Wednesday 2 September 2009

My Profile

Born in 1973 in Klaten, Jawa Tengah province. I studied at St. Vincent de Paul High School, Garum, Blitar, East Java (1989-1992). Earning the baccalaureate degree in philosophy (Indonesian Literature Department) at Driyarkara School of Philosophy, Jakarta (1994-1998), writing thesis entitled Keadilan dari Sudut Pandang Liberalisme Politis Menurut John Rawls (Political Liberalism according to John Rawls) under the supervision of Prof. Dr. Frans-Magnis Suseno, SJ dan Dr. I Wibowo, SJ. The baccalaureate degree on theology is obtained from the Gregorian University, Rome, Italy (2002-2005). Participating in a year course on Pedagogy and Professional Development in the Department of Science of Education at the Pontifical Salessian University, Rome, Italy (2005-2006). Joint with the Department of Curriculum and Instruction, and taking my Master degree in Education at Boston College Lynch School of Education, Boston, US (2009).

Educational experience:
Taching Latin and Religious Instruction at the St. Peter Canisius, Mertoyudan, in Magelang, Central Java, Indonesia (1998-2000); The dean of student discipline and teaching religous instruction at John De Britto High School, In Jogjakarta, Central Java, Indonesia (2000-2001). Assistance Principal for Student Affair and Extracurricular Activities and English Teacher at Gonzaga High School, In Jakarta, Indonesia (2006-2007). Working as Journalist (Wapimred) for Children News Paper BERANI (2009-now)

Professional works:
Education Consultant and Character Education trainer at pendidikankarakter.org
Speaker at various workshops and seminar on Character Education and Teacher's Professional Development.

Honor
Receiving the honorary title from Indonesian Minister of Education as the Most Productive Article Writer on Media on Education 2008-2009.

Books:
1
. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
2. Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger - Mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik Karakter, Jakarta : Grasindo, 2009.

Articles published with various authors (anthology):

Newest :
Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks Keindonesiaan. Article on the Education for Change (Buku kenangan HUT BPK Penabur Jakarta, 2010)

1.
Pendidikan Manusia vs Kebutuhan Pasar (human education vs market challenge) (2004) with Tonny, D. W (Ed.) in Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas dan Toyota.
2. Pendidikan Darurat Pasca Bencana (Emergency education after Aceh Tsunami), in Bencana Gempa dan Tsunami (2004);
3. Penilaian Pendidikan (Education Evaluation) in Menggugat Ujian Nasional. Memperbaiki Kualitas Pendidikan (2007).

Wednesday 29 April 2009

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009
Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009

Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.


Tuesday 24 February 2009

Siswa (Cerdas), Milik Siapa?

KOMPAS Selasa, 17 Februari 2009 | 23:54 WIB

Doni Koesoema A

Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.

Visi tentang manusia

Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.

Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.

Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.

Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.

Milik kemanusiaan

Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.

Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.

Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.

Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.

Menyesatkan

Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.

Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.

Layanan prima

Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan.

Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Thursday 29 January 2009

Mengubah Paradigma UN

KOMPAS, Rabu 14 Januari 2009


Doni Koesoema A


Hasil Ujian Nasional (UN) akan diperhitungkan untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Kompas, (8/1). Wacana ini di satu sisi bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik publik. Namun di lain sisi, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.


Masalahnya adalah bahwa sifat dan tujuan UN dan tes masuk PT secara kualitatif berbeda. Ujian Nasional bersifat sumatif, yang tujuannya adalah menilai prestasi individual siswa untuk menentukan apakah seorang individu itu telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test) yang berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.


Sedangkan sifat tes masuk PT adalah formatif untuk mendiskriminasi siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan beban tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak semata-mata mendasarkan diri pada penguasaan materi, melainkan memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.


Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebihd ari itu, item soal seringkali dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan lagi karena mereka sama-sama meraih nilai maksimal.


Jernih memahami hakekat dua macam tes ini menjadi penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekedar berdasarkan pada politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.


Wacana integrasi


Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun integrasi ini tidak akan efektif jika dilakukan sekedar pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.


Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat dalam prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.


Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan bahwa hasil UN itu memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil ketika diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dll).


Tiga tuntutan


Untuk membenahi ini ada tiga tuntutan yang mesti dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertanggungjawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi, kongkalikong atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi di dalam lembaga penyelenggara UN, sebab mereka sendiri yang membuat soal, dan mereka sendirilah yang membuat laporan pertanggungjawaban kepada dirinya sendiri.


Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga tersebut mendisain test sesuai dengan tujuannya, yaitu, untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini mesti diserahkan pada konsorsium PT atau lembaga independan penyelenggara test yang mampu menyelenggarakannya secara objektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.


Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN dipakai sebagai alat test seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa jelas merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data-data dari sebuah alat test.


Independensi


Yang dibutuhkan sekarang ini adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberikan data-data valid, reliabel dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meskipun BNSP merupakan lembaga independen, namun ketika mereka bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan seperti ini membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi ketika tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairnes soal-soal UN.


Independensi penyelenggara UN mesti diutamakan agar tidak terjadi konfik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN mesti akuntabel dan bertanggungjawab bukan sekedar kepada pemerintah, melainkan kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu perguruan tinggi dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memperhatikan kepentingan jangka panjang PT itu sendiri dengan cara menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.


Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif yang kriterianya adalah Standar Isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.


Doni Koesoema A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Kurikulum Lipstik

KOMPAS (17 Desember 2008)

Doni Koesoema A

Pembentukan karakter merupakan bagian vital kinerja sebuah pendidikan. Namun kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi objek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab di kedangkalan.

Sekolah menjadi reaktif ketika terburu-buru ingin menanggapi tantangan jaman, seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Ketika korupsi merajalela di dalam masyarakat, para pendidik hiruk pikuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah Anti Korupsi, Program Kantin Kejujuran, dll (Kompas, 5/12). Demikian juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, yaitu, Pendidikan Anti Korupsi untuk menggantikan PPkn dan Agama yang dianggap telah gagal dalam menjalankan misinya.

Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah banyak membuat para pendidik lari ke sana kemari untuk mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran PAKEM, diklat positive thinking, mengikuti lokakarya dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika model portofolio sertifikasi memang mempersyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tapi murid yang buntung!

Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan pun juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal pinggiran yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi malah menjadikan siswa sekedar sebagai objek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.

Restrukturasi

Gejala inilah yang oleh Fulan (1993) disebut dengan restrukturisasi, yaitu sekedar proses pembaharuan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan ketrampilan teknis pengajaran, namun tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dll) yang dipaksakan di sekolah hanya akan menjadikan siswa korban bagi keinginan politik kelompok tertentu.

Sekolah tentu saja mesti melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai mahluk yang mulia dan berharga karena mereka sama-sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai dengan nafsu reaktif bisa menjadikan guru para pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah yang mesti menjadi tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di dalam kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.

Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial malah bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggungjawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberikan penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis. Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita semakin menurun karena visi keunggulan akademis inilah yang diabaikan. Sebagai akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.

Agar pembentukan karakter terjadi secara integral, guru mesti memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utama mereka sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis persoalan, mampu mendialogkan ilmu pengetahuan itu dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanyabagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, mau berdialog, akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.

Rekulturasi

Di tengah maraknya “kurikulum lipstik” di atas, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah rekulturasi, yaitu sebuah proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakekat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang seringkali malah membatasi fungsi utama mereka sebagai pendidik. Restrukturasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualtias pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan malah bisa jadi memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).

Pembaharuan dangkal namun hingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sesungguhnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekedar dengan menimba ilmu dari orang-orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar ia maju dalam menimba ilmu adalah guru.

Rekulturasi mengandaikan bahwa guru mampu membangun komunitas belajar professional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul ketika guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran memang membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana para guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot yang harus dilakukan guru.

Pekerjaan seperti ini jauh dari hingar bingar publik dan meriahnya seminar di hotel mewah. Juga tidak ada sertifikat atau plakat, sebab guru benar-benar masuk langsung ke jantung pekerjaan utamanya. Kurikulum lipstik akan lewat, namun guru berdedikasi akan berdiri kuat. Matiraga, sembari terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.

Doni Koesoema A Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Monday 24 November 2008

Mengurai Masalah Guru (Swasta)

KOMPAS, 19 November 2008
Oleh Doni Koesoema A

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi. Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.
Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Pendidikan Keagamaan