Thursday 29 January 2009

Mengubah Paradigma UN

KOMPAS, Rabu 14 Januari 2009


Doni Koesoema A


Hasil Ujian Nasional (UN) akan diperhitungkan untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Kompas, (8/1). Wacana ini di satu sisi bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik publik. Namun di lain sisi, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.


Masalahnya adalah bahwa sifat dan tujuan UN dan tes masuk PT secara kualitatif berbeda. Ujian Nasional bersifat sumatif, yang tujuannya adalah menilai prestasi individual siswa untuk menentukan apakah seorang individu itu telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test) yang berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.


Sedangkan sifat tes masuk PT adalah formatif untuk mendiskriminasi siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan beban tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak semata-mata mendasarkan diri pada penguasaan materi, melainkan memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.


Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebihd ari itu, item soal seringkali dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan lagi karena mereka sama-sama meraih nilai maksimal.


Jernih memahami hakekat dua macam tes ini menjadi penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekedar berdasarkan pada politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.


Wacana integrasi


Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun integrasi ini tidak akan efektif jika dilakukan sekedar pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.


Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat dalam prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.


Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan bahwa hasil UN itu memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil ketika diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dll).


Tiga tuntutan


Untuk membenahi ini ada tiga tuntutan yang mesti dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertanggungjawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi, kongkalikong atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi di dalam lembaga penyelenggara UN, sebab mereka sendiri yang membuat soal, dan mereka sendirilah yang membuat laporan pertanggungjawaban kepada dirinya sendiri.


Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga tersebut mendisain test sesuai dengan tujuannya, yaitu, untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini mesti diserahkan pada konsorsium PT atau lembaga independan penyelenggara test yang mampu menyelenggarakannya secara objektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.


Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN dipakai sebagai alat test seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa jelas merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data-data dari sebuah alat test.


Independensi


Yang dibutuhkan sekarang ini adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberikan data-data valid, reliabel dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meskipun BNSP merupakan lembaga independen, namun ketika mereka bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan seperti ini membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi ketika tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairnes soal-soal UN.


Independensi penyelenggara UN mesti diutamakan agar tidak terjadi konfik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN mesti akuntabel dan bertanggungjawab bukan sekedar kepada pemerintah, melainkan kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu perguruan tinggi dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memperhatikan kepentingan jangka panjang PT itu sendiri dengan cara menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.


Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif yang kriterianya adalah Standar Isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.


Doni Koesoema A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Kurikulum Lipstik

KOMPAS (17 Desember 2008)

Doni Koesoema A

Pembentukan karakter merupakan bagian vital kinerja sebuah pendidikan. Namun kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi objek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab di kedangkalan.

Sekolah menjadi reaktif ketika terburu-buru ingin menanggapi tantangan jaman, seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Ketika korupsi merajalela di dalam masyarakat, para pendidik hiruk pikuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah Anti Korupsi, Program Kantin Kejujuran, dll (Kompas, 5/12). Demikian juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, yaitu, Pendidikan Anti Korupsi untuk menggantikan PPkn dan Agama yang dianggap telah gagal dalam menjalankan misinya.

Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah banyak membuat para pendidik lari ke sana kemari untuk mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran PAKEM, diklat positive thinking, mengikuti lokakarya dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika model portofolio sertifikasi memang mempersyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tapi murid yang buntung!

Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan pun juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal pinggiran yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi malah menjadikan siswa sekedar sebagai objek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.

Restrukturasi

Gejala inilah yang oleh Fulan (1993) disebut dengan restrukturisasi, yaitu sekedar proses pembaharuan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan ketrampilan teknis pengajaran, namun tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dll) yang dipaksakan di sekolah hanya akan menjadikan siswa korban bagi keinginan politik kelompok tertentu.

Sekolah tentu saja mesti melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai mahluk yang mulia dan berharga karena mereka sama-sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai dengan nafsu reaktif bisa menjadikan guru para pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah yang mesti menjadi tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di dalam kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.

Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial malah bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggungjawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberikan penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis. Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita semakin menurun karena visi keunggulan akademis inilah yang diabaikan. Sebagai akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.

Agar pembentukan karakter terjadi secara integral, guru mesti memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utama mereka sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis persoalan, mampu mendialogkan ilmu pengetahuan itu dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanyabagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, mau berdialog, akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.

Rekulturasi

Di tengah maraknya “kurikulum lipstik” di atas, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah rekulturasi, yaitu sebuah proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakekat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang seringkali malah membatasi fungsi utama mereka sebagai pendidik. Restrukturasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualtias pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan malah bisa jadi memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).

Pembaharuan dangkal namun hingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sesungguhnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekedar dengan menimba ilmu dari orang-orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar ia maju dalam menimba ilmu adalah guru.

Rekulturasi mengandaikan bahwa guru mampu membangun komunitas belajar professional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul ketika guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran memang membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana para guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot yang harus dilakukan guru.

Pekerjaan seperti ini jauh dari hingar bingar publik dan meriahnya seminar di hotel mewah. Juga tidak ada sertifikat atau plakat, sebab guru benar-benar masuk langsung ke jantung pekerjaan utamanya. Kurikulum lipstik akan lewat, namun guru berdedikasi akan berdiri kuat. Matiraga, sembari terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.

Doni Koesoema A Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Monday 24 November 2008

Mengurai Masalah Guru (Swasta)

KOMPAS, 19 November 2008
Oleh Doni Koesoema A

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi. Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.
Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Friday 12 September 2008

Guru Swasta Guru Tiri

Kompas, 11 September 2008
Doni Koesoema A

Tahun 2008 merupakan generasi kedua sertifikasi guru. Namun seperti tahun sebelumnya, guru swasta tetap diperlakukan seperti anak tiri. Pedoman penetapan peserta sertifikasi 2008 telah melanggengkan praksis kebijakan pendidikan yang tidak adil secara sistematis. Di mata pemerintah, guru swasta itu guru tiri! Kebijakan seperti ini harus dikoreksi dan tidak boleh terjadi lagi.

Pemerintah memang berhak menentukan jumlah peserta dan membagi kuota peserta sertifikasi secara adil berdasarkan rasio guru di tingkat provinsi. Dalam hal ini, tata cara penghitungan jumlah kuota untuk tiap daerah bisa diterima dan tealh berlaku, adil sebab dihitung berdasarkan data objektif jumlah guru di tiap daerah. Kita mengandaikan data-data itu benar dan tidak dimanipulasi. Penghitungan kuota guru ini juga selaras dengan prinsip yang dipakai dalam pelaksanaan sertifikasi yaitu “dilaksanakan secara objektif”.

Namun ketika pemerintah mulai membagi jatah kuota antara guru negeri dan swasta, di sinilah ketidakadilan itu terjadi. Dalam pedoman penentuan peserta sertifikasi terdapat ketentuan yang mengatakan “kuota guru yang berstatus PNS minimal 75% dan maksimal 85%, kuota bukan PNS minimal 15% dan maksimal 25%, disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah. Apabila kuota guru bukan PNS tidak terpenuhi, maka dinas pendidikan kabupaten/kota mengusulkan pemindahan kuota bukan PNS ke kuota PNS ke Ditjen PMPTK cq. Direktorat Profesi Pendidik melalui dinas pendidikan provinsi disertai kelengkapan data pendukung”.

Apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan bahwa pegawai negeri berhak memperoleh minimal 75% dan maksimal 85%? Demikian juga mengapa guru swasta hanya berhak mendapatkan jatah minimal 15% dan maksimal 25%? Tidak ada alasan fundamental objektif yang bisa dipakai pemerintah untuk menjelaskan mengapa pegawai negeri berhak mengisi minimal 75% kuota peserta sertifikasi sedangkan guru swasta hanya berhak memperoleh maksimal 25%. Dalam keseluruhan buku pedoman sertifikasi 2008 tidak saya temukan alasan utama mengapa para guru swasta hanya berhak menerima minimal 15% dan maksimal 25%.

Ada apa?
Adanya perilaku sewenang-wenang yang melanggar keadilan guru swasta ini bisa dianalisis melalui beberapa sisi. Pertama, ketidakadilan dalam pelaksanaan sertifikasi ini sesungguhnya berakar dari mentalitas sektarian para pejabat pendidikan yang mementingkan kelompok sempitnya sendiri, yaitu, para pegawai negeri. Mereka memiliki cara berpikir sempit bahwa seolah-oleh pemilik negeri ini adalah kalangan mereka, sehingga peranan guru swasta masih dipandang sebelah mata. Karena itu, mereka memberikan kuota lebih besar kepada para pegawai negeri daripada guru-guru swasta. Padahal, justru sebagai pegawai negeri, mereka semestinya melayani kepentingan rakyat secara adil, yaitu, melayani kepentingan guru-guru swasta yang juga turut berjasa mencerdaskan bangsa.

Kedua, penentuan kebijakan pendidikan nasional secara sewenang-wenang ini juga menjadi indikasi bahwa pejabat pemerintah masih lebih suka mengedepankan kekuasaan daripada visi negarawan yang menghayati jabatan yang dipercayakan kepadanya demi melayani seluruh rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Bukankah salah satu prinsip sertifikasi yang telah ditetapkan pemerintah adalah “berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru? (penekanan oleh penulis).” Apakah guru yang dimaksud di sini hanya guru negeri? Praksis ketidakadilan terhadap guru swasta menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar prinsip sertifikasi yang telah dibuatnya sendiri!

Ketiga, para pejabat pendidikan tidak mengenali siapa wajah-wajah para guru yang selama ini telah berjuang keras bahu membahu dalam membantu meningkatkan dunia pendidikan. Jika dilihat bagaimana animo para guru honorer yang antri agar untuk mendapatkan status sebagai pegawai negeri, kita tahu bahwa menjadi pegawai negeri adalah sebuah keistimewaan, sebab diandaikan bahwa mereka lebih memiliki jaminan kesejahteraan sosial dibandingkan dengan guru-guru swasta. Persis di sinilah masalahnya, memberikan kuota lebih besar pada guru negeri menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap warga negara yang lebih membutuhkan kesejahteraaan. Ini adalah masalah prioritas dan kepekaan sosial dalam mengenali siapa wajah rakyat yang terutama mesti dilayani.

Guru-guru swasta tentu tidak menuntut bahwa mereka diistimewakan. Cukuplah bagi mereka kalau pemerintah bersikap adil dan mampu benar-benar menghayati kekuasaan yang dimilikinya itu demi kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan kelompok kecilnya. Kekuasaan yang mereka miliki itu dari rakyat dan mesti dipergunakan sebesar-besarnya demi kemaslahatan seluruh rakyat. Untuk itu, dalam setiap masyarakat yang demokratis, keadilan sosial mesti menjadi jiwa bagi setiap kebijakan pemerintah.

Harus dikoreksi
Kebijakan pendidikan yang sektarian dan tidak adil ini harus dikoreksi. Lebih lagi, kita tahu bahwa anggaran pendidikan yang dipakai untuk mengingkatkan mutu pendidikan itu berasal dari sumbangan seluruh rakyat melalui pajak, termasuk di dalamnya sumbangan guru negeri dan swasta. Karena itu, perlakuan sewenang-wenang dalam pembuatan kebijakan pendidikan seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Melanggengkan kebijakan pendidikan yang tidak adil dan melestarikannya secara sistematis melalui peraturan perundang-undangan jelas merupakan tindakan inkonstitusional dan melanggar prinsip ke lima Pancasila, yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sudah saatnya para pejabat pemerintahan membuka wawasan dan memahami makna jabatan yang diembannya sebagai mandat dari rakyat demi kepentingan rakyat, bukan sebuah kekuasaan untuk memperkaya diri atau menguntungkan kelompok sendiri. Guru swasta tidak boleh lagi menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Doni Koesoema A. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Tuesday 29 July 2008

Miopi Kebijakan Pendidikan

KOMPAS, Selasa, 29 July 2008

Oleh Doni Koesoema A


Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan, itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.

Miopi kebijakan pendidikan merupakan sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang langsung dilihat, namun mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelojoh pemerintah membalikkan rasio perbandingan antara SMA dan SMK menjadi 30:70, dan yang terakhir buku elektronik semakin menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan ini benar-benar sudah tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.

Tiga miopi

Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi ketika pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-hak mereka pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar hutangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.

Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.

Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hirarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.

Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibandingkan SMA semakin menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial itu tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan bahwa anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah saja sampai SMK, setelah itu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.

Ketiga, hubungan antara ketrampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas di lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung dari ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.

Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan bahwa pengambil kebijakan pendidikan ini tidak bisa membedakan lagi mana SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan di antara keduanya.

Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan itu memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun miopi terjadi ketika mereka berpikir bahwa apa yang mereka lihat itu juga dilihat oleh para guru, siswa, dan orang tua. Ide bahwa buku elektronik dengan mudah diunduh pun juga perlu dipertanyakan. Apalagi argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru mereka tidak memakai buku itu sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.

Membuka mata dan hati

Yang dibutuhkan pendidikan kita bukanlah program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu seperti, sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas sekolah-sekolah di lapangan di mana siswa dan orang tua seringkali masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan dalih yang macam-macam.

Pemerintah semestinya melindung dan membantu orang-orang miskin yang anak-anaknya kesulitan sekolah agar tidak semakin hari terpinggirkan dari pendidikan karena biaya pendidikan yang tak terjangkau oleh pendapatan mereka yang pas-pasan. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan lebih akan efektif dibandingkan dengan pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang malahan tidak berguna.

Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisikan keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan itu semestinya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di dalam masyarakat, bukannya membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang justru tidak mempergunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan yang bervisikan keadilan sosial merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Monday 23 June 2008

Momentum Pasca UN

KOMPAS, 21 Juni 2008
Doni Koesoema A

Sudah dapat diduga bahwa kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini semakin menurun. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca UN akan lewat begitu saja. Selain itu, bisnis pendidikan akan berjalan seperti biasa jika pemerintah tidak segera mengkaji kembali kebijakan UN yang semakin banyak menyingkirkan hak-hak anak didik dalam mengenyam pendidikan bermutu.

Di banyak negara standardisasi menjadi jargon utama yang diusung untuk meningkatkan mutu pendidikan dan persaingan dalam dunia global. Tuntutan akuntabilitas pendidikan melalui standardisasi semakin menguat dengan adanya deklarasi global seperti Milleniun Developmental Goals (MDGs) dan Education for All yang memiliki tujuan utama dalam menyediakan pendidikan bermutu dan akses pendidikan dasar bagi semua. Persaingan global membuat banyak negara berusaha meningkatkan kinerja pendidikan mereka sehingga mereka mampu memperkaya kualitas sumber daya manusiawi yang dianggap sebagai modal sosial dan budaya.

Gerakan standardisasi global yang dipahami secara sempit dan mekanistis berpotensi kontraproduktif bagi tujuan pendidikan. Hargreaves (2003), misalnya, menengarai bahwa gelojoh standardisasi rupanya telah merenggut kreatifitas dan fleksibilitas guru, menghancurkan kerja sama, mengerdilkan kemampuan kepemimpinan guru, meredusir investasi guru dalam pengembangan profesional dan menghancurkan intelegensi kolektif yang sangat dibutuhkan dalam menanggapi tantangan global.

Di Indonesia, dampak standardisasi melalui UN bukan hanya mengancurkan kinerja profesional guru, menurunkan moral pendidik, melainkan melahirkan sebuah kultur jalan pintas dan mekanistis yang meredusir makna pendidikan sekedar lulus UN. Lebih dari itu, UN hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial sebab sekolah papan atas, meskipun tidak memperoleh banyak manfaat atas UN, akan semakin bertengger di atas, sedangkan, sedangkan akan semakin banyak murid dari sekolah yang tidak bermutu, miskin, memiliki tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang pas-pasan, akan semakin tersingkir. Mereka ini akan menjadi tumbal dan korban tahunan bagi gegap gempita UN. Situasi ini pada gilirannya akan menghancurkan kecerdasan kolektif yang dibutuhkan dalam persaingan global.

Tiga inspirasi

Di balik gegap gempita UN dan standardisasi, ada 3 sumber reformasi pendidikan global yang bisa menjadi inspirasi, namun dilewatkan begitu saja oleh pemerintah. Pertama, tuntutan standardisasi sesungguhnya dibarengi dengan kesadaran global akan makna pembelajaran yang bersifat lebih konstruktif. Ada titik balik dalam memandang proses belajar, yaitu dari cara belajar yang sifatnya kognitif, menuju pendekatan belajar yang lebih konstruktif. Menurut paradigma ini, target hasil belajar di sekolah diarahkan pada perkembangan pemahaman konseptual, pemecahan masalah, kecerdasan emosional, pengembangan kecerdasan bhineka (multiple intelligence) dan keterampilan interpersonal, daripada hafalan atau pembelajaran materi yang tidak relevan.

Kedua, tuntutan publik agar lembaga pendidikan menjamin proses belajar yang efektif bagi setiap siswa. Pendidikan inklusif yang memberikan kepada siapa saja, baik yang miskin maupun kaya untuk mengenyam pendidikan bermutu tanpa terancam masa depannya dipandang sebagai usaha untuk mempromosikan idealisme pendidikan untuk semua.

Ketiga, gerakan akuntabilitas pendidikan juga dibarengi dengan gelombang desentralisasi berbagai macam pelayanan publik termasuk dalam pendidikan. Karena itu, setiap usaha sentralisasi pendidikan malahan bertentangan dengan inspirasi dan cita-cita terlaksananya cita-cita pendidikan untuk semua.

Tiga inspirasi yang berasal dari gerakan reformasi pendidikan global menekankan tiga hal fundamental, yaitu, kualitas, persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan (equity) dan pembelajaran yang efektif. Penekanan utamanya pada unsur pembelajaran (learning) aktif bukan mekanis.

Sayangnya, tiga hal inilah yang tidak pernah masuk dalam agenda reformasi pendidikan kita. Pembelajaran yang sifatnya konstruktif dan kreatif terpasung karena para siswa justru banyak mengalami pembelajaran yang sifatnya mekanistis, hafalan. Soal model pilihan ganda merupakan defisiensi pedagogis yang bertolak belakang dengan pendekatan konstruktif, kritis, yang penting bagi pemecahan masalah.

Pembelajaran yang efektif hanya diredusir sekedar melampaui batas minimal kelulusan UN. Siswa tidak dipacu untuk secara kreatif mempelajari apa yang memang penting dan dibutuhkan. Padahal pembelajaran yang efektif mengandaikan siswa memiliki pengalaman belajar yang membantunya menemukan makna dan memperkokoh pengertian daripada sekedar hafalan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang terisolir.

Lebih dari itu, gerakan desentralisasi pendidikan yang sudah dilaksanakan dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sepertinya ditarik kembali oleh pemerintah dengan tetap menerapkan UN yang sifatnya sentralistis dan malahan memangkas hak-hak guru dalam memberikan evaluasi bagi para siswanya.

Pendekatan keliru

Adalah keliru kalau menganggap sebuah perubahan pendidikan yang dipaksakan dari atas akan memberikan dampak nyata bagi praksis pengajaran dan pembelajaran di kelas. UN sebagai sebuah kebijakan yang dipaksakan dari atas dalam jangka panjang akan semakin menghancurkan dunia pendidikan kita dan semakin memperlebar jurang kualitas pendidikan.

Di banyak negara, ujian standar berskala nasional lebih banyak menghancurkan dunia pendidikan ketimbang memperkuatnya. Lebih dari itu, ujian standar berskala nasional seringkali lebih dilandasi motivasi politik daripada pedagogis. Di negara kita, situasinya tidak jauh berbeda. UN menyingkirkan semakin banyak anak didik dalam mengenyam pendidikan yang bermutu, menurunkan moralitas guru, siswa, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Maraknya kebocoran soal dan terjadinya kecurangan selama UN yang terjadi di mana-mana semestinya membuat pemerintah mengkaji kembali kebijakan UN, bukan malah menambah mata pelajaran yang diujikan dalam UN.

Hiruk pikuk UN memang telah selesai, namun tugas pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikannya belum selesai. Tenggelam dalam besaran persentase kelulusan tanpa mau mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggungjawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Tuesday 6 May 2008

Sepuluh Kesesatan UN

Media Indonesia, Selasa 6 Mei 2008
Doni Koesoema A

Sebagaimana kesalahan dalam diagnosis medis dapat mengakibatkan kematian pasien, kesesatan berpikir dalam menggagas pendidikan nasional akan membawa dunia pendidikan pada jurang kehancuran. Ada sepuluh kesesatan berpikir ketika pemerintah menggagas tentang Ujian Nasional (UN).

Pertama, pemerintah mencampuradukkan dua pemahaman yang berbeda, yaitu, uji mutu nasional (national assesement) dan ujian umum (public examination). Menurut Greaney dan Kellaghan (2008) uji mutu nasional membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu agar dapat menentukan kebijakan dalam pendidikan. Sedangkan ujian umum bertujuan untuk menentukan kelulusan dan menyeleksi siswa pada tingkat pendidikan lebih lanjut. Ujian Nasional pada kenyataannya menentukan kelulusan siswa.

Kedua, masukan (feedback) untuk pemetaan pendidikan tidak dilakukan setiap tahun. Sebaliknya, hanya ujian dengan resiko tinggi (high stake testing) seperti ujian umum yang memengaruhi proses kelulusan siswalah yang dilakukan setiap tahun. Mengadakan UN tiap tahun untuk memetakan pendidikan nasional merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak pernah belajar dan tidak mampu memahami data-data pendidikan nasional setelah pengalaman bertahun-tahun melaksanakan UN.

Ketiga, ujian untuk menentukan pemetaan pendidikan tidak memengaruhi secara signifikan nasib siswa, sebab hanya untuk memetakan, sedangkan ujian untuk menentukan kelulusan akan berpengaruh langsung pada siswa, guru dan sekolah. Kenyataannya, UN sebagai pemetaan pendidikan menentukan kelulusan siswa, mempengaruhi kehidupan dan kinerja guru, serta mempertaruhkan nama baik sekolah di mata masyarakat.

Keempat, dalam setiap ujian pemetaan pendidikan, siswa tidak pernah mendapatkan hasil laporan atas ujian yang dilakukannya sebab ujian itu lebih dimaksudkan untuk pengambil kebijakan, sedangkan ujian umum jelas mendiskriminasi siswa berdasarkan kemampuan melalui nilai. Kenyatannya, siswa memperoleh nilai dalam UN dan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan akademisnya.

Kelima, ujian untuk pemetaan nasional hanya ditujukan untuk kompetensi tertentu, seperti matematika dan keaksaraan (literacy) serta tidak memiliki dampak langsung bagi proses pengajaran di sekolah. Ujian publik untuk kelulusan berdampak langsung atas pengajaran yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan materi yang diujikan. Kenyataannya, Ujian Nasional telah memengaruhi cara guru dalam mengajar dan mempersiapkan siswa dalam mengerjakan materi ujian. Selain itu, penambahan atas mata pelajaran yang di UN-kan merupakan sikap membabibuta yang tidak memiliki dasar bagi pemetaan pendidikan.

Keenam, dalam ujian untuk pemetaan nasional hasil akhir berupa konstatasi statistik yang cukup rumit untuk menggambarkan tujuan dari proses pemetaan yang diinginkan, misalnya, hubungan antara latar belakang sosial ekonomi keluarga dengan prestasi siswa, atau hubungan antara rasio kelas dengan prestasi siswa, sedangkan pensekoran dalam ujian umum biasanya sangat sederhana dengan menggunakan skema proses tertentu untuk menentukan skor. Ujian Nasional mempergunakan pensekoran sederhana sebagaimana penilaian untuk menentukan kelulusan siswa. Pensekoran untuk pemetaan secara sederhana tidak dapat memberikan informasi tentang korelasi hal-hal yang ingin dipetakan.

Ketujuh, ujian untuk pemetaan tidak memengaruhi nasib dan masa depan siswa, sedangkan ujian publik memiliki dampak bagi kegagalan siswa dan beresiko meningkatkan angka putus sekolah. Kenyatannya, ujian nasional menentukan kegagalan siswa dan meningkatkan angka putus sekolah.

Kedelapan, ujian untuk pemetaan sangat berguna untuk mengukur trend peningkatan prestasi siswa setiap waktu, karena itu, jenis test yang akan diberikan memiliki model yang hampir sama setiap tahun untuk melihat adanya perkembangan. Model yang biasanya dipakai adalah test berdasarkan pemahaman materi (criterion-referenced test). Sedangkan ujian publik tidak perlu mempertimbangkan model test berdasarkan penguasaan materi. Pertanyaan-pertanyaan soal dalam test setiap tahun berubah karena ujian publik bertujuan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan. Ujian publik menggunakan model soal dengan tingkat kesulitan yang telah didiskriminasi melalui semacam try out (norm-referenced test). Maka soal lebih didasarkan pada tingkat kesulitan daripada penguasaan materi. Materi yang dalam try out bisa dikerjakan oleh sebagian besar siswa, tidak akan keluar dalam test berikutnya. Karena itu, soal-soal dalam uji publik itu berubah setiap tahun. Ujian Nasional yang dipakai untuk pemetaan pendidikan itu pada kenyataannya didasarkan pada tingkat kesulitan dan mendiskriminasi prestasi siswa.

Kesembilan, adalah kekeliruan berpikir mengatakan bahwa untuk memetakan mutu pendidikan nasional satu-satunya cara adalah dengan mengukur bagaimana siswa belajar dalam sebuah sistem pendidikan. Pandangan demikian sesat karena mengelabuhi agensi lain yang turut bertanggungjawab atas keberhasilan pendidikan nasional, seperti masyarakat dan negara. Sebaliknya, untuk memetakan mutu pendidikan, pemerintah perlu membuat ujian nasional bagi diri mereka sendiri sejauh mana pemerintah telah memenuhi standard-standard dalam penyediaan sarana dan prasarana yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan nasional, seperti, penyediaan guru-guru yang berkualitas, akses pada buku pelajaran pada setiap siswa, pembangunan sekolah dan berbagai macam sarana yang mendukung pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan.

Kesepuluh, UN merupakan cara memetakan dunia pendidikan nasional. UN sekarang ini pada kenyataannya merupakan ujian umum. Sebagai sebuah ujian umum, UN tidak dapat memberikan data-data dan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengembangkan dunia pendidikan, seperti sejauh mana situasi sosial ekonomi berpengaruh pada prestasi siswa, sejauh mana prestasi siswa memiliki korelasi dengan model kurikulum, dll. Ujian Nasional dengan demikian merupakan sebuah kesia-siaan dan pemborosan tenaga, uang, dan waktu, bahkan mengorbankan lebih banyak mengorbankan anak didik, guru, sekolah dan masyarakat. Kebijakan demikian ini kalau dibiarkan akan membawa kehidupan berbangsa pada kehancuran yang lebih dalam.

Kerancuan berpikir menyebabkan dunia pendidikan kita mandeg. Membiarkan tumbal-tumbal pendidikan semakin banyak berjatuhan merupakan sebuah perilaku politik yang sesungguhnya arogan, tidak bertanggungjawab dan tidak memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Dengan adanya kesesatan-kesesatan itu, semua warga negara memiliki hak agar pendidikan dikembalikan pada rel yang sesungguhnya supaya pendidikan nasional tidak semakin terjerumus dalam kehancuran yang lebih mengerikan. Kalau segala usaha, baik itu melalui jalur informal (demonstrasi, diseminasi opini publik, seminar, dll) dan jalur hukum (melalui proses pengadilan tuntutan warga negara), tidak dapat lagi mengetuk pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti ini, mungkin inilah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi sosial (civil disobedience) untuk menentang kebijakan Ujian Nasional.
Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Pendidikan Keagamaan