalami privatisasi.

Pendidikan merupakan conditio sine qua non bagi sebuah masyarakat yang solid, demokratis dan menghormati keadilan. Karena kepentingan strategisnya ini, mengelola pendidikan dengan manajemen bisnis bisa membuat lembaga pendidikan menjadi menjadi sapi perah yang menggunungkan keuntungan. Karena itu, sistem pendidikan akan senantiasa menjadi rebutan pasar. Jika pasar melalui jaring-jaring privatnya menguasai sistem pendidikan, mereka dapat merogoh kocek orang tua melalui berbagai macam pungutan, seperti, uang gedung, iuran, pembelian formulir, seragam, buku, jasa lembaga bimbingan belajar, dll.

Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika kebijakan politik pendidikan yang berlaku memiliki semangat melindungi rakyat miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika semangat, “mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri!” masih ada seperti sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah krisis solidaritas, mandegnya demokrasi, dan terpuruknya keadilan sosial"

Doni Koesoema, A.Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Kanon Moral Komensky dan UN

KOMPAS, 26 April 2007
Oleh Doni Koesoema, A

Ujian Nasional senantiasa menyisakan balada keterpurukan bagi dunia pendidikan kita. Ada kepala sekolah yang demi tanggungjawabnya terpaksa mencuri soal UN. Ketatnya penjagaan soal-soal UN pun masih bisa ditelikung oleh panitia ujian tingkat sekolah beberapa menit setelah soal dibagikan.

Di Tangerang, misalnya, panitia sekolah bahkan minta ijin kepada pengawas untuk masuk kelas dan tanpa malu-malu memberikan jawaban ujian kepada siswa! Pasca UN SMA, Ada pejabat yang kebakaran jenggot karena melihat potensi UN yang merugikan reputasi daerahnya segera mengadakan rapat kilat mengundang para kepala sekolah dan mencoba ‘main mata’ dengan Tim Pengawas Independen (TPI) agar hasil UN di daerahnya diatur baik. Dengan uang amplop yang diterima, para pendidik seperti dilecehkan nuraninya. Namun jika tidak ikut setuju, resiko jabatan sudah menghadang di depan mata!

Alih-alih menjadi sarana pengujian kualitas pendidikan, UN malah menjadi pertunjukan kebobrokan moral para penanggungjawab pendidikan, mulai dari guru, masyarakat, sampai birokrat pemerintahan. Perilaku mereka membuat anak didik tidak mengerti lagi apa makna belajar, tanggungjawab, kerja keras. Apa artinya keadilan jika mereka yang belajar dan malas mendapatkan hasil yang kurang lebih sama?

Bom waktu

Kultur pendidikan yang jauh dari norma moral akan secara perlahan membawa bangsa ini memasuki jurang keruntuhan. Pendidikan kita sedang menyimpan bom waktu yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial kapan saja. Ketika anak tidak belajar arti kerja keras dan nilai kejujuran, kita sebenarnya sedang mempersiapkan lahirnya generasi penerabas yang gemar jalan pintas, membentuknya menjadi kerumunan pencuri dan pembunuh hati nurani.

Jika di dalam kelas saja para pendidik tidak malu-malu lagi melacurkan integritas moral mereka sebagai pendidik, bagaimana anak-anak dapat menghargai mereka. Jika mereka yang berjerih payah belajar dan enggan belajar bisa lulus karena mendapatkan jawaban soal dari panitia sekolah, bagaimana mereka belajar tentang keadilan?

Sekolah sebenarnya memiliki potensi yang sangat efektif bagi pembentukan habitus baru dan karakter siswa. Namun jika yang mereka saksikan adalah rusaknya moralitas para pendidik dan guru, gagasan sekolah sebagai pembentuk karakter semakin sirna. Sia-sialah mengharapkam pembaharuan pendidikan dalam lembaga pendidikan. Apapun aturan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menjaga kualitas pendidikan, aturan itu tetap bisa ditelikung oleh individu melalui perilaku dan tindakannya. Pendidikan karakter akan semakin efektif jika dalam sekolah terdapat figur keteladanan.

Mengembalikan lembaga pendidikan sebagai agen pembentuk karakter yang menghasilkan individu bermoral melalui figur keteladanan merupakan kemendesakan yang jadi tantangan.

Untuk ini, cara pertama paling ampuh adalah bercermin diri. Semestinya, para pendidik menciptakan iklim kejujuran melalui sikap tegas terhadap peserta yang melanggar tata tertib UN. Sistem kongkalikong antar sekolah dan pengawas UN mesti dijauhkan. Integritas moral pendidik akan runtuh jika mereka sendiri tidak mampu menghargai keutuhan mertabat profesi mereka di hadapan siswa.

Kedua, setiap pendidik semestinya percaya bahwa jerih payah dan kerja keras itu tidak akan sia-sia. Siswa semestinya mendapatkan penghargaan sesuai dengan kerja keras dan ketekunan mereka dalam belajar. Inilah makna pendidikan berkeutamaan. Hanya mereka yang belajar bisa menjadi pintar. Yang suka potong kompas semestinya dilibas. Yang suka mencontek semestinya mendapat nilai jelek.

Perilaku adil

Jan Amos Komenský (1592-1670) dalam salah satu kanon pengajaran moralnya di sekolah menekankan pentingnya mengajarkan perilaku adil kepada siswa. Keadilan merupakan kemampuan diri untuk menimbang dan menilai segala sesuatu secara seimbang. Siswa belajar untuk menghargai dan menilai sesuatu secara apa adanya sesuai dengan halnya itu sendiri.

Keadilan bukan terutama terwujud dalam tindakan menghindari yang buruk, atau menerima yang baik, memuji yang luhur atau mencela yang rendahan. Yang perlu dimiliki terutama adalah kemampuan dalam membedakan dan menilai secara adil mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan kenyataan itu sendiri.

Komenský yakin, bahwa sikap adil hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui proses alamiah. Ketika anak didik tidak dibiasakan menilai secara objektif mana yang baik dan mana yang buruk, perilakunya pun akan dipandu sesuai dengan pemahamannya tersebut. Sebab kebiasaan baik maupun buruk itu terjelma bersama-sama dalam hidup manusia secara alamiah.

Jika dalam UN perilaku tidak terpuji, seperti, dengan sengaja memberikan jawaban pada siswa tetap terjadi, anak-anak itu tidak akan belajar apa arti nilai kerja keras. Siswa akan belajar bahwa nilai kerja keras dan kejujuran tidak perlu. Lama-lama anak-anak kita tidak dapat lagi melihat kenyataan secara berimbang dan menilainya secara jujur sesuai dengan kenyataan itu sendiri apa adanya.

Dalam masyarakat yang korup, kejujuran dan integritas akan membuahkan cemooh, bahkan bisa beresiko bagi jabatan mereka jika pejabat di tingkat atasnya ternyata lebih korup. Namun inilah jalan yang harus dilewati oleh para pendidik sejati. Sebab anak hanya akan belajar perilaku adil jika mereka mengalami bahwa kerja keras, baik dari guru dan siswa dihargai sebagaimana adanya. Bukan memaksakan keberhasilan semu dengan menodainya melalui perilaku tercela.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Pendidikan dan Kekerasan

KOMPAS, Rabu, 11 April 2007

Doni Koesoema, A

Irasionalitas dalam dunia pendidikan kita semakin menjadi-jadi. Mari kita bertanya, apa makna tendangan bebas ke dada mahasiswa, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati yang terjadi dari hari ke hari dalam pendidikan para calon pemimpin rakyat dalam IPDN?

Perilaku kekerasan dalam video amatir tahun 2003 yang terjadi dalam pendidikan pamong praja merupakan tindakan biadab yang melecehkan martabat manusia dan melukai martabat bangsa Indonesia. Itu bukan pendidikan melainkan penindasan. Itu adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilegalisasi melalui sistem pendidikan!

Gunung Es

Perilaku kekerasan yang kita saksikan terhadap para calon pamong praja dalam Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) merupakan gunung es kekerasan yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Kematian Cliff Muntu bukanlah yang pertama. Ia bukanlah satu-satunya korban kekerasan dalam pendidikan. Sejak lama lembaga pendidikan kita telah melahirkan dan mereproduksi kekerasan dalam masyarakat.

Maraknya tawuran pelajar, pengguguran kandungan, pelecehan seksual oleh guru, yang terakhir perkosaan dan pembunuhan terhadap pelajar dan oleh pelajar lain merupakan lampu merah bagi pemerintah dan tiap insan pendidikan untuk segera menyehatkan kinerja sistem pendidikan kita.

Sebenarnya, persoalan siapa tindakan kekerasan dalam sekolah? Jawabannya adalah persoalan kita semua. Masyarakat, Negara, administrator, guru, orang tua,dan siswa harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang aman dalam lembaga pendidikan. Jika tidak demikian, segala tindakan pencegahan dan hukuman tidak akan efektif.

Kekerasan di dalam lembaga pendidikan bisa terjadi karena banyak alasan, seperti, narkoba atau maraknya gang-gang remaja. Namun di Indonesia, kekerasan pelajar terjadi karena perselingkuhan antara sistem pendidikan dan kultur sosial yang menghasilkan generasi muda sakit jiwa. Sistem pendidikan kita telah meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan. Sedangkan kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan.

Perselingkuhan ini melahirkan orang-orang yang terlempar keluar, tidak berdaya, karena sistem pendidikan dan kultur sosial menyingkirkan mereka dari derap masyarakat. Mereka adalah orang-orang terluka, yang dimasa lalu selalu dihina, dilecehkan, dipukuli. Karena itu, mereka pun melakukan tindakan kekerasan karena balas dendam atas pengalaman masa lalu mereka. Perilaku kekerasan hanya akan melahirkan perilaku kekerasan lain. Lingkaran balas dendam inilah yang terjadi dalam kasus perilaku kekerasan di dalam IPDN.

Masuknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan, bukan hanya terjadi dalam IPDN saja, melainkan juga terjadi dalam peristiwa Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan Orientasi Pengenalan Kampus (OPK). Kesalahan fatal dalam setiap program MOS dan OPK adalah lepasnya campur tangan sekolah sebagai pengarah kegiatan. Menyerahkan seluruh program pada OSIS atau Senat Mahasiswa tanpa ada kendali dari staf pendidik memungkinkan menelusupnya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan. Masuknya perilaku kekerasan ini akan mereproduksi perilaku kekerasan secara berkelanjutan dari tahun ke tahun. Maka jika ada perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan yang paling bertanggungjawab adalah pimpinan lembaga tersebut sebab ia tidak becus menciptakan kebijakan yang kondusif bagi keberhasilan visi pendidikan kelembagaannya.

Bisa jadi sistem akan membelenggu individu sehingga proses pembaharuan tidak dapat terjadi, pun jika telah terjadi pergantian di pucuk pimpinan lembaga pendidikan seperti IPDN. Kasus dalam IPDN menunjukkan kelemahan dalam sistem pendidikan, namun kelemahan sistem ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan. Lemahnya kepemimpinan terjadi karena tidak adanya visi pendidikan. Tidak adanya visi pendidikan yang jelas membuat lembaga pendidikan hanya mereproduksi perilaku tradisional dari tahun ke tahun dalam proses rekruitmen anggota-anggotanya.

Budaya kolusi, bayar uang semir, pendaftaran lewat orang dalam, pemesanan tempat atas nama orang-orang tertentu yang memiliki kuasa hampir menjadi pemandangan harian rekruitmen orang-orang pemerintahan dan dalam lembaga militer. Situasi ini membuat visi lembaga pendidikan menjadi semakin kabur. Visi pendidikan tidak akan jelas jika lembaga pendidikan menjadi tempat di mana berbagai macam kepentingan beradu. Akhirnya hanya mereka yang berkuasa saja yang bisa lolos dalam proses rekruitmen ini.

Jika situasi ini terjadi terus menerus dalam IPDN, kesalahan utama sesungguhnya terletak pada Menteri Dalam Negeri yang tidak berani merombak sistem rekruitmen para pamong praja di lingkungannya sehingga cita-cita perbaikan pelayanan terhadap masyarakat melalui aparat Negara yang bersih, berwibawa dan memiliki semangat pelayanan tidak terjadi.

Perilaku kekerasan di dalam lembaga pendidikan dapat diretas jika ada visi pendidikan yang jelas dan sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Rakyat berhak tahu informasi tentang bagaimana pendidikan dan pembinaan para calon praja yang akan menjadi pelayan masyarakat.

Menurunkan tim investigasi dan mengadakan penyelidikan resmi oleh polisi tidak akan memperbaiki sistem pendidikan di dalam IPDN jika struktur dan kultur yang melingkupi dalam IPDN sendiri tidak dirombak. Untuk merombaknya, paling tidak butuh 2 syarat.

Pertama, butuh pemimpin berkarakter yang memiliki visi pendidikan yang jelas bagi pendidikan calon para pelayan rakyat. Pemimpin ini mesti dapat menciptakan struktur dan kultur baru dalam lembaga pendidikan di IPDN agar perilaku kekerasan terpotong dari tradisi pendidikan yang selama ini ada.

Kedua, setiap lembaga pendidikan mesti mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap para pemangku kepentingan, yaitu, orang tua dan masyarakat luas. Karena itu, sistem pendidikan yang ada, baik berupa proses, materi pendidikan, kurikulum, praksis di lapangan harus bersifat terbuka dan dapat dikontrol oleh publik. Untuk inilah peranan pers sangat penting dalam mengomunikasikan kinerja pendidikan setiap lembaga pendidikan kepada masyarakat.

Homo violens


Bahwa para praja yang masuk dalam IPDN ternyata diam saja diperlakukan secara-sewenang-wenang oleh senior mereka menunjukkan kematian rasionalitas dalam diri para praja tersebut. Homo violens memang merupakan bagian dari kodrat manusia yang merupakan homo sapiens. Namun homo violens terjadi karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan kehidupan. Dalam kasus IPDN, kehadiran para homo violens ini terjadi bukan karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup, melainkan karena matinya rasionalitas. Karena itu, alih-alih menjadi Institit Pendidikan, IPDN berubah menjadi Institut Pembunuhan Dalam Negeri.

Tidak ada satu jiwa merdekapun yang mau ditendang, dipukuli, dan dianiaya secara sistematis seperti terjadi dalam kasus mahasiswa IPDN. Kematian rasionalitas menandai matinya kemerdekaan dan penghargaan terhadap kemartabatan sendiri. Menolak adalah sikap merdeka yang mesti hadir dalam jiwa setiap individu ketika diperlakukan secara sewenang-wenang, sebab, tidak ada kaitan sama sekali antara tendangan bebas ke dada, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati untuk menciptakan pamong praja pengabdi rakyat.

Kekejaman dalam dunia pendidikan ini harus segera dihentikan!

Doni Koesoema, A.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Pendidikan Keagamaan