Thursday 3 September 2009

Paus, Lembaga Kepausan dan Dunia

KOMPAS, 05 April 2005
Oleh Doni Koesoema, A

Dunia berduka, dunia merasakan kehilangan sosok besar Carol Wojtyla ketika Pengganti Sekertaris Negara Uskup Agung Leonardo Sandri mengumumkan kematiannya di hadapan ribuan umat yang berjejal di pelataran Basilika Vatikan sejak hari jumat. Harus diakui bahwa fenomena Vatikan terpusat hanya pada satu pribadi, yaitu, Paus Yohanes Paulus II.

Dalam relasinya dengan negara-negara lain, kedudukan Paus bisa dikatakan setaraf dengan Presiden. Namun dalam kedudukannya sebagai pemimpin rohani umat katolik sedunia, kedudukan Paus adalah Uskup Gereja Roma, Kepala Dewan para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia.

Struktur kekuasaan dan kewenangan yang begitu unik dan berpusat pada Paus menciptakan suatu sistem kelembagaan yang istimewa dalam kerangka hubungan antar bangsa, antara Gereja universal dan Gereja lokal, antara sosok pribadi Paus dalam relasi personalnya dengan setiap orang yang dijumpainya.

Karena itu ada tiga hal yang bisa dibedakan, namun tak dapat dipisahkan berkaitan dengan kedudukan istimewa Paus. Pertama, Paus sebagai Uskup Gereja Roma yang mewarisi secara tetap tugas yang secara istimewa diberikan kepada Petrus (Uskup Roma Pertama) memiliki kedudukan dan kewenangan yang tidak berbeda dengan kedudukan seluruh Uskup Gereja Katolik di dunia.

Kedua, sebagai penerus tahta Santo Petrus, Paus merupakan yang pertama di antara para rasul (primi inter pares) dan bertindak sebagai Kepala Dewan para Uskup sedunia. Paus Paulus VI, misalnya, menyebut hubungan istimewa antara antara Uskup Roma dengan para Uskup dengan istilah kesatuan ikatan hirarki (hierarchicae communionis vincula). Kesatuan dengan hirarki inilah yang melahirkan jabatan keuskupan di mana Katedral Santo Petrus merupakan pusat dan prinsip kesatuan iman dalam kesatuannya dengan Gereja untuk mengaktualisasikan dan menunjukkan dimensi universalitas Gereja.

Ketiga, relasi langsung Paus dengan seluruh umat kristiani di dunia, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Anggota tarekat hidup bakti yang membaktikan dirinya secara khusus untuk pelayanan terhadap Allah dan seluruh Gereja, misalnya, mereka wajib taat kepada Paus sebagai pemimpin tertinggi mereka.

Seputar suksesi

Kedudukan khas Paus membangkitkan banyak pertanyaan seputar suksesi kepausan. Bagaimana proses pemilihannya? Apakah Paus bisa mengundurkan diri dari jabatannya? Siapa kira-kira kardinal papabilis pasca Yohanes Paulus II? Mungkin tidak ada satu proses suksesi kekuasaan di dunia ini yang diliputi banyak teka-teki selain proses pemilihan seorang Paus.

Kabut misteri yang menyelimuti proses suksesi kepausan mungkin bisa dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, jumlah kandidat yang papabilis begitu banyak dan secara tipologis tersebar dari seluruh penjuru dunia. Kedua, struktur hirarkis Gereja Katolik Roma menempatkan Paus sebagai pemimpin tertinggi dengan otonomi struktural dan personal secara penuh.

Dalam dalam Konstitusi Apostolis Universi Apostolis Gregi (22 februari 1996) yang membahas situasi sede vacante dan proses pemilihan Paus, hanya para Kardinal Gereja Romawi Kudus yang memiliki hak penuh untuk memilih. Dari 183 kardinal yang ada, satu masih in pectore(terpilih namun masih dirahasiakan), ada 118 kardinal yang papabilis.

Secara teoritis, Paus terpilih tidak harus selalu berasal dari kalangan Kardinal yang telah menerima tahbisan Uskup. Sejarah Gereja membuktikan bahwa seorang diakon pun dapat dipilih menjadi Paus. Proses pemilihan Paus Gregorius Agung, Gregorius VII, Innosensius III, dll, hanyalah salah satu bukti sejarah di mana tidak perlu seseorang pertama-tama telah menerima tahbisan uskup untuk dapat dipilih menjadi Paus. Karena itu, seorang diakon, imam, Uskup, atau Kardinal memiliki kemungkinan untuk terpilih menjadi Paus. Luasnya rentang kemungkinan inilah yang sering membuat para wartawan keliru dalam menebak hasil konklav.

Hal lain adalah bahwa Uskup Roma tidaklah selalu harus berasal dari keuskupan Roma. Paus Yohanes Paulus II, misalnya, beliau merupakan Paus pertama non-italia yang terpilih semenjak Paus Adrianus VI(1522-1523).

Tidak otomatis

Nama Paus yang terpilih dalam sebuah konklav tidak otomatis menjadi Paus jika Paus terpilih menolaknya. Syarat sahnya jabatan seorang Paus adalah pemilihan sah dan penerimaan jabatan dari pihak yang terpilih. Begitu terpilih dan menyatakan diri menerima pilihan itu, saat itu jugalah berfungsi secara efektif kewenangan yurudis yang dimilikinya. Karena itu, meskipun Paus terpilih belum memiliki meterai tahbisan Uskup, seandainya proses pemilihan itu dilakukan secara sah dan ia menerimanya, pada saat itu juga setiap pernyataannya berkaitan dengan tata aturan hukum yang diproklamasikannya berlaku secara efektif. Kewenangan yurudis berfungsi secara otomatis begitu Paus terpilih menyatakan menerima proses pemilihannya.

Saat ini Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 mempersyaratkan bahwa jika Paus terpilih belum menerima meterai tahbisan Uskup hendaknya ia segera ditahbiskan menjadi Uskup (KHK 332, §1).

Paus memiliki kuasa jabatan tertinggi, penuh, langsung dan universal dalam reksa penggembalaannya pada Gereja Universal. Kekuasaannya tidak ada di bawah subordinasi Kolegio para Kardinal. Namun dalam menjalankan tugas penggembalaannya ia selalu terikat dalam persekutuan dengan para Uskup lain, bahkan dengan seluruh Gereja: tetapi ia mempunyai hak untuk menentukan cara, baik personal maupun kolegial, pelaksanaan jabatan itu, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja (KHK 333 §2).

Karena itu, apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya hanya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun.

Paus Global

Kedudukan Paus yang sangat istimewa sesungguhnya mencerminkan struktur hirarki Gereja dan corak pelayanan asali yang telah mereka terima sejak pendiriannya. Kolegialitas antar Uskup Roma denga para Uskup sedunia, kesatuan dengan para imam, bahkan dengan umat Allah secara pribadi, kehadiran diplomat kepausan yang ada di hampir setiap negara, luasnya jalur-jalur diplomatik di tingkat internasional, merupakan tanda kehidupan Gereja untuk berdialog dengan dunia. Dalam hal ini Yohanes Paulus II bukanlah sekedar pemimpin rohani yang karismatis, tapi juga seorang pribadi yang merengkuh semua, tua, muda, besar, kecil.

Dalam perjalan sejarah Gereja kita banyak menemukan Paus yang begitu termasyur dan terkenal, namun Yohanes Paulus II adalah satu-satunya Paus Global yang kehadirannya dan pesannya menjangkau telinga, mata dan hati seluruh dunia. Kehadiran dan setiap kegiatannya menjangkau batas-batas yang tak pernah dimiliki oleh para Paus sebelumnya.

Dia adalah seorang pastor Universal yang ajaran-ajarannya bisa disimpulkan dengan satu kata, penghargaan terhadap nilai hidup manusia beserta seluruh dimensinya yang terentang sejak masih dalam kandungan hingga sampai akhir hidup.

Keberadaan dirinya sebagai aktor sejarah, dan pesan-pesan Injili yang disampaikannya selama 26 tahun masa pemerintahan kepausannya telah mewarnai lembaran sejarah dunia abad millennium ini.

Terlepas dari kebesarannya, Carol Wojtyla adalah juga sosok manusia biasa yang rapuh, lemah, fana, sakit, seperti kita semua. Dengan kelemahan dan ketidakberdayaan yang dialaminya Carol Wojtyla membuktikan keliru anggapan banyak orang tentang ketidakmampuannya dalam memerintah dan menggembalakan Gereja. Bergulat dengan kerapuhan dan sakitnya ia tidak kehilangan kemampuan untuk menjalankan tugas kegembalaannya bagi perawatan jiwa-jiwa umat yang dipercayakan kepadanya.

“Bahkan Yesus pun tidak turun diri dari salib!” Begitulah Yohanes Paulus II selalu menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan pengunduran dirinya pada saat kondisi kesehatannya mulai menurun.

Paus Yohanes Paulus II tetaplah gembala umat hingga akhir hayatnya. Pergulatannya dengan maut dan penderitaan meruakan saat-saat terakhir di mana Paus sebagai gembala jiwa seluruh umat menunjukkan dirinya sebagai guru iman dan guru kemanusiaan. Kini ia menyampaikan ajarannya bukan lagi dengan surat-surat gembala apostolik, bukan melalui proklamasi ensiklik, melainkan melalui ketabahan dan kesediaannya mengalami derita dari kamar pribadinya yang pengaruhnya bisa dirasakan dan disaksikan oleh milyaran orang seluruh dunia.

Penderitaannya mewartakan satu pesan kemanusiaan : hidup manusia berharga apapun keadaannya. Dan ia telah menunjukkan pada dunia lewat teladan hidupnya.

Selamat Jalan Carol Wojtyla.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana Roma

Demokrasi dan Peran Cendekia

KOMPAS, KAMIS, 17 Maret 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Kalangan cendekiawan merupakan kelompok sosial otonom dan independen, atau setiap kelompok sosial sesungguhnya memiliki kalangan cerdik pandai yang khas bagi mereka? Pertanyaan awal yang diajukan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) dalam Catatan dari Penjara (Quaderni del Carcere, 12) relevan untuk kita simak ketika momentum kenaikan BBM ternyata membawa polemik tentang status dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat demokratis yang selama ini jarang mendapat perhatian kita.

Peranan utama kalangan cendekiawan tradisional dalam masyarakat, lanjut Gramsci, adalah untuk menghasilkan konsensus. Karena itu, pekerjaan kaum cerdik pandai lebih berada pada jalur pengembangan masyarakat sipil (civil society), bukan pada lingkup politik (political society), namun ini bukanlah alasan untuk menyatakan bahwa kinerja mereka tidak memiliki muatan politis.

Polemik tentang status cendekiawan yang dipicu tayangan iklan Freedom Institute hanyalah satu contoh paling transparan untuk mempertanyakan kehadiran para intelektual dalam masyarakat kita. Benarkah intelektual dari sononya dianugerahi kebebasan dan otonomi dalam menyuarakan pendapatnya, sehingga dengan dalih otonomi, kebebasan dan demokrasi mereka bisa merasa steril dan cuek bebek dengan jeritan massa karena melambungnya harga-harga?

Ponsiuspilatisme

Membongkar otonomi palsu kalangan intelektual merupakan kritik keras Gramsci atas filsafat Benedetto Croce (Q 10). “Apa yang penting bagi Croce adalah bahwa kalangan cendekiawan tidak merendahkan dirinya pada tingkatan massa, sebaliknya supaya mereka memahami bahwa ideologi merupakan perangkat praktis untuk memerintah...”

Bagi Croce, kalangan intelektual yang merendahkan dirinya pada kepentingan massa telah menggadaikan status dan kehormatannya sebagai kalangan cendekiawan. Para cendekiawan seharusnya memerintah, bukan diperintah. Mereka seharusnya membentuk ideologi dengan tujuan untuk memerintah yang lain.

Gramsci melihat bahwa intelektual yang steril dari massa dan lebih mengedepankan kerja ideologis berpotensi melahirkan kekerasan dan mendiseminasi suatu otonomi palsu yang cenderung jauh dari moralitas. “Posisi murni intelektual dapat menjadi Jacobinismo yang lebih buruk..atau suatu ponsiuspilatisme busuk, atau kadang berurutan dari satu posisi ke posisi lain, atau bisa jadi secara simultan keduanya”(Q 10).

Sama seperti Ponsius Pilatus yang membiarkan Yesus di salib oleh keputusan massa, cendekiawan yang berpegang pada posisi ‘murni intelektual’ merasa enggan untuk memikul setiap tanggungjawab dan tidak ingin merendahkan dirinya pada kehendak dan keinginan massa. Pernyataan mereka yang menyatakan diri lepas dari kepentingan politis hanyalah sebuah posisi; dalam kenyataan, mereka memainkan peranan fundamental secara politis, sebab dengan bersikap seolah-oleh netral, mereka telah membuat sebuah konsensus politik.

Ponsiuspilatisme yang lihai memainkan peranan di panggung media menemukan antagonisnya dalam diri intelektual jalanan yang berusaha menyalurkan dan menjadi aspirasi orang kebanyakan (demos). Namun, cendekiawan jalanan seperti ini tak jarang mendapat kritik keras pula karena kecenderungan mereka untuk anti-intelektual. Mereka lebih menyukai ritualisme politik kiri seperti demonstrasi, membuat pernyataan, tuntutan dan sebagainya.

Dalam masyarakat demokratis, kecenderungan anti-intelektual akan menjadi racun yang mematikan bagi regenerasi iklim demokrasi yang lebih baik. Di mana pun, demokrasi yang dewasa tak pernah bermula dari jalanan. Demokrasi yang dewasa mengandaikan kedewasaan politik, dan kedewasaan politik mengandaikan formasi yang memadai bagi politisi untuk menyampaikan visi perjuangannya di parlemen.

Tiga makna

Fenomena ponsiuspilatisme dan kehadiran cendekiawan jalanan bisa dibaca dari tiga sudut pandang.

Pertama, pendidikan tinggi kita ternyata telah gagal menanamkan nilai-nilai demokratis dalam diri para cendekiawannya. Di kalangan kampus telah terjadi semacam pembangkangan para dosen atas panggilan intektual mereka. Mereka telah gagal menanamkan semangat humanisme universal dalam diri para mahasiswanya sehingga menghasilkan cendekiawan yang ‘murni intelektual’.

Kedua, di lain pihak, pendidikan tinggi ternyata juga menghasilkan lulusan yang anti-intelektual, lebih suka memilih cara-cara jalanan, dengan memasang pamflet, membuat orasi dan membaur jadi satu dengan kehendak massa di luar kampus untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Akar permasalahan dua hal di atas pada dasarnya adalah korupsi yang terjadi di dalam kampus. Karena itu, penyehatan kehidupan berbangsa hanya bisa dilakukan dengan membenahi sektor pendidikan berupa perbaikan model pengajaran dan kurikulum yang lebih menekankan pada akuisisi modal kultural (capital cultural) sehingga memungkinkan para lulusan terlibat dalam kehidupan demokrasi yang lebih sehat.

Pendekatan konservatif yang semata-mata melihat adanya korupsi di kampus, pengkhianatan para intelektual atas status sosial mereka, dan kecenderungan anti-intelektual yang bersemi di kampus sebagai biang keladi tak kunjung berseminya kedewasaan demokrasi di negeri menjadi satu kemendesakan untuk memulai pembaharuan di kalangan kampus, misalnya melalui reformasi di bidang kurikulum maupun metode pengajaran.

Ketiga, diagnosis ketidakberesan yang terjadi seputar kinerja kampus hanya akan merupakan tambal sulam yang tidak menyentuh esensi persoalan tanpa memperhatikan analisis relasional antara demokrasi dalam kaitannya dengan keberfungsian peranan intelektual.

Analisis terakhir menyatakan bahwa pertama-tama bukan pendidikan tinggi yang telah gagal menciptakan kedewasaan demokrasi bagi para cendekiawannya. Sebaliknya, demokrasi ternyata telah gagal menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu dengan cara menyelingkuhi para cendekiawannya sehingga melahirkan intelektual haram yang memiliki semangat ponsiuspilatisme atau sebaliknya melahirkan intelektual jalanan yang cenderung anti-intelektual, yang keduanya sama-sama jauh dari klaim ‘integritas moral intelektual” maupun “keberpihakan rasional pada massa” yang sangat dibutuhkan dalam proses konsolidasi demokrasi.

Gejala ponsiuspilatisme secara positif bisa dibaca sebagai tumbuhnya kesadaran pentingnya kekuatan moral kalangan intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka perlindungan hak-hak warga negara dari terabasan para petualang politik. Di lain pihak, kehadiran intelektual jalanan dalam kacamata gramscian bisa dibaca sebagai suatu usaha diseminasi konsensus bagi perjuangan kontra hegemoni atas kekuasaan yang ada, sekaligus konsolidasi kekuatan subaltern dalam kerangka pertumbuhan demokrasi yang sehat.

Kelompok sosial yang menjadi korban keputusan poltik penguasa semakin menyadari bahwa kekuasaan permanen dan kebenaran universal yang menjadi basis kekuatan hegemoni kelompok penguasa sekarang ini telah kehilangan otoritasnya. Setiap kelas sosial dan kelompok masyarakat lain berhak memiliki konsepsi berbeda tentang keteraturan sosial yang menjadi suara hati, pikiran dan gagasan mereka.

Konsolidasi perjuangan kelas subaltern semakin nyata ketika mereka pada akhirnya berhasil melahirkan intelektualnya sendiri. ‘Ke-lain-an’(otherness) yang terlahir dari kelompok subaltern miliki hak untuk di dengarkan jika kita mengaku diri sebagai demokratis.

Pendidikan dasar bagi semua

Jika demokrasi telah telah gagal menciptakan iklim akademis yang melahirkan cendekiawan berintegritas, konsolidasi demokrasi itu sendiri hanya bisa tumbuh lewat kesadaran kritis yang muncul lewat kekokohan formasi pendidikan yang terbuka bagi semua warga yang memungkinkan kekuatan sipil memiliki kekuatan dalam mengontrol kekuasaan. Langkah awal untuk formasi seperti ini adalah dijaminnya pendidikan dasar bagi semua. Di sini yang dipertaruhkan adalah kualitas dan kontinuitas formasi pendidikan yang mampu mempersiapkan anak didik terlibat dalam ranah politik.

Gramsci meyakini bahwa krisis lembaga pendidikan yang terjadi di jamannya terjadi bukan karena kelemahan lembaga pendidikan itu sendiri dalam mengantisipasi tantangan modern, melainkan karena lembaga pendidikan telah menjadi korban bulan-bulanan krisis sosial, budaya dan politik di jamannya. Kita ingat bagaimana lembaga pendidikan di Italia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk sarana propaganda ideologis bagi perjuangan Fasis Mussolini.

Tidak diragukan bahwa pendidikan umum dan keadaan sekolah-sekolah di negeri ini telah dan semakin hari semakin memasuki titik kritis yang mengkhawatirkan. Ini terjadi karena ketidakbecusan politisi mengurus lembaga pendidikan. Korupsi terjadi bukan semata-mata di kalangan kampus, melainkan di kalangan parlemen.

Berjuang secara sistematis agar terbuka akses pendidikan dasar bagi semua warga, itulah sesungguhnya yang sejak awal digagas oleh kalangan intelektual mengapa mereka mendesak agar subsidi BBM segera dicabut. Sebab hanya dengan realisasi akses pendidikan dasar bagi semua kompensasi BBM menjadi efektif di tengah telikung para politisi yang suka menjarah uang rakyat.

Memimpikan kehadiran intelektual yang independen dan otonom pada masa sekarang adalah ilusi, namun perjuangan untuk membuka akses pendidikan bagi semua warga tak pernah boleh menjadi mimpi jika kita inginkan perbaikan demokrasi di negeri ini.

Doni Koesoema, A. Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Quo Vadis Pendidikan di Indonesia?

Kompas, Selasa 26 oktober 2004

Oleh Doni Koesoema A


Pertanyaan pada judul tulisan ini tetap relevan dan aktual untuk diajukan, terlebih pasca pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Carut marut dunia pendidikan kita jelas merupakan tantangan berat yang mesti dipikul Menteri Pendidikan Nasional (mendiknas) Bambang Sudibyo begitu ia dilantik.


Terlepas dari pro kontra proses pemilihan Bambang Sudibyo sebagai mendiknas, kita memiliki sedikit titik terang ke mana arah pendidikan nasional kita kiranya akan dibawa pada masa kepemimpinannya, seperti yang diucapkannya dihadapan para wartawan, “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Setidaknya itu akan termanifestasi dalam tiga hal, yakni penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), estetika, dan etika," kata Bambang Sudibyo (Kompas, 22/10).


Pendidikan yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya oleh mendiknas setidak-tidaknya dipahami dengan mengandaikan tridimensi pertumbuhan, yaitu, kemampuan teknis, kepekaan akan nilai-nilai keindahan, dan kapasitas moral. Membentuk manusia Indonesia seutuhnya dengan species seperti ini jelas tidaklah mencukupi, sebab manusia tidak dapat diredusir keberadaannya secara parsial dengan 3 indikasi terbatas ini.


Meskipun demikian, jika tridimensi ini sungguh-sungguh diwujudnyatakan dalam praksis, kita boleh berharap akan segera terlihat perubahan suasana dalam locus pendidikan kita. Sekolah-sekolah kita akan terasa lebih hidup dan manusiawi, sebab menghasilkan orang-orang yang berintegritas. Di tengah membanjirnya informasi dan diciptakannya berbagai macam perangkat teknologi, yang kita butuhkan adalah mempersiapkan orang-orang yang dapat mengoperasikannya. Di tengah rendahnya kualitas hiburan yang ditawarkan oleh media, televisi, dll, kita memerlukan orang yang memiliki pemahaman hidup lebih utuh yang terwujud dalam berbagai macam kegiatan berkesenian. Di tengah runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas moral tinggi agar masyarakat kita makin beradab.


Ketidakadilan sosial


Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari kultur yang melingkupinya. Antara sekolah dan kultur memiliki hubungan yang timbal balik. Di satu sisi, kualitas pendidikan akan menciptakan kultur baru dalam masyarakat dan sebaliknya, kultur dalam masyarakat akan semakin memberi orientasi baru suatu karya pendidikan. Proses dialektis antara pendidikan dan kebudayaan tak dapat dihindarkan jika pendidikan itu ingin tetap aktual keberadaannya dalam masyarakat. Namun dari proses dialektis ini muncul persoalan kritis dalam dunia pendidikan, yaitu ketidakadilan sosial. Pertanyaan yang perlu ditelaah secara kritis adalah, “bagaimana menjamin kualitas pendidikan tanpa mereproduksi keadilan sosial?”


Pertanyaan ini semakin memperjelas bahwa tridimensi-orientasi pendidikan yang disampaikan mendiknas tidaklah mencukupi. Agar tidak timpang pendidikan kita perlu memiliki visi sosial yang kuat. Harus diakui, bahwa pendidikan kita selama ini memiliki orientasi elitis. Mereka yang memiliki fasilitas akan semakin mudah memperoleh akses pada banyak hal, seperti kualitas pendidikan, kemampuan teknologi, lapangan kerja dll. Sedangkan anak-anak dari kaum miskin papa hanya dapat menerima nasibnya untuk memasuki sekolah kelas pinggiran dengan kualitas pinggiran. Jika sudah lulus lingkup kerja mereka pun juga tidak akan jauh-jauh dari kelas pinggiran. Pendidikan kita menghasilkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial.


Yang menjadi masalah adalah sulitnya mendamaikan dua pendekatan yang berbeda, yaitu, pendekatan teknis demi kepentingan praktis sesaat dan pendekatan estetis-etis demi kepentingan formatif yang sifatnya tidak terlalu praktis. Mengarahkan pendidikan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat sekolah tak beda dengan pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri yang ingin semakin memartabatkan manusia dengan pengembangan berbagai macam kemampuan, bakat, talenta yang dimilikinya secara maksimal.


Antonio Gramsci telah lama meramalkan bahwa dominasi sekolah profesional atas sekolah formatif akan menghasilkan krisis pendidikan. Dalam Quaderni 12, dengan tegas ia menyingkap tabir pelanggengan ketimpangan sosial ini. “Pada masa ini, karena krisis mendalam produksi kultural dan konsep tentang hidup manusia, semakin terbuktilah fenomena degenerasi progresif di mana sekolah profesional yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan praktis sesaat menang atas sekolah formatif yang tak memiliki kepentingan praktis langsung. Aspek paling paradoksal situasi ini adalah bahwa jenis sekolah baru (baca, sekolah profesional) yang digembar-gemborkan sebagai demokratis ternyata tak hanya bertujuan melanggengkan perbedaan sosial, melainkan mengkristalkannya dalam bentuk yang makin solid.”


Sekolah kita rapuh


Sekolah di Indonesia tidak hanya terkesan elitis dan melanggengkan ketimpangan sosial, melainkan dalam dirinya sendiri ternyata rapuh. Sekolah kita tidak hanya rapuh dari segi fisik (banyak sekolah proyek inpres yang dimulai tahun 80-telah mulai ambruk), namun sekolah kita juga rapuh berhadapan dengan kekerasan dari luar yang merangsek eksistensinya, mulai dari cara-cara yang halus melalui metode pembelian buku-buku serta berbagai macam bisnis yang mengatasnamakan kepentingan sekolah, sampai cara paling kasar, pengerahan massa, penggusuran sekolah, serta penutupan kegiatan belajar mengajar dengan cara menembok pintu gerbang sekolah. Sekolah kita tak berdaya berhadapan dengan kultur lain, yaitu, kultur kekerasan.


Mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang ini menjadi semakin aktual dan mendesak mengingat pemerintahan baru telah bertekad untuk bekerja keras dan bersatu padu untuk mengatasi persoalan bangsa secara bersama. Tentu tidak kebetulan kabinet pemerintahan sekarang ini disebut dengan Kabinet Indonesia Bersatu, yang dari namanya saja telah mengindikasikan adanya sinergi dan kebersatuan dalam melaksanakan amanat rakyat.


Jika kita inginkan suatu solusi yang integral dan realistis atas pertanyaan di atas, sudah semestinya diperlukan pembaharuan dalam bidang pendidikan yang secara esensial bersifat kultural sekaligus politis. Ini berarti dibutuhkan suatu analisis mendalam tentang peranan intelektual dalam masyarakat kita sekaligus pertanyaan kritis tentang proyek politik pemerintah dalam kerangka pendidikan. Dibuthkan suatu proyek politik-kultural integral yang tak sekedar perubahan teknis atau pedagogis semata. Fakta-fakta yang ada dalam dunia pendidikan lebih merupakan kenyataan yang merengkuh dimensi moral-politis, ketimbang kecenderungan perubahan berdasarkan naluri mekanistis.


Pembaharuan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa dibarengi pembaharuan di bidang politik dan hukum. Merobohkan tembok yang dibuat untuk mengebiri hak warga negara dalam menerima pendidikan sebenarnya tidaklah sulit. Namun untuk merobohkan tembok itu, pemerintah memerlukan perangkat hukum yang kuat dan effektif, dengan aparat yang memiliki kepekaan nurani tajam akan adanya ketidakadilan. Tak seorangpun di negeri ini memiliki hak untuk mengebiri hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.


Situasi pendidikan kita tak akan beranjak jauh jika pintu gerbang menuju jalan kesejahteraan dan kemakmuran itu tetap ‘ditembok’ oleh nurani sempit para petualang politik, estetika rendahan pecinta kekerasan, dan gelegar moral para pemasung kebenaran. Namun rupanya, situasi inilah yang kita miliki sekarang ini. Maka menjadi mendesak bagi pemerintahan sekarang, terlebih bagi mendiknas untuk merenungkan judul artikel ini.


Quo vadis pendidikan di Indonesia?

Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma

Krisis Universitas

Doni Koesoema A

"Universitas memasuki ambang keruntuhannya ketika proyek historis kebudayaan yang selama berabad-abad menjadi fondasinya kini tak dapat dipertahankan lagi.“Ketika kapitalisme trans-nasional telah mengikis makna kebudayaan, dan ketika sistem kelembagaan menunjukkan kemampuannya berfungsi secara mandiri tanpa referensi pada terminologi di atas (baca, kebudayaan), peranan pendidikan tak dapat dipahami pertama-tama dalam kerangka pengayaan kebudayaan.”(Readings, 1996;119).

Krisis Universitas. Inilah yang ditengarai oleh Bill Readings dalam bukunya The University in Ruins (1996,5).

Perpisahan antara universitas dan kebudayaan menghasilkan krisis fundamental yang menjangkiti universitas, yaitu krisis kebenaran. Krisis kebenaran pada gilirannya akan membawa krisis bagi kemanusiaan itu sendiri.

Tentang relasi antara kebenaran, kebudayaan dan pertumbuhan autentik kemanusiaan kita, Konsili Vatikan II (1965) melalui konstitusi pastoral Gaudium et Spes menegaskan peran penting kebudayaan dalam kerangka pertumbuhan kemanusiaan secara penuh. “Salah satu cara bagi manusia untuk dapat mencapai kebenaran dan kepenuhan dirinya secara autentik adalah melalui kebudayaan, yaitu, dengan mengembangkan nilai-nilai dan karunia-karunia alamiah yang dimilikinya”.

Fenomena kapitalisasi universitas, pragmatisme tujuan pendidikan universitas, makin jauhnya universitas dalam reksa pengabdiannya pada masyarakat, macetnya roh penelitian, dll, hanyalah manifestasi dari krisis fundamental ini. Situasi ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali hakekat sebuah universitas dalam perjalanannya mengemban amanat kemanusiaan melalui proyek historis kebudayaan yang pernah menjadi fondasinya.

Pencarian kebenaran

Universitas, meminjam kalimat J.H.Newman dalam The Idea of a University(1852), dari dirinya sendiri adalah sebuah lembaga yang mengklaim memberikan pengajaran pengetahuan universal. Tujuan universitas adalah pencarian kebenaran. Sebab kebenaran merupakan objek pengetahuan.

Kebenaran yang dimaksud Newman adalah fakta-fakta dan berbagai macam hubungan yang berdiri satu sama lain secara harmoni sebagai subyek dan predikat dalam kaitan logis. Semua cabang pengetahuan memiliki hubungan satu sama lain secara intim. Apa yang dipelajari sebagai isi dan subyek pengetahuan sesungguhnya adalah satu sebagaimana telah dikehendaki dan diatur oleh sang Pencipta.

Kecenderungan untuk mencari kebenaran merupakan bawaan alam yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun karena kebenaran itu terpendar dalam berbagai macam fakta, ada dalam berbagai macam cabang ilmu, tak mengherankan jika manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran. Meski manusia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memahami kebenaran yang terbentang di hadapannya, apa yang dipahaminya selalu bersifat sektoral.

“Akal budi manusia tidak dapat memahami keseluruhan fakta yang terbentang dihadapannya hanya dengan memandangnya secara sekilas. Ia tidak dapat menguasainya dalam seketika. Sama seperti orang yang rabun, kedua bola matanya yang miskin kapasitas itu harus menjelajah setapak-demi setapak volume tak terbatas yang terbentang dihadapannya untuk diselidiki,” tulis Newman.

Karena itu, tujuan pendidikan di universitas tak lain adalah penjembaran wawasan terhadap dunia (the enlargement of mind) dan penyuburan kemampuan berpikir (cultivation of mind) melalui cara-cara yang oleh Newman disebut dengan kebiasaan berpikir jernih (a philosophical habit of mind). Manusia memaknai hidupnya dengan merangkai kebenaran demi kebenaran yang dipahaminya sehingga membentuk sebuah Kebenaran dengan huruf besar.

Karena luasnya kenyataan yang terbentang sebagai panorama di hadapan kita, kebenaran yang kita miliki, terlebih kebenaran ilmu pengetahuan, adalah relatif terhadap kebenaran yang lain. Dalam proses pencarian kebenaran ini tetap berlaku apa yang ditulis Cicero, “hic ab arte suâ non recessit,” (seseorang itu benar sejauh apa yang disampaikan berdasar pada bidang keahliannya).

Kecenderungan menganggap bahwa kompleksitas dunia dan misteri manusia hanya dapat dipahami dan dinilai berdasarkan kriteria kerangka kerja ilmu tertentu merupakan manifestasi sempitnya visi intelektual seseorang. Deduksi para ilmuwan terhadap realitas sudah selayaknya dihadapkan dengan kebenaran lain (kebenaran teologis, kebenaran antropologis, dll), sehingga antar ilmu terjadi verifikasi, saling melengkapi, dan saling mengoreksi. Hanya dengan cara inilah manusia mampu memiliki visi yang luas dan lebar tentang kenyataan yang terbentang dihadapannya. Inilah yang menjadi ciri kerja sebuah universitas.

Karena itu, universitas memiliki peranan penting dalam kerangka pendidikan kemanusiaan. Universitas semakin mengukuhkan keberadaan manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, memahami diri dan dunianya. Universitas meningkatkan kapasitas manusia dalam kerangka mencari kebenaran, baik kebenaran yang terpantul dalam keteraturan alam maupun yang mengatasi alam, yaitu, kebenaran tentang sang Pencipta. Universitas akan kehilangan raison d’etre-nya jika melepaskan diri dari tujuan asasinya, pencarian kebenaran.

Tegangan prioritas

Sejak awal abad-20, perdebatan sekitar krisis universitas berkisar pada satu permasalahan pokok yaitu, tegangan prioritas. Sebagai contoh, Jerman begitu bangga dengan model penciptaan para professor yang peneliti yang memiliki keahlian. Inggris sebaliknya lebih menekankan bidang pengajaran tingkat sarjana supaya para mahasiswa memiliki pertumbuhan moral dan intelektual sebagai pemimpin masyarakat.

Bagi Ortega y Gasset (1946), misalnya, universitas semestinya menjadi sarana transmisi kebudayaan di mana diseminasi kekayaan nilai-nilai menjadi menjadi pandu yang efektif bagi masyarakat di tengah belantara modernitas. Kebudayaan bukanlah sains, tulisnya, melainkan “the vital system of the period”. Transmisi kebudayaan merupakan peranan penting sebuah universitas. Karena itu, ketika universitas mulai meninggalkan tugasnya sebagai agen transmisi kebudayaan dan melemparkan dirinya pada kepentingan praktis profesional pendidikan dan penelitian barbarisme adalah konsekuensi yang kita reguk. Dunia dapat diselamatkan dari berbarisme peradaban hanya jika universitas dapat mempertahankan perannya sebagai garda depan penjaga kebudayaan.

Tegangan prioritas juga dialami oleh universitas kita, misalnya, tegangan dalam memaknai tri darma perguruan tinggi. Kemungkinan melaksanakan tri darma perguruan tinggi secara serentak merupakan sesuatu yang tidak mudah. Di satu sisi, memberi prioritas pada salah satu, bisa jadi malahan memangkas dua misi lain yang sama sama penting. Namun prioritas apapun yang dipilih, jika dimensi esensial pencarian kebenaran ditinggalkan, universitas kita akan makin kehilangan relevansi dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat sebagai kumpulan warga yang menjiarahi kebudayaan secara bersama.

Kejernihan horison intelektual

Adalah kekaburan visi intelektual yang menjadi penyakit semua manusia secara natural. Ini terjadi tak hanya pada mereka yang buta aksara, namun mereka yang bergelar doktor dan profesor pun sama saja. Mereka yang telah memperoleh pendidikan biasanya mampu melepaskan diri dari kungkungan kekaburan visi ini. Namun masih banyak juga para cendekiawan yang terbelenggu pada kekaburan visi intelektual ini, sehingga mereka memiliki pandangan sektarian tersekat-sekat.

Universitas semestinya menjadi tempat untuk mendewasakan kemanusiaan kita dengan membekali para mahasiswanya dengan ketajaman dan kejernihan visi dalam kerangka pencarian kebenaran. Universitas semestinya mencetak orang-orang yang memiliki pengetahuan universal, dengan pandangan yang luas dan horison pemikiran yang luas.

Universitas akan kehilangan esensinya jika hanya mengeruk keuntungan dari bidang-bidang yang ilmu mendatangkan uang dan kekuasaan. Terpinggirkannya cabang-cabang ilmu yang dinilai tidak produktif (baca, tak menghasilkan uang) seperti, filsafat, sejarah, antropologi, teologi, dll, merupakan contradictio in terminis sebuah universitas yang mengklaim dirinya sebagai sebuah lembaga yang memberikan pengajaran pengetahuan universal.

Universitas yang menghasilkan orang-orang yang abai pada kebenaran akan menjerumuskan peradaban kita pada barbarisme. Kita tidak dapat membayangkan apa jadinya jika para wakil rakyat kita, yang menurut catatan litbang Kompas(5/8) memiliki kualitas pendidikan yang memadai (hampir 70% adalah lulusan sarjana), namun mereka tidak memiliki visi pada kebenaran dan memiliki pandangan sektarian. Keputusan dan kebijakan yang mereka buat akan menjadi bencana bagi kemanusiaan, sebab mereka lebih mementingkan kepentingan grup atau kelompoknya semata, tanpa melihat kepentingan sebuah bangsa yang mengaku bernaung di bawah pita Bhineka Tunggal Ika. Jika ini yang terjadi krisis kemanusiaanlah yang akan segera kita tuai dalam kehidupan berbangsa.

Visi bhineka tunggal ika, mungkin itulah kata yang tepat bagi tujuan pendidikan di Universitas kita. Indonesia yang multi etnis dan plural ini hanya akan dapat bertahan kukuh jika setiap warganya memiliki visi yang bhineka, namun dijiwai oleh satu kerinduan yang sama, yaitu, pencarian kebenaran demi terbangunnya sebuah peradaban kemanusiaan yang makin bermartabat.

Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

KOMPAS, Selasa 7 september 2004

Aplaus Palsu Teater Pendidikan Nasional

Oleh Doni Koesoema A

APLAUS palsu, itulah yang terjadi dalam panggung teater pendidikan nasional kita. Dalam sebuah pentas teater, aplaus palsu yang dilakukan oleh para pendukung bayaran menggeser makna keadilan dan rasa hormat pada kualitas sang aktor sebab aktor yang main buruk mendapat tepuk tangan, sedangkan aktor yang main gemilang tak mendapat dukungan.

Belajar menilai secara adil dan wajar, itulah yang ditawarkan Plautus (254-184 sm) dalam tragikomedi Amphtryon-nya.

"Dari Anda saya meminta sebuah sikap adil yang wajar," ujar Merkurius dalam prolognya sebelum pentas dimulai. Melalui mulut Merkurius, Plautus mengingatkan penonton bahwa ada detektif yang akan berkeliling di sekitar penonton untuk mengamati apakah ada penonton atau aktor yang berlaku curang sehingga bisa membeli aplaus penonton. Mereka yang berlaku curang akan diganjar dengan hukuman dan dikeluarkan dari arena teater sebab merusak pertunjukan. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Prolog dalam Amphitryon Plautus tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi pendidikan kita. Yang kita lihat hari-hari ini adalah aplaus palsu, pelecehan keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikan kita. Aplaus palsu diberikan pada siswa yang selamat nasibnya karena terkatrol nilai oleh drama konversi nilai ujian akhir nasional. Aplaus palsu layak diberikan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berhasil mengelabui kualitas pendidikan nasional kita dengan keindahan statistik lewat tabel konversi nilai.

Di sisi lain, aplaus palsu telah melecehkan keadilan para siswa dan guru yang telah berjerih payah meningkatkan kualitas pendidikan secara tulus. Yang terakhir, aplaus palsu adalah pelecehan keadilan bagi masyarakat yang telah membayar mahal 'tiket' untuk melihat bangkitnya kemurungan dalam dunia pendidikan kita dengan disuguhi sebuah pentas teater pendidikan yang memuakkan.

KONTROVERSI tentang konversi nilai UAN sebenarnya hanyalah gunung es persoalan dalam dunia pendidikan kita. Sistem katrol nilai ini sebenarnya telah merebak sampai pada tingkat sekolah. Tidak perlu ada kontoversi tentang konversi nilai UAN, sekolah-sekolah telah rutin melakukannya. Dan karena telah rutin, maka budaya sistem katrol nilai itu dianggap telah biasa dan menjadi bagian dalam proses pendidikan.

Mengapa konversi nilai UAN sekarang ini diributkan dengan gemuruh seperti halilintar? Konversi nilai UAN meledak dengan kekuatan dahsyat karena publikasi media dan karena yang menjadi korban dalam kebijakan ini pada tingkat makro begitu besar. Kita tiba-tiba sadar bahwa perlu berteriak dengan lantang karena kaki kita diinjak. Mengapa kita baru teriak-teriak lantang sekarang ini? Bukankah kita seperti maling kesiangan? Tingkat solidaritas dan kesadaran kita akan keadilan memang baru sejauh taraf "asal kamu tidak menginjak kakiku terserah saja apa yang kamu lakukan." Sekarang ketika banyak kaki terinjak, kita semua berteriak sembari terpincang-pincang, "Batalkan konversi nilai UAN!"

Tuntutan itu tidak salah, dan memang harus disuarakan. Namun bukan karena 'aku menjadi korbannya', melainkan karena "keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikanlah yang mengerang karena kaki di mana ia memijakkan kemajuan bangsa diinjak-injak." Terhadap fondasi moralitas dan keadilan yang diinjak-injak kita tak bisa tinggal diam. Sebab tanpanya, sebuah bangsa akan runtuh, dan masyarakatnya akan hidup dalam kekacauan. Jika keadilan dan moral tidak ditegakkan hukum rimba akan menggantikan, dan keutamaan (virtus) dan keadilan akan terpinggirkan. Siapa yang kuat, siapa yang menang.

Dalam kontroversi konversi nilai inipun, masih saja ada kepala sekolah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk 'merogoh kocek saku orang tua murid.' Sebuah moralitas yang kebablasan dan arogansi yang tak pada tempatnya! Semestinya keutamaan dan keadilah menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya, tulis Plautus.

Kontroversi konversi nilai UAN bisa menjadi blessing in disguise jika kita memiliki langkah strategis mengena pada akar permasalahan. Ini adalah sebuah kesempatan emas untuk pembaharuan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan (pemerintah, guru, siswa, keluarga, masyarakat) agar lebih mengedepankan nilai keadilan dan moralitas dalam reksa pendidikan.

LANGKAH strategis ini hanya akan efektif jika dimulai dari faktor yang paling determinan dan dilaksanakan dalam kerangka skala prioritas.

Pertama, adalah mutlak proses pembaharuan dari dalam, yaitu, proses pembaharuan internal di kalangan para konstituen pendidikan itu sendiri untuk makin menumbuhkan rasa keadilan (sensus iustitiae) dan kejernihan nilai moral (moral value) yang menjadi jiwa dan semangat dalam kerangka kerja mereka.

Berbagai macam analisis teknis tentang peningkatan kualitas pendidikan kita, mulai dari pembuatan undang-undang, pemberian o- tonomi sekolah, Sistem Ujian Akhir Nasional, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), teknik pengajaran, mulai dari pembuatan persiapan pengajaran, pro- gram catur wulan, program tahunan, pembuatan kisi-kisi soal, pembuatan soal ujian dan evaluasinya, menjadi tidak bermakna ketika pelaku pendidikan yang terlibat di dalamnya tidak memiliki visi moral dan keadilan yang jelas. Aturan dan berbagai macam petunjuk teknis itu akan dengan mudah ditelikung di berbagai tingkat, mulai dari tingkat terbawah maupun pembuat kebijakan di level pemerintahan, mulai dari siswa sampai para birokrat pemerintah.

Kedua, verifikasi indikatif adanya rasa keadilan dan kejernihan nilai moral hanya dapat dilihat dalam praksis. Ini berarti sebuah tantangan untuk proses pembaharuan terus menerus (on going formation). Memang benar bahwa untuk memahami secara positif apa yang adil dan bermoral tidaklah mudah. Namun orang kebanyakan bisa menangkap dan mengerti bahwa sebuah tindakan itu tidak adil dan tidak bermoral. Karena itu, sikap untuk selalu terbuka terhadap masukan dan kritikan yang mengembangkan adalah conditio sine qua non bagi berkembangnya sebuah proses pendidikan.

Ketiga, ada sistem kontrol publik terhadap kualitas sebuah lembaga pendidikan. Ini berarti ada pertanggungjawaban publik atas kinerja pendidikan, entah itu berupa laporan penggunaan dana pendidikan, kebi- jakan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan publik dalam kerangka pendidikan seperti pertanggungjawaban atas tabel konversi nilai UAN, dll. Dari se- gi ini, media sebagai salah satu pilar begi majunya demokrasi menjadi faktor penentu dalam proses diseminasi kebijakan dan transparansi dunia pendidikan terhadap publik. Media memiliki fungsi kritis dalam kerangka pertumbuhan dunia pendidikan sebuah bangsa.

Tiga hal di atas, pembaharuan radikal dimensi interioritas, verifikasi dalam praksis, dan publisitas merupakan tiga kunci utama bagi pertumbuhan sebuah pendidikan. Jika pendidikan kita ingin memberikan suguhan teater yang bermutu bagi masyarakat, mau tak mau tiga kunci di atas merupakan syarat utama yang kemendesakannya tak bisa ditawar lagi.

SEPERTI apa yang ditulis Plautus di awal tulisan ini, dari kita tidak dituntut sikap adil yang berlebihan. Yang dituntut dalam diri kita adalah sikap adil yang wajar, sikap adil yang bisa diverifikasi dalam praksis. Sikap ini hanya bisa tercapai dengan menumbuhkan sikap fair di antara kita, terlebih adalah tuntutan sikap fair dari pemegang kekuasaan.

Jika sikap ksatria seperti ini dimiliki insan pendidikan, bolehlah kemudian kita dengan bangga menampilkan sebuah lakon teater pendidikan yang menarik seperti Ampitryon-nya Plautus. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Jangan ada lagi aplaus palsu bagi teater pendidikan nasional kita. Semoga!

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.



Dimuat di Harian KOMPAS, Sabtu, 19 Juni 2004

Batas Tanggungjawab Pendidik

Media Indonesia, 22 November 2007
Oleh Doni Koesoema A

KEKERASAN yang terus menerus terjadi dalam dunia pendidikan sudah sampai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Sadisme dalam Kasus IPDN, penculikan Raisah, premanisme di SMA PL seolah belum cukup bagi para pendidik untuk bercermin.

Kini kriminalitas itu terjadi lagi, kali ini di sekolah negeri, lebih tertata dan terorganisasi. Tamparan demi tamparan itu semestinya membuat kita bertanya di mana batas tanggungjawab kita sebagai pendidik?"

Kerancuan akan makna tanggungjawab sebagai pendidik akan tetap melestarikan kultur kekerasan di dalam sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus IPDN, mungkin batas tanggungjawab itu jelas, sebab kekerasan terjadi di dalam pagar kampus. Namun bagaimana dengan kasus penculikan Raisah? Bagaimana dengan kekerasan di PL? Bagaimana sekarang menyikapi kasus Geng di SMA 34? Apakah memang batas-batas tanggungjawab sebagai pendidik itu sudah sangat jelas sehingga pagar kampus dan pagar sekolah menjadi definisi bagi tanggungjawab setiap pendidik? Bisakah kita sebagai pendidik mengatakan bahwa kasus penculikan dan premanisme di PL itu terjadi di luar pagar sekolah, sehingga pendidik tidak bertanggungjawab dengan alasan tindakan kriminal adalah urusan polisi?


Yang membatasi definisi tanggungjawab seorang pendidik bukanlah pagar sekolah. Batasan morallah yang menjadi definisi esensial bagi tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Karena itu, entah di dalam pagar sekolah maupun di luar sekolah, para pendidik tetap memiliki tanggungjawab moral untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ketika moralitas menjadi dasar yang mendefinisikan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, maka dua jenis orientasi tanggungjawab menjadi bagian penting dari kinerjanya.

Pertama, pendidik mengidentifikasikan tanggungjawab melalui prinsip dasar tidak melakukan tindakan yang merusak ( doing no harm ). Prinsip tanggungjawab ini sifatnya ex post facto . Ini berarti bahwa pendidik bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Karena itu, ia mesti mengevaluasi terus menerus apakah keputusan dan tindakan yang telah dilakukannya memiliki dampak merusak, baik itu dari segi moral, mental dan fisik (Jonsen, 1968; Starrats, 2004). Membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkup sekolah sama saja menyetujui tindakan merusak.

Kedua, pendidik melangkah dari prinsip doing no harm menuju proactive responsibility. Ini berarti bahwa pendidik mesti menemukan niat-niat baik yang secara kelembagaan ingin direalisasikan demi berlangsungnya kinerja pendidikan, seperti, kualitas pembelajaran, relasi yang sehat antar individu sebagai warga negara, dll. Cakupan tanggungjawab yang demikian ini sifatnya antisipatif sebab terjadi sebelum tindakan itu sendiri

Dua orientasi moral atas tanggungjawab pendidik ini menuntut mereka untuk senantiasa menyadari sumber-sumber yang melahirkan tanggungjawab mereka selama ini. Jika dipahami melalui batasan moral, maka tanggungjawab pendidik bukanlah sekedar tugas-tugas yang secara formal didefinisikan melalui job descriptions lembaga, melainkan merupakan tanggungjawab penuh dirinya sebagai individu yang sekaligus secara formal adalah pendidik. Di sini memisahkan batas tanggungjawab antara sekolah dan masyarakat merupakan pengingkaran tanggungjawab moral diri sebagai pendidik.

Jika pemahaman akan tanggungjawab ini dipahami, pendidik tidak akan serta merta mengatakan bahwa kasus penculikan Raisah adalah urusan polisi, dan kekerasan senior PL atas yuniornya yang terjadi di luar batas sekolah bukanlah tanggungjawab sekolah. Kekerasan di SMA 34 terjadi karena pendidik melupakan tanggungjawab moralnya sehingga perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah lepas dari cakupan tanggungjawabnya sebagai pendidik.

Para pendidik memiliki tanggungjawab secara moral untuk menciptakan sebuah iklim yang menghargai individu di manapun mereka berada. Jika kultur kekerasan ternyata ada di sekolah, sementara pihak sekolah membiarkan semua itu terjadi terus menerus, tanggungjawab moral mereka sebagai pendidik dipertanyakan. Jika kita sering berteriak lantang tentang krisis moral para pemimpin kita, apakah kita sebagai pemimpin pendidikan juga telah merefleksikan cakupan tanggungjawab moral kita dalam kasus maraknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan?

Para pendidik mestinya memahami bahwa tanggungjawab itu bukan sekedar jenis tanggungjawab terhadap (responsibility to), yang secara sempit di definisikan secara formal melalui struktur kelembagaan, seperti, tanggungjawab terhadap siswa, orang tua para staf guru, melainkan juga tanggungjawab untuk ( responsibility for ), yaitu tanggungjawab untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang aman, nyaman dan teduh bagi berlangsungnya proses pembelajaran.

Lebih dari itu, para pendidik sesungguhnya memiliki tanggungjawab sebagai (responsibility as), yaitu, sebuah esensi tanggungjawab berdasarkan keluasan identitas dirinya. Pendidik bertanggungjawab sebagai sesama manusia, karena itu apa saja yang berkaitan dengan promosi kebaikan, keadilan, kehidupan dan penghargaan martabat manusia merupakan bagian dasar dari tanggungjawabnya.

Selain itu, pendidik bertanggungjawab sebagai administrator sekolah, yang menjaga agar visi kelembagaan tetap pada garis cita-citanya. Pendidik juga bertanggungjawab sebagai warganegara yang kebetulan menjadi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dll. Tanggungjawabnya sebagai warga negara inilah yang membuat dirinya sebagai pendidik tidak dapat memisahkan cakupan kinerjanya sekedar dalam batasan formal-struktural tanggungjawabnya, apalagi batasan fisik tanggungjawab berdasarkan batas pagar sekolah.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di dalam lingkup sekolah akan berkurang jika pendidik memahami lingkup tanggungjawabnya secara utuh. Namun kekerasan dalam sekolah akan terus terjadi dan tetap akan menampar tanggungjawab kita sebagai pendidik jika batasan tanggungjawab kita sebagai pendidik kita pahami sekedar batasan pagar sekolah.

Perilaku kekerasan itu dapat terkikis jika pendidik menyadari tanggungjawab moralnya. Batas tanggungjawab pendidik adalah nilai-nilai moral, yaitu, menghindari tindakan dan kebijakan yang merusak dan mengejar nilai-nilai kebaikan. Jika nilai-nilai moral itu bukan menjadi batas yang mendefinisikan tanggungjawab kita sebagai pendidik, kekerasan itu akan tetap terjadi dalam lembaga pendidikan kita.

Kita tahu, krisis kepemimpinan moral telah kronis menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita. Namun jangan-jangan kita tidak pernah menyadari bahwa yang melahirkan mereka adalah kita sendiri, para pendidik negeri yang memahami batas tanggungjawabnya sekedar pada batasan pagar sekolah.



Doni Koesoema A.
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Amerika .

Wednesday 2 September 2009

Guru Itu Kembali Ke Jalan

Artikel KOMPAS, 20 Februari 2004

Oleh Doni Koesoema A

Berita tentang 100.000 murid dan 7000 guru yang menggelar aksi mogok mengajar di Bangkinang, Riau, yang diberitakan harian ini (14/12) hampir selama seminggu berturut-turut ternyata tidak segera membangkitkan minat para pejabat terkait untuk segera mengatasinya. Apakah memang tuntutan mereka tidak layak untuk didengarkan? Apakah kasus ini layak dibiarkan begitu saja diterpa badai berita lebih akbar tentang Akbar?

Guru itu telah kembali ke jalan. Mereka telah meninggalkan kelas, meninggalkan siswa, meninggalkan tugas-tugas utamanya untuk memperjuangkan kemartabatan dan harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh kekuasaan. Sepertinya ambang batas kesabaran para pendidik ini telah habis ketika hal terakhir yang dimilikinya, yaitu, harga dirinya sebagai guru dilecehkan. Mungkin mereka masih bisa tahan berdiri sebagai guru di tengah situasi krisis ekonomi bangsa. Namun, siapa dapat tetap tahan jika kemartabatan (dignity) mereka diinjak-injak? Kemartabatan bagi kita adalah adalah sadumuk bathuk sanyari bumi (setiap jengkal, bahkan jika hanya sekening dahipun) akan kita pertahankan mati-matian. Tampaknya rundung malang para guru di Kampar yang dikampar kemartabatan mereka telah sampai pada taraf ini.

Guru yang berjuang di jalanan memberikan dampak material yang tak bisa disepelekan begitu saja, yaitu, macetnya proses pendidikan di 560 sekolah, mulai dari SD sampai SLTA. Meski mogok ini dikatakan tidak ada unsur manipulasi politis, namun dampak-dampak politisnya sesungguhnya begitu besar. Mogok para guru mau tidak mau mesti bersifat politis. Tuntutan mencopot jabatan seorang Bupati adalah tuntutan politis.

Namun dari pengalaman kita menyaksikan bahwa demonstrasi para guru yang terjadi dalam skala yang begitu besar (misalnya, demonstrasi pada saat proses perancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan demonstrasi di Kampar) pada akhirnya jatuh sekedar pada simbolisme dan tidak memiliki dampak nyata sebab pemahaman strategis konseptual yang mereka usung lemah.

Kelemahan strategis konseptual ini terjadi karena kekurangcermatan membuat analisis persoalan. Ambillah contoh dalam kasus Kampar. Permasalahan muncul ketika seorang guru teladan tingkat nasional diusir dari ruang pertemuan oleh seorang bupati karena ia mempertanyakan proporsi anggaran APBD bagi pendidikan. Persoalan yang muaranya adalah politis, sebab berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran publik dari pihak pemerintah, semestinya ditindaklanjuti dalam kerangka politik, yaitu, menciptakan sistem kontrol publik yang ketat atas penggunaan dana-dana masyarakat dalam APBD bagi pendidikan. Namun apa yang diperjuangkan para guru adalah dicopotnya bupati dari jabatan publik yang dimilikinya, seolah dengan dicopotnya oknum pejabat tersebut persoalan akan selesai. Inilah kelemahan strategis-konseptual demonstrasi guru di Riau.

Dunia sekunder

Guru tidak akan turun ke jalan seandainya mereka tidak mengalami perasaan senasib seperti guru yang diusir oleh Bupati. Solidaritas ini berdasarkan pada pengalaman nyata yang dihidupi para guru di sekolah. Para guru turun ke jalan karena apa yang mereka alami, apa yang dialami rekan kerja mereka adalah benar-benar menyentuh pengalaman mereka sebagai guru. Karena itu mereka ingin mengubah dan memperjuangkan agar pengalaman pahit itu tidak terjadi lagi. Namun apakah pengalaman yang menjadi basis perjuangan itu sekedar urusan pribadi satu dengan pribadi lain saja, sehingga persoalan cukup diselesaikan dengan dicopotnya jabatan Bupati? Diagnosis permasalahan yang kurang cermat membuat cara pengobatan tidak efektif. Karena itu, perlulah klarifikasi permasalahan agar tuntutan para guru efektif.

J.B. Metz dalam Faith in History and Society(1980) memberikan dua ciri penting analisis situasi yang membantu kita menemukan langkah-langkah strategis agar sebuah perjuangan pembaharuan itu efektif. Pertama, analisis situasi mesti dilihat dalam kerangka sebuah jaringan yang lebih luas (world-wide scale). “Sekarang ini hubungan sosial-politik-ekonomi menjadi takterpisahkan satu sama lain, karena itu tak satu situasi pun dapat ditentukan secara nyata tanpa mempertimbangkan dimensi globalnya.” (1980:4) Karena itu, lanjut Metz, setiap usaha yang menginginkan hasil-hasil praktis, nyata, namun mengabaikan dimensi global permasalahan yang dihadapinya hanya akan menjadi perjuangan abstrak.

Kedua, apa yang sering kita acu dengan pengalaman dalam kenyataannya adalah sebuah dunia sekunder (meta-world), dengan kata lain, sebuah dunia yang dalam kenyataan intinya merupakan impresi dari berbagai macam sistem dan teori, dan karena itu hanya dapat dialami dan mungkin diubah melalui sistem dan teori itu sendiri. Jika kenyataan ini dilupakan, yang terjadi adalah praksis diterima tanpa sikap kritis. Sebuah praksis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas struktur dunia yang kita alami sebagai dunia sekunder hanya akan muncul secara sporadis dan tidak efektif. Lebih dari itu, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan simbolis atas realitas baru yang diperjuangkan, namun tidak dapat dari dalam dirinya sendiri menghasilkan perubahan nyata, bahkan gerakan itu berpotensi terserap oleh kekuatan sistem itu sendiri yang pada gilirannya menjadi kontra produktif bagi perjuangan yang telah dimulainya.

Langkah strategis

Kegiatan ekstra-aktifitas yang dilakukan para guru untuk turun ke jalan mesti disertai dengan langkah-langkah strategis agar perjuangannya tidak kembali jatuh pada gerakan simbolis semata yang malahan akan makin mempertahankan status quo. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dibuat:

Pertama, para guru sudah saatnya membentuk sebuah lembaga independen yang bertujuan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan kapasitas profesional yang dimilikinya. Kasus di Kampar sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan politis guru tak bisa disepelekan begitu saja.

Kedua, tingkat perjuangan yang dilakukannya tak bisa hanya sekedar tindakan simbolis, dengan demo-demo di jalanan, melainkan perubahan struktur dan sistem. Dalam kasus di kabupaten Kampar, Riau, misalnya yang utama mesti diperjuangkan adalah kontrol publik atas penggunaan anggaran APBD bagi pendidikan, dll. Otonomi daerah bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan lembaga pemerintahan berfungsi efektif dalam kerangka pemberdayaan potensi rakyat. Daya juang yang digalakkannya di satu sisi bersifat global, namun di lain pihak lokal, sehingga kinerja dan hasil bisa direfleksikan dan dicermati secara terus menerus.

Ketiga, lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak dan tujuannya bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang memiliki komitmen sama, sehingga menumbuhkan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan kelompok profesional.

Menyaksikan perjuangan para guru yang mesti keluar dari kelas dan memperjuangkan nasibnya di jalanan membuat hati kita terluka, sebab dari merekalah kita mengenyam kemajuan dan pendidikan kita saat ini. Janganlah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal terimakasih. Dikamparnya martabat guru mesti selalu kita ingat sebagai catatan sejarah buruk dalam sejarah pendidikan kita. Karena itu kasus ini tidak layak dibiarkan begitu saja menguap ditelan hiruk pikuk berita yang lebih akbar.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan