Tuesday 29 July 2008

Miopi Kebijakan Pendidikan

KOMPAS, Selasa, 29 July 2008

Oleh Doni Koesoema A


Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan, itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.

Miopi kebijakan pendidikan merupakan sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang langsung dilihat, namun mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelojoh pemerintah membalikkan rasio perbandingan antara SMA dan SMK menjadi 30:70, dan yang terakhir buku elektronik semakin menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan ini benar-benar sudah tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.

Tiga miopi

Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi ketika pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-hak mereka pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar hutangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.

Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.

Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hirarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.

Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibandingkan SMA semakin menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial itu tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan bahwa anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah saja sampai SMK, setelah itu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.

Ketiga, hubungan antara ketrampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas di lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung dari ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.

Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan bahwa pengambil kebijakan pendidikan ini tidak bisa membedakan lagi mana SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan di antara keduanya.

Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan itu memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun miopi terjadi ketika mereka berpikir bahwa apa yang mereka lihat itu juga dilihat oleh para guru, siswa, dan orang tua. Ide bahwa buku elektronik dengan mudah diunduh pun juga perlu dipertanyakan. Apalagi argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru mereka tidak memakai buku itu sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.

Membuka mata dan hati

Yang dibutuhkan pendidikan kita bukanlah program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu seperti, sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas sekolah-sekolah di lapangan di mana siswa dan orang tua seringkali masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan dalih yang macam-macam.

Pemerintah semestinya melindung dan membantu orang-orang miskin yang anak-anaknya kesulitan sekolah agar tidak semakin hari terpinggirkan dari pendidikan karena biaya pendidikan yang tak terjangkau oleh pendapatan mereka yang pas-pasan. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan lebih akan efektif dibandingkan dengan pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang malahan tidak berguna.

Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisikan keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan itu semestinya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di dalam masyarakat, bukannya membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang justru tidak mempergunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan yang bervisikan keadilan sosial merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Monday 23 June 2008

Momentum Pasca UN

KOMPAS, 21 Juni 2008
Doni Koesoema A

Sudah dapat diduga bahwa kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini semakin menurun. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca UN akan lewat begitu saja. Selain itu, bisnis pendidikan akan berjalan seperti biasa jika pemerintah tidak segera mengkaji kembali kebijakan UN yang semakin banyak menyingkirkan hak-hak anak didik dalam mengenyam pendidikan bermutu.

Di banyak negara standardisasi menjadi jargon utama yang diusung untuk meningkatkan mutu pendidikan dan persaingan dalam dunia global. Tuntutan akuntabilitas pendidikan melalui standardisasi semakin menguat dengan adanya deklarasi global seperti Milleniun Developmental Goals (MDGs) dan Education for All yang memiliki tujuan utama dalam menyediakan pendidikan bermutu dan akses pendidikan dasar bagi semua. Persaingan global membuat banyak negara berusaha meningkatkan kinerja pendidikan mereka sehingga mereka mampu memperkaya kualitas sumber daya manusiawi yang dianggap sebagai modal sosial dan budaya.

Gerakan standardisasi global yang dipahami secara sempit dan mekanistis berpotensi kontraproduktif bagi tujuan pendidikan. Hargreaves (2003), misalnya, menengarai bahwa gelojoh standardisasi rupanya telah merenggut kreatifitas dan fleksibilitas guru, menghancurkan kerja sama, mengerdilkan kemampuan kepemimpinan guru, meredusir investasi guru dalam pengembangan profesional dan menghancurkan intelegensi kolektif yang sangat dibutuhkan dalam menanggapi tantangan global.

Di Indonesia, dampak standardisasi melalui UN bukan hanya mengancurkan kinerja profesional guru, menurunkan moral pendidik, melainkan melahirkan sebuah kultur jalan pintas dan mekanistis yang meredusir makna pendidikan sekedar lulus UN. Lebih dari itu, UN hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial sebab sekolah papan atas, meskipun tidak memperoleh banyak manfaat atas UN, akan semakin bertengger di atas, sedangkan, sedangkan akan semakin banyak murid dari sekolah yang tidak bermutu, miskin, memiliki tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang pas-pasan, akan semakin tersingkir. Mereka ini akan menjadi tumbal dan korban tahunan bagi gegap gempita UN. Situasi ini pada gilirannya akan menghancurkan kecerdasan kolektif yang dibutuhkan dalam persaingan global.

Tiga inspirasi

Di balik gegap gempita UN dan standardisasi, ada 3 sumber reformasi pendidikan global yang bisa menjadi inspirasi, namun dilewatkan begitu saja oleh pemerintah. Pertama, tuntutan standardisasi sesungguhnya dibarengi dengan kesadaran global akan makna pembelajaran yang bersifat lebih konstruktif. Ada titik balik dalam memandang proses belajar, yaitu dari cara belajar yang sifatnya kognitif, menuju pendekatan belajar yang lebih konstruktif. Menurut paradigma ini, target hasil belajar di sekolah diarahkan pada perkembangan pemahaman konseptual, pemecahan masalah, kecerdasan emosional, pengembangan kecerdasan bhineka (multiple intelligence) dan keterampilan interpersonal, daripada hafalan atau pembelajaran materi yang tidak relevan.

Kedua, tuntutan publik agar lembaga pendidikan menjamin proses belajar yang efektif bagi setiap siswa. Pendidikan inklusif yang memberikan kepada siapa saja, baik yang miskin maupun kaya untuk mengenyam pendidikan bermutu tanpa terancam masa depannya dipandang sebagai usaha untuk mempromosikan idealisme pendidikan untuk semua.

Ketiga, gerakan akuntabilitas pendidikan juga dibarengi dengan gelombang desentralisasi berbagai macam pelayanan publik termasuk dalam pendidikan. Karena itu, setiap usaha sentralisasi pendidikan malahan bertentangan dengan inspirasi dan cita-cita terlaksananya cita-cita pendidikan untuk semua.

Tiga inspirasi yang berasal dari gerakan reformasi pendidikan global menekankan tiga hal fundamental, yaitu, kualitas, persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan (equity) dan pembelajaran yang efektif. Penekanan utamanya pada unsur pembelajaran (learning) aktif bukan mekanis.

Sayangnya, tiga hal inilah yang tidak pernah masuk dalam agenda reformasi pendidikan kita. Pembelajaran yang sifatnya konstruktif dan kreatif terpasung karena para siswa justru banyak mengalami pembelajaran yang sifatnya mekanistis, hafalan. Soal model pilihan ganda merupakan defisiensi pedagogis yang bertolak belakang dengan pendekatan konstruktif, kritis, yang penting bagi pemecahan masalah.

Pembelajaran yang efektif hanya diredusir sekedar melampaui batas minimal kelulusan UN. Siswa tidak dipacu untuk secara kreatif mempelajari apa yang memang penting dan dibutuhkan. Padahal pembelajaran yang efektif mengandaikan siswa memiliki pengalaman belajar yang membantunya menemukan makna dan memperkokoh pengertian daripada sekedar hafalan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang terisolir.

Lebih dari itu, gerakan desentralisasi pendidikan yang sudah dilaksanakan dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sepertinya ditarik kembali oleh pemerintah dengan tetap menerapkan UN yang sifatnya sentralistis dan malahan memangkas hak-hak guru dalam memberikan evaluasi bagi para siswanya.

Pendekatan keliru

Adalah keliru kalau menganggap sebuah perubahan pendidikan yang dipaksakan dari atas akan memberikan dampak nyata bagi praksis pengajaran dan pembelajaran di kelas. UN sebagai sebuah kebijakan yang dipaksakan dari atas dalam jangka panjang akan semakin menghancurkan dunia pendidikan kita dan semakin memperlebar jurang kualitas pendidikan.

Di banyak negara, ujian standar berskala nasional lebih banyak menghancurkan dunia pendidikan ketimbang memperkuatnya. Lebih dari itu, ujian standar berskala nasional seringkali lebih dilandasi motivasi politik daripada pedagogis. Di negara kita, situasinya tidak jauh berbeda. UN menyingkirkan semakin banyak anak didik dalam mengenyam pendidikan yang bermutu, menurunkan moralitas guru, siswa, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Maraknya kebocoran soal dan terjadinya kecurangan selama UN yang terjadi di mana-mana semestinya membuat pemerintah mengkaji kembali kebijakan UN, bukan malah menambah mata pelajaran yang diujikan dalam UN.

Hiruk pikuk UN memang telah selesai, namun tugas pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikannya belum selesai. Tenggelam dalam besaran persentase kelulusan tanpa mau mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggungjawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Tuesday 6 May 2008

Sepuluh Kesesatan UN

Media Indonesia, Selasa 6 Mei 2008
Doni Koesoema A

Sebagaimana kesalahan dalam diagnosis medis dapat mengakibatkan kematian pasien, kesesatan berpikir dalam menggagas pendidikan nasional akan membawa dunia pendidikan pada jurang kehancuran. Ada sepuluh kesesatan berpikir ketika pemerintah menggagas tentang Ujian Nasional (UN).

Pertama, pemerintah mencampuradukkan dua pemahaman yang berbeda, yaitu, uji mutu nasional (national assesement) dan ujian umum (public examination). Menurut Greaney dan Kellaghan (2008) uji mutu nasional membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu agar dapat menentukan kebijakan dalam pendidikan. Sedangkan ujian umum bertujuan untuk menentukan kelulusan dan menyeleksi siswa pada tingkat pendidikan lebih lanjut. Ujian Nasional pada kenyataannya menentukan kelulusan siswa.

Kedua, masukan (feedback) untuk pemetaan pendidikan tidak dilakukan setiap tahun. Sebaliknya, hanya ujian dengan resiko tinggi (high stake testing) seperti ujian umum yang memengaruhi proses kelulusan siswalah yang dilakukan setiap tahun. Mengadakan UN tiap tahun untuk memetakan pendidikan nasional merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak pernah belajar dan tidak mampu memahami data-data pendidikan nasional setelah pengalaman bertahun-tahun melaksanakan UN.

Ketiga, ujian untuk menentukan pemetaan pendidikan tidak memengaruhi secara signifikan nasib siswa, sebab hanya untuk memetakan, sedangkan ujian untuk menentukan kelulusan akan berpengaruh langsung pada siswa, guru dan sekolah. Kenyataannya, UN sebagai pemetaan pendidikan menentukan kelulusan siswa, mempengaruhi kehidupan dan kinerja guru, serta mempertaruhkan nama baik sekolah di mata masyarakat.

Keempat, dalam setiap ujian pemetaan pendidikan, siswa tidak pernah mendapatkan hasil laporan atas ujian yang dilakukannya sebab ujian itu lebih dimaksudkan untuk pengambil kebijakan, sedangkan ujian umum jelas mendiskriminasi siswa berdasarkan kemampuan melalui nilai. Kenyatannya, siswa memperoleh nilai dalam UN dan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan akademisnya.

Kelima, ujian untuk pemetaan nasional hanya ditujukan untuk kompetensi tertentu, seperti matematika dan keaksaraan (literacy) serta tidak memiliki dampak langsung bagi proses pengajaran di sekolah. Ujian publik untuk kelulusan berdampak langsung atas pengajaran yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan materi yang diujikan. Kenyataannya, Ujian Nasional telah memengaruhi cara guru dalam mengajar dan mempersiapkan siswa dalam mengerjakan materi ujian. Selain itu, penambahan atas mata pelajaran yang di UN-kan merupakan sikap membabibuta yang tidak memiliki dasar bagi pemetaan pendidikan.

Keenam, dalam ujian untuk pemetaan nasional hasil akhir berupa konstatasi statistik yang cukup rumit untuk menggambarkan tujuan dari proses pemetaan yang diinginkan, misalnya, hubungan antara latar belakang sosial ekonomi keluarga dengan prestasi siswa, atau hubungan antara rasio kelas dengan prestasi siswa, sedangkan pensekoran dalam ujian umum biasanya sangat sederhana dengan menggunakan skema proses tertentu untuk menentukan skor. Ujian Nasional mempergunakan pensekoran sederhana sebagaimana penilaian untuk menentukan kelulusan siswa. Pensekoran untuk pemetaan secara sederhana tidak dapat memberikan informasi tentang korelasi hal-hal yang ingin dipetakan.

Ketujuh, ujian untuk pemetaan tidak memengaruhi nasib dan masa depan siswa, sedangkan ujian publik memiliki dampak bagi kegagalan siswa dan beresiko meningkatkan angka putus sekolah. Kenyatannya, ujian nasional menentukan kegagalan siswa dan meningkatkan angka putus sekolah.

Kedelapan, ujian untuk pemetaan sangat berguna untuk mengukur trend peningkatan prestasi siswa setiap waktu, karena itu, jenis test yang akan diberikan memiliki model yang hampir sama setiap tahun untuk melihat adanya perkembangan. Model yang biasanya dipakai adalah test berdasarkan pemahaman materi (criterion-referenced test). Sedangkan ujian publik tidak perlu mempertimbangkan model test berdasarkan penguasaan materi. Pertanyaan-pertanyaan soal dalam test setiap tahun berubah karena ujian publik bertujuan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan. Ujian publik menggunakan model soal dengan tingkat kesulitan yang telah didiskriminasi melalui semacam try out (norm-referenced test). Maka soal lebih didasarkan pada tingkat kesulitan daripada penguasaan materi. Materi yang dalam try out bisa dikerjakan oleh sebagian besar siswa, tidak akan keluar dalam test berikutnya. Karena itu, soal-soal dalam uji publik itu berubah setiap tahun. Ujian Nasional yang dipakai untuk pemetaan pendidikan itu pada kenyataannya didasarkan pada tingkat kesulitan dan mendiskriminasi prestasi siswa.

Kesembilan, adalah kekeliruan berpikir mengatakan bahwa untuk memetakan mutu pendidikan nasional satu-satunya cara adalah dengan mengukur bagaimana siswa belajar dalam sebuah sistem pendidikan. Pandangan demikian sesat karena mengelabuhi agensi lain yang turut bertanggungjawab atas keberhasilan pendidikan nasional, seperti masyarakat dan negara. Sebaliknya, untuk memetakan mutu pendidikan, pemerintah perlu membuat ujian nasional bagi diri mereka sendiri sejauh mana pemerintah telah memenuhi standard-standard dalam penyediaan sarana dan prasarana yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan nasional, seperti, penyediaan guru-guru yang berkualitas, akses pada buku pelajaran pada setiap siswa, pembangunan sekolah dan berbagai macam sarana yang mendukung pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan.

Kesepuluh, UN merupakan cara memetakan dunia pendidikan nasional. UN sekarang ini pada kenyataannya merupakan ujian umum. Sebagai sebuah ujian umum, UN tidak dapat memberikan data-data dan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengembangkan dunia pendidikan, seperti sejauh mana situasi sosial ekonomi berpengaruh pada prestasi siswa, sejauh mana prestasi siswa memiliki korelasi dengan model kurikulum, dll. Ujian Nasional dengan demikian merupakan sebuah kesia-siaan dan pemborosan tenaga, uang, dan waktu, bahkan mengorbankan lebih banyak mengorbankan anak didik, guru, sekolah dan masyarakat. Kebijakan demikian ini kalau dibiarkan akan membawa kehidupan berbangsa pada kehancuran yang lebih dalam.

Kerancuan berpikir menyebabkan dunia pendidikan kita mandeg. Membiarkan tumbal-tumbal pendidikan semakin banyak berjatuhan merupakan sebuah perilaku politik yang sesungguhnya arogan, tidak bertanggungjawab dan tidak memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Dengan adanya kesesatan-kesesatan itu, semua warga negara memiliki hak agar pendidikan dikembalikan pada rel yang sesungguhnya supaya pendidikan nasional tidak semakin terjerumus dalam kehancuran yang lebih mengerikan. Kalau segala usaha, baik itu melalui jalur informal (demonstrasi, diseminasi opini publik, seminar, dll) dan jalur hukum (melalui proses pengadilan tuntutan warga negara), tidak dapat lagi mengetuk pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti ini, mungkin inilah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi sosial (civil disobedience) untuk menentang kebijakan Ujian Nasional.
Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Wednesday 30 April 2008

UN Harus Dihentikan

Kompas, Rabu, 30 April 2008
Doni Koesoema A

Tidak pernah dalam sejarah Indonesia modern status guru begitu terpuruk seperti sekarang, menjadi teroris. Pasukan Densus 88 Antiteror adalah satuan elit polisi untuk memburu teroris. Sekarang mereka juga menggerebek dan menangkap guru.

Hal ini patut disayangkan. Namun pokok persoalannya bukan di situ. Sistem Ujian Nasionallah yang telah memberangus otonomi guru. Kebobrokan itu ada dalam sistem, bukan dalam individu guru.

Kebijakan UN telah secara sitematis memaksa guru memikul beban berat di luar tanggungjawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan siswa. Kebijakan UN memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya lagi diberlakukan di negeri ini yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

Tanggungjawab pemerintah
Pemerintah ingin lari dari tanggungjawab atas ketidakbecusan mereka dalam mengelola pendidikan dengan melokalisir tanggungjawab, yaitu, pada korps guru. Guru merupakan penanggungjawab utama kebobrokan pendidikan kita. Itulah pesan utama penangkapan guru oleh Densus 88 Anti teror.

Kini Indonesia sedang memasuki masa teknokrasi absolut dalam pendidikan di mana proses belajar mengajar hanya dinilai melalui angka-angka hasil ujian yang sama sekali abai terhadap kenyataan, kesulitan, dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Data nilai UN sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang bagaimana hancurnya sarana-prasarana pendidikan yang ada. Nilai UN juga tidak berbicara sama sekali tentang kualitas para guru di lapangan.

Melokalisir tanggungjawab dan menilai keberhasilan pendidikan semata-mata melalui angka-angka keberhasilan UN sesungguhnya mengaburkan atau bahkan menutupi ketidakmampuan pemerintah sebagai sebuah lembaga yang paling bertanggungjawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta bertanggungjawab dalam menyediakan guru-guru berkualitas bagi dunia pendidikan. Inilah yang ingin ditutupi melalui Ujian Nasional. Pemerintah lari dari tanggungjawab sebab mereka tidak mampu melaksanakan semuanya ini.

Lebih dari itu, afirmasi pengadilan tinggi atas kemenangan class action warga negara terhadap kebijakan Ujian Nasional menunjukkan bahwa semenjak reformasi digulirkan sepuluh tahun lalu, pemerintah kita bukannya malah menjadi semakin demokratis, melainkan menjadi semakin otoriter. Ini merupakan sebuah tata cara kehidupan berdemokrasi yang memalukan!

Melakukan kecurangan dalam UN tentu “mencederai kesucian lembar jawaban UN” sebagaimana dikatakan Mendiknas, namun tetap melanggenggkan kebijakan UN seperti sekarang juga mencederai kesucian martabat guru yang jika diteruskan akan berakibat fatal bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini dalam jangka panjang. Beberapa guru di Papua mulai memikirkan apakah tidak lebih baik mereka memilih profesi lain selain guru, sebab profesi guru sekarang sudah tidak berharga lagi dibandingkan profesi tukang ojek atau tukang becak. Jika menjadi guru berakhir dalam penjara, para guru akan memilih pekerjaan yang lebih memberikan kedamaian dan kesejahteraan, menjadi tukang ojek, tukang becak atau apa saja asal aman dan halal.

Tidak ada sebuah masyarakat yang kokoh jika mereka meremehkan kehadiran para guru. Negeri kita sudah mengalami defisit guru yang bermutu karena pemerintah telah gagal memberikan kesejahateraan ekonomi terhadap mereka. Sekarang terhadap mereka yang masih bertahan, melalui kebijakan UN pemerintah telah menghancurkan profesi mereka secara sosial dan kultural dengan memosisikannya sebagai teroris dan penjahat.

Hari ini dan di masa depan, kita akan kehilangan orang-orang istimewa yang masih punya hati dan komitmen untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika dahulu mereka masih bertahan bahkan dalam kesulitan ekonomi, sekarang ini, goncangan sosial dan kultural atas citra guru sebagai teroris akan membuat mereka yang bertahan menjadi guru segera meninggalkannya. Maka tidak akan banyak generasi muda kita tertarik menjadi guru.

Arogansi kekuasaan
Ujian Nasional adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan siswa atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasan yang sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Dalam kenyataan kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antar-guru-siswa-orangtua-masyarakat.

Sesungguhnya bukan hanya biaya sosial politik dan ekonomi yang kita hambur-hamburkan demi menjalankan kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti UN, melainkan lebih dari itu, biaya kultural dan psikologis yang dipikul baik terhadap guru maupun siswa merupakan ongkos yang tidak dapat dinilai dengan uang. Jika kita ingin membaharui dan mereformasi dunia pendidikan secara berkesinambungan (sustainable) dan tepat sasaran, kebijakan UN harus segera dihentikan!

Pemerintah mesti mencari cara-cara alternatif dengan mengembalikan kembali otonomi guru, memulihkan citra dan wibawa mereka sebagai pendidik, dan membantu dengan serius meningkatkan profesionalisme mereka. Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan politik pendidikan yang dalam jangka panjang akan semakin menjerumuskan dunia pendidikan kita pada kehancuran.

Arogansi kekuasaan dalam UN akan membuat bangsa ini kehilangan orang-orang berintegritas dan terdidik yang masih memiliki hati terhadap dunia pendidikan. Hanya melalui kehadiran orang-orang berintegritas seperti ini dunia pendidikan kita mampu bangkit berdiri. Sayangnya, orang-orang seperti ini semakin tersingkir karena kebijakan UN. Kebijakan Ujian Nasional benar-benar harus segera dihentikan!

Doni Koesoema A. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Foto:diambil dari KOMPAS

Cited:

1. Ujian Rasional (Mukhtaruddin Yakub)

Thursday 27 March 2008

Di Balik Pemetaan Pendidikan

KOMPAS Kamis, 27 Maret 2008 00:31 WIB
Doni Koesoema A

Polemik seputar tujuan ujian nasional, seperti penentuan siapa yang berwenang meluluskan siswa, tidak muncul dalam diskusi tentang ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN SD/MI/SLB.

Mengapa? Karena semua telah ditebus dalam 11 ayat 1 Permen No 37/2007 yang mengatakan, ”kriteria kelulusan UASBN Tahun Pelajaran 2007/2008 ditetapkan oleh tiap sekolah/madrasah yang peserta didiknya mengikuti UASBN.”

Jika kriteria penentuan kelulusan siswa ditentukan sekolah melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan (POS UASBN 2007/2008, poin VI), mengapa tak memberikan kebebasan kepada sekolah untuk mengadakan ujian akhir sekolah sendiri? Jawaban yang paling masuk akal adalah karena pemerintah masih membutuhkan hasil ujian akhir sebagai alat untuk memetakan satuan pendidikan (Permen No 37/2007 Pasal 3a).

Sensus atau sampel?

Sensus pendidikan sebagaimana terjadi pada UASBN sebenarnya tidak perlu sebab merupakan pemborosan anggaran, tenaga, dan waktu. Para ahli lingkungan hidup pun untuk memetakan mutu sebuah lingkungan tidak mengadakan penelitian di tiap tempat, cukup mengambil sampel, lalu menarik kesimpulan. Memetakan mutu pendidikan juga bisa dilakukan dengan mengambil sampel secara rutin.

Namun, kuatnya keinginan pemerintah melakukan UASBN dilandasi dua hal. Pertama, lebih bersifat akademis. Di sini ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah pejabat di Depdiknas mungkin tidak tahu bahwa untuk memetakan situasi pendidikan nasional ada cara yang lebih efektif dan hemat, yaitu dengan mengambil sampel daripada memakai metodologi sensus. Kabar baiknya, mereka masih perlu kursus statistik tingkat dasar.

Kedua, lebih bersifat politis, juga ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah anggaran UASBN tidak kecil, karena itu memungkinkan terjadinya bancakan anggaran di berbagai tingkat terkait. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana mungkin pemerintah yang semula menganggarkan UASBN Rp 500 miliar dipangkas oleh Komisi X DPR hanya menjadi Rp 96 miliar. Kabar baiknya, pemerintah memiliki semangat besar. Meski dana dipangkas, pemerintah masih berani melaksanakan UASBN!

Fenomena ini bisa dibaca secara positif sebagai indikasi bahwa pejabat pemerintah masih membutuhkan kursus dasar membuat anggaran sebagai bagian peningkatan kinerja profesional. Sebaliknya, secara kritis, diduga terjadi penggelembungan anggaran.
Setelah UN

Pengalaman ujian nasional (UN) sebenarnya mulai menunjukkan pengaruhnya di kalangan siswa dan pendidik. Para guru mulai lebih antusias mengajar, mencari info untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cara membangun komunikasi antarpendidik, entah melalui diskusi, tanya jawab, membuat proyek kerja dengan rekan guru, maupun berselancar melalui dunia maya. Para siswa juga mulai lebih tekun belajar karena tidak ingin mengalami nasib serupa dengan temannya yang tinggal kelas karena tidak lulus UN.

Gejala ini oleh Hargreaves disebut dengan hyperactive professionalism, yaitu sebuah hiruk-pikuk, riuh rendah penuh semangat yang dilakukan guru untuk melaksanakan tujuan jangka pendek kebijakan pendidikan pemerintah daripada mewujudkan visi pribadi tentang pendidikan jangka panjang. Hiruk-pikuk UN dan UASBN akhirnya malah mengeringkan visi dan inspirasi pribadi pendidik tentang tujuan pendidikan.

Hargreaves juga melihat, penyakit ritual kompulsif akan standardisasi akhirnya menyeret dunia pendidikan pada hukum regulasi diri yang berlebihan (autokrasi). Karena standar tidak tercapai, satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan membuatnya lebih ketat, yaitu, meletakkan beban di pundak pendidik dan siswa dua kali lipat. Hasilnya adalah penambahan mata pelajaran yang diujikan. Penyakit ritual kompulsif UN menjadi kian membabi buta dan tidak tersembuhkan.

Pengalaman pasca-UN juga menjerumuskan dunia pendidikan pada jebakan teknokrasi, yaitu meredusir ketidakadilan sosial dan perbedaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama menjadi sekadar kalkulasi teknis dan hitung-hitungan nilai UN di mana satu-satunya tanggung jawab ditimpakan pada dunia pendidikan. Menimpakan kebobrokan pendidikan dengan menuduh para guru tidak becus adalah cara termudah dan murah! Maka, kebodohan itu terjadi bukan karena kemiskinan atau buruknya pelayanan gizi dan kesehatan, tetapi karena kesalahan guru di sekolah. Negara lepas tangan adalah jalan paling ringan.

Rasionalitas inspiratif

Usaha pembaruan pendidikan akan melemparkan kita pada sebuah perjalanan padang gurun jika inspirasi, visi, dan rasionalitas ditinggalkan. Usaha mencari jalan pintas untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara lari cepat jarak pendek hanya membuat dunia pendidikan kita kian terengah-engah, kehabisan daya, bahkan bisa mati kehausan di tengah jalan sebelum mencapai garis akhir dalam ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Suatu saat Mahatma Gandhi berkata, ”Speed is irrelevant if you are going in the wrong direction.” Kita salah jalan jika masih percaya, satu-satunya cara memetakan mutu satuan pendidikan adalah dengan mengadakan UASBN ataupun UN.

Logika mengatakan, ada cara lain yang lebih sistematis, praktis, dan ekonomis serta tidak mengorbankan tujuan pendidikan jangka panjang. Bukan melalui sensus, tetapi percontohan. Lebih dari itu, pembaruan dunia pendidikan akan lestari jika jalan-jalan perbaikan dipandu rasionalitas dan inspirasi tiada henti, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hari ini.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Artikel ini dikutip di:
1. Pemetaan Pendidikan Melalui UN (Padang Express)

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Thursday 21 February 2008

Waspadai Para Penelikung Konstitusi!!!

Target Akhir Mengubah Konstitusi

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan uji materi Pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas sungguh-sungguh telah melukai hati rakyat. Drama Anggaran ini sudah tidak lucu lagi.

Permainan kata-kata kosong tidak ada artinya telah difatwakan oleh Mahkamah Konstitusi yang semestinya bertugas menjaga jiwa dan tujuan Undang-Undang Dasar 1945.

Tapi itulah realitas busuk politik pendidikan kita saat ini.

Pemerintah akan senang dengan keputusan ini, sebab itulah yang telah direncanakan sejak awal.

Kepada seluruh rakyat Indonesia yang mencintai dunia pendidikan, saya Anda harap tidak putus asa, tapi berusaha dengan cara kita masing-masing memajukan dunia pendidikan.

Inilah akhir dari Drama Anggaran Pendidikan itu. Inilah permainan politik.

Apa artinya keputusan MK itu bagi perbaikan pendidikan di Indonesia?

TIDAK ADA. Sama sekali TIDAK ADA.

Siapa yang diuntungkan dalam keputusan MK itu?

Yang diuntungkan pertama adalah pemerintah yang telah lama dikritik dan dikecam karena tidak memenuhi anggaran konstitusi. Memasukkan gaji pendidik dalam Anggaran Pendidikan hanya akan membesarkan angka anggaran tapi NOL perubahan.
Pemerintah bisa mulai berseloroh, “Kami telah hampir memenuhi amanat Konstitusi!” Suara lantang itu tidak ada artinya, sebab tidak ada perubahan sama sekali! Itu semua adalah OMONG KOSONG!

Yang akan diuntungkan kedua adalah calon presiden dari partai politik yang akan berusaha meraih suara pada pemilu 2009. Mereka yang akan menguasai eksekutif akan mewarisi aturan ini dan mereka akan dengan pongah mengatakan bahwa “Kami telah mematuhi konstitusi.” Tapi itu semua tidak ada artinya.

Siapa yang dirugikan?

Dunia pendidikan dan masa depan pendidikan di Indonesia. Anggaran 20 persen yang bisa dipakai untuk memperbaiki sekolah kita yang telah roboh dan membantu mereka yang miskin untuk sekolah semakin berkurang. Besaran angka 20 presen itu tidak ada artinya apapun jika hanya menggeser pos anggaran belanja pendidik pada anggaran pendidikan.

Apa yang dapat dibaca dari Keputusan MK Ini?

Pertama, telikung konstitusi telah terjadi lagi. Namun sekarang melibatkan sebuah lembaga terhormat penjaga Konstitusi. Jika MK sebagai lembaga pengawal konstitusi tidak memandang bahwa uji materi ini sesungguhnya hanya drama politik, masa depan demokrasi kita akan semakin suram. Jika mereka yang menjaga Konstitusi tidak lagi membela rakyat yang menjadi pemilik utama bangsa ini, rakyat menjadi yatim piatu. Akhirnya kita sendirian yang mesti mempertahankan harkat dan martabat kita.

Kedua, nuansa kolusi sangat kentara dalam proses pengajuan uji materi anggaran ini. Pemerintah tidak akan mungkin mengajukan uji materi karena mereka yang mengusulkan UU itu bersama DPR. Dulu ketika mereka berencana mengajukan uji materi, rakyat sang terdidik segera mengkritiknya, "Buruk muka cermin dibelah!" Maka ide Uji Materi tidak pernah mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan cara bahwa harus ada orang lain yang mengajukannya, yaitu, guru dan dosen sendiri. Maka ditemukanlah strategi busuk ini. Datanglah Ibu guru dan Bapak Dosen yang dari negeri jauh yang merasa diri mewakili para dosen dan guru, juga mewakili jeritan hati rakyat. Mereka itu bukan mewakili kita, tetapi mewakili kepentingan tertentu yang sudah bisa kita tebak.

Ketiga, MK memproklamasikan diri menjadi lembaga yang tidak KREDIBEL, yang tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat, yang menafsirkan semangat KONSTITUSI hanya dari persoalan formal, namun tidak memahami ISI dan JIWA dalam semangat KONSTITUSI. Selan itu, mereka sama sekali tidak paham apa makna perjuangan para pahlawan yang gugur, dan apa cita-cita SOEKARNO dan HATTA sebagai bapak Bangsa dalam membentuk negara ini.

Keempat, MK juga telah MENGKHIANATI semangat REFORMASI yang telah menelan ratusan jiwa mahasiswa dan rakyat jelata. UU Sisdiknas dibuat masih dalam semangat reformasi itu, maka ditulislah 20 persen anggaran pendidikan itu tanpa menyertakan gaji guru dan biaya kedinasa, karena gaji guru yang dimaksud itu mengacu pada gaji guru yang pegawai negeri yang sesungguhnya masuk dalam anggaran rutin.

Rencana Besar tersembunyi

Saya melihat ada rencana busuk tersembunyi untuk merongrong KONSTITUSI dan MENYELEWENGKAN lagi Semangat REFORMASI. Apa itu?

Kemenangan uji materi MK ini hanyalah langkah awal. Para politisi korup yang ada di parlemen juga sedang merencanakan BABAK II dari DRAMA ANGGARAN ini. Setelah, mereka berhasil menggagalkan UU SISDIKNAS yang dibentuknya sendiri, langkah panjang mereka adalah ini:

“MENGHAPUSKAN MUATAN KATA-KATA ANGGARAN 20% TENTANG PENDIDIKAN SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM KONSTITUSI”

Kita tahu, sekarang demokrasi kita telah diselewangkan menjadi demokrasi parlemen yang didasarkan pada jumlah tanda tangan wakil rakyat, yang sesungguhnya tidak mewakili rakyat. Di masa lalu, untuk mengubah Konstitusi harus dilakukan REFERENDUM oleh rakyat. Tapi sekarang Konstitusi bisa diganti hanya dengan tanda tangan wakil rakyat. Demokrasi macam ini jelas menciderai partisipasi rakyat. Sistem ini bisa membawa negara kita pada totalitarianisme bentuk baru, berupa totalotarianisme parlementer. Siapa yang kuat bayar buat anggota parlemen, dia bisa memperoleh keadilan dan hukum!

Maka, mulai sekarang saya mengajak seluruh warga negara Indonesia yang cinta pada bangsa dan negara, terutama mereka yang prihatin pada dunia pendidikan untuk menjaga dan memperhatikan gejala ini. Wacana anggaran ini akan dipungkasi dengan usaha menghapus angka 20 persen itu dari KONSTITUSI SENDIRI. Namun lebih dari itu, sikap kritis terhadap setiap penggunaan anggaran negara mesti kita awasi.Meskipun hal ini tidak mudah, namun kita perlu berusaha terus untuk menyelamatkan uang rakyat itu.

Memang, kita tidak dapat lagi mengandalkan wakil rakyat yang moralnya bejat. Kita tidak dapat lagi mengandalkan gerbang keadilan terakhir yaitu MAHKAMAH KONSTITUSI. Kitalah yang mesti mempertahankan martabat kita sendiri dan mengusahakan sekuat tenaga untuk mengkritisi para wakil rakyat yang TIDAK PERNAH mewakili RAKYAT.

Saya salut kepada Anggota MK yang mengajukan disenting opinion, sebab ANDA merupakan JIWA, NURANI, dan SUARA HATI RAKYAT. Namun, suara anda kalah, karena DEMOKRASI di negeri ini dipahami secara picik sekedar menang-menangan kekuatan angka, tanpa mau masuk esensi terdalamnya, yaitu menghargai kekuatan rakyat dan memahami kembali tujuan dasar didirikannya negeri ini.

Jika demokrasi dipahami seperti ini, kelompok mayoritas memiliki legitimasi dalam menindas siapapun yang hidup di negeri ini, terutama terhadap kelompok yang minoritas dan kecil. Demokrasi seperti ini bukanlah demokrasi yang digagas para pendiri bangsa yang justru menghargai dan melindungi mereka yang lemah.

Bangsa ini, merunduk sedih, mengurai air mata, karena penjaga jiwa-jiwa rakyatnya telah tiada…

Doni Koesoema A
Rakyat biasa yg berduka

Baca: DRAMA ANGGARAN PENDIDIKAN

Friday 15 February 2008

Pengangguran Intelektual

Doni Koesoema A


Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas kehidupan. Mengangkat kembali wacana entrepeneurship dan menggemakan lagi wacana link and match, hanya akan merupakan kebijakan tambal sulam jika pemerintah tidak segera menyadari bahwa kebijakan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, yang menjadi fondasi bagi kualitas pendidikan tinggi, lebih banyak mematikan kreatifitas dan memandulkan daya cipta guru maupun siswa.

“Kita hidup dalam sebuah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas (ingenuity). Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini; kalau tidak, masyarakat dan bangsa akan ditinggalkan.” (Andy Hargreaves, 2003).

Hargreaves tepat membidik dua hal yang seringkali dilupakan dalam pembaharuan pendidikan. Pertama, ekonomi pengetahuan pertama-tama melayani kebaikan individu (private good). Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum (public good). Sekolah semestinya mempersiapkan anak didik untuk keduanya.

Namun sebagaimana perilaku di balik logika kapitalis, ekonomi pengetahuan juga memelihara daya-daya kreatif yang merusak. Ia merangsang pertumbuhan dan kemakmuran, namun serentak gelojoh dalam memburu keuntungan dan kepentingan pribadi, serta menghancurakan keteraturan sosial. Karena itu, sekolah sebagai lembaga publik mestinya mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan empati pada komunitas yang mampu meredam perilaku tamak kapitalisme.

Sayangnya, alih-alih mengembangkan kreatifitas dan menumbuhkan daya cipta, sistem pendidikan kita tanpa disadari lebih suka memaksakan kurikulum manajemen mikro secara seragam. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mestinya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreatifitas, menumbuhkan kemampuan kemampuan memecahkan persoalan dan menanggapi persoalan baru secara cerdas tetap terpasung dalam rubrik Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralistis.

Alih-alih mengembangkan misi solidaritas dan empati terhadap komunitas, kebijakan pendidikan kita memosisikan guru dan siswa sekedar terampil menjawab soal pilihan ganda. Usaha meraih mutu tinggi bagi pendidikan berubah menjadi obsesi kompulsif akan standardisasi.

Kebanggaan semu

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sesungguhnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai sekedar anjing pavlov. Mereka giat mengajar dan belajar karena ada stimulus dari luar. Padahal dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan. Jika pendidikan merupakan pemanusiaan, logika anjing pavlov harus dijauhkan dari kinerja pendidikan kita!

Situasi ini diperparah dengan banyaknya sekolah publik yang masih megap-megap, sekedar untuk mencukupi biaya operasional, diisi oleh para guru yang dibayar rendah, sekedar mengikuti SKL dan SI yang sifatnya sangat sentralistis, dan hanya mengajar siswa agar dapat lolos UN. Hampir tidak ada ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Juga tidak akan pernah lahir motivasi internal mengajar dan belajar yang dibutuhkan bagi berkembangnya kreatifitas dan innovasi.

Pembelajaran autentik

Kita bisa mengembangkan investasi tinggi dalam pendidikan dengan cara menciptakan sebuah sistem pendidikan yang memiliki visi jauh ke depan dan peka akan dinamika masyarakat. Guru semestinya diberi ruang kebebasan agar dapat meningkatkan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran autentik yang menumbuhkan kreatifitas dan daya cipta.

Mengusung kembali wacana entrepreunership dan matching dunia pendidikan dengan dunia kerja, tanpa disertai perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan hanya akan memiskinkan kemanusiaan. Dua wacana ini semakin mengukuhkan bahwa siswa hanyalah satu sekrup dari roda besar mesin uang kapitalisme. Pendidikan tidak dipahami sebagai sarana pemanusiaan dan pembudayaan melainkan sistem prosedur untuk menyortir orang berdasarkan keahlian.

Jika selama menjalani masa pendidikan siswa tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami semangat belajar tinggi karena tumbuhnya motivasi internal belajar, jangan pernah kita berharap bahwa semangat kewirausahaan itu pun akan tumbuh. Jangan pernah berharap bahwa kreatifitas dan inovasi itu akan hadir dalam diri generasi muda intelektual kita.

Cermin bagi pemerintah

Pengangguran intelektual semestinya menjadi cermin bagi pemerintah untuk berkaca dan berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang secara sistemik mematikan kreatifitas dan inovasi.

Pendidikan akan mampu menciptakan lulusan yang kreatif, penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan persoalan, melainkan kompeten dalam menjawab tantangan jaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka dibekali pengalaman untuk itu. Pengalaman seperti ini sulit tercapai jika kurikulum tetap diikat dari pusat, dan siswa tidak pernah mengalami pembelajaran kontekstual sejak dini. Asumsi dasar dibalik UN adalah dekontekstualisasi pengetahuan.

Kreatifitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa merdeka yang memiliki motivasi internal dalam belajar. Kreatifitas dan inovasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa udara, sebagaimana soal-soal UN. Kemampuan ini bertumbuh seiring dengan dialog dan perjumpaan individu dalam membumikan pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas masyarakat. Kebijakan UN yang berlaku sejak tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menangah Atas hanya akan mempersiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tapi tidak mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka yang menjadi pengangguran.

Doni Koesoema A. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Harian KOMPAS, 15 Februari 2008

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Pendidikan Keagamaan