Wednesday 30 April 2008

UN Harus Dihentikan

Kompas, Rabu, 30 April 2008
Doni Koesoema A

Tidak pernah dalam sejarah Indonesia modern status guru begitu terpuruk seperti sekarang, menjadi teroris. Pasukan Densus 88 Antiteror adalah satuan elit polisi untuk memburu teroris. Sekarang mereka juga menggerebek dan menangkap guru.

Hal ini patut disayangkan. Namun pokok persoalannya bukan di situ. Sistem Ujian Nasionallah yang telah memberangus otonomi guru. Kebobrokan itu ada dalam sistem, bukan dalam individu guru.

Kebijakan UN telah secara sitematis memaksa guru memikul beban berat di luar tanggungjawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan siswa. Kebijakan UN memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya lagi diberlakukan di negeri ini yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

Tanggungjawab pemerintah
Pemerintah ingin lari dari tanggungjawab atas ketidakbecusan mereka dalam mengelola pendidikan dengan melokalisir tanggungjawab, yaitu, pada korps guru. Guru merupakan penanggungjawab utama kebobrokan pendidikan kita. Itulah pesan utama penangkapan guru oleh Densus 88 Anti teror.

Kini Indonesia sedang memasuki masa teknokrasi absolut dalam pendidikan di mana proses belajar mengajar hanya dinilai melalui angka-angka hasil ujian yang sama sekali abai terhadap kenyataan, kesulitan, dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Data nilai UN sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang bagaimana hancurnya sarana-prasarana pendidikan yang ada. Nilai UN juga tidak berbicara sama sekali tentang kualitas para guru di lapangan.

Melokalisir tanggungjawab dan menilai keberhasilan pendidikan semata-mata melalui angka-angka keberhasilan UN sesungguhnya mengaburkan atau bahkan menutupi ketidakmampuan pemerintah sebagai sebuah lembaga yang paling bertanggungjawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta bertanggungjawab dalam menyediakan guru-guru berkualitas bagi dunia pendidikan. Inilah yang ingin ditutupi melalui Ujian Nasional. Pemerintah lari dari tanggungjawab sebab mereka tidak mampu melaksanakan semuanya ini.

Lebih dari itu, afirmasi pengadilan tinggi atas kemenangan class action warga negara terhadap kebijakan Ujian Nasional menunjukkan bahwa semenjak reformasi digulirkan sepuluh tahun lalu, pemerintah kita bukannya malah menjadi semakin demokratis, melainkan menjadi semakin otoriter. Ini merupakan sebuah tata cara kehidupan berdemokrasi yang memalukan!

Melakukan kecurangan dalam UN tentu “mencederai kesucian lembar jawaban UN” sebagaimana dikatakan Mendiknas, namun tetap melanggenggkan kebijakan UN seperti sekarang juga mencederai kesucian martabat guru yang jika diteruskan akan berakibat fatal bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini dalam jangka panjang. Beberapa guru di Papua mulai memikirkan apakah tidak lebih baik mereka memilih profesi lain selain guru, sebab profesi guru sekarang sudah tidak berharga lagi dibandingkan profesi tukang ojek atau tukang becak. Jika menjadi guru berakhir dalam penjara, para guru akan memilih pekerjaan yang lebih memberikan kedamaian dan kesejahteraan, menjadi tukang ojek, tukang becak atau apa saja asal aman dan halal.

Tidak ada sebuah masyarakat yang kokoh jika mereka meremehkan kehadiran para guru. Negeri kita sudah mengalami defisit guru yang bermutu karena pemerintah telah gagal memberikan kesejahateraan ekonomi terhadap mereka. Sekarang terhadap mereka yang masih bertahan, melalui kebijakan UN pemerintah telah menghancurkan profesi mereka secara sosial dan kultural dengan memosisikannya sebagai teroris dan penjahat.

Hari ini dan di masa depan, kita akan kehilangan orang-orang istimewa yang masih punya hati dan komitmen untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika dahulu mereka masih bertahan bahkan dalam kesulitan ekonomi, sekarang ini, goncangan sosial dan kultural atas citra guru sebagai teroris akan membuat mereka yang bertahan menjadi guru segera meninggalkannya. Maka tidak akan banyak generasi muda kita tertarik menjadi guru.

Arogansi kekuasaan
Ujian Nasional adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan siswa atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasan yang sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Dalam kenyataan kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antar-guru-siswa-orangtua-masyarakat.

Sesungguhnya bukan hanya biaya sosial politik dan ekonomi yang kita hambur-hamburkan demi menjalankan kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti UN, melainkan lebih dari itu, biaya kultural dan psikologis yang dipikul baik terhadap guru maupun siswa merupakan ongkos yang tidak dapat dinilai dengan uang. Jika kita ingin membaharui dan mereformasi dunia pendidikan secara berkesinambungan (sustainable) dan tepat sasaran, kebijakan UN harus segera dihentikan!

Pemerintah mesti mencari cara-cara alternatif dengan mengembalikan kembali otonomi guru, memulihkan citra dan wibawa mereka sebagai pendidik, dan membantu dengan serius meningkatkan profesionalisme mereka. Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan politik pendidikan yang dalam jangka panjang akan semakin menjerumuskan dunia pendidikan kita pada kehancuran.

Arogansi kekuasaan dalam UN akan membuat bangsa ini kehilangan orang-orang berintegritas dan terdidik yang masih memiliki hati terhadap dunia pendidikan. Hanya melalui kehadiran orang-orang berintegritas seperti ini dunia pendidikan kita mampu bangkit berdiri. Sayangnya, orang-orang seperti ini semakin tersingkir karena kebijakan UN. Kebijakan Ujian Nasional benar-benar harus segera dihentikan!

Doni Koesoema A. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Foto:diambil dari KOMPAS

Cited:

1. Ujian Rasional (Mukhtaruddin Yakub)

Thursday 27 March 2008

Di Balik Pemetaan Pendidikan

KOMPAS Kamis, 27 Maret 2008 00:31 WIB
Doni Koesoema A

Polemik seputar tujuan ujian nasional, seperti penentuan siapa yang berwenang meluluskan siswa, tidak muncul dalam diskusi tentang ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN SD/MI/SLB.

Mengapa? Karena semua telah ditebus dalam 11 ayat 1 Permen No 37/2007 yang mengatakan, ”kriteria kelulusan UASBN Tahun Pelajaran 2007/2008 ditetapkan oleh tiap sekolah/madrasah yang peserta didiknya mengikuti UASBN.”

Jika kriteria penentuan kelulusan siswa ditentukan sekolah melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan (POS UASBN 2007/2008, poin VI), mengapa tak memberikan kebebasan kepada sekolah untuk mengadakan ujian akhir sekolah sendiri? Jawaban yang paling masuk akal adalah karena pemerintah masih membutuhkan hasil ujian akhir sebagai alat untuk memetakan satuan pendidikan (Permen No 37/2007 Pasal 3a).

Sensus atau sampel?

Sensus pendidikan sebagaimana terjadi pada UASBN sebenarnya tidak perlu sebab merupakan pemborosan anggaran, tenaga, dan waktu. Para ahli lingkungan hidup pun untuk memetakan mutu sebuah lingkungan tidak mengadakan penelitian di tiap tempat, cukup mengambil sampel, lalu menarik kesimpulan. Memetakan mutu pendidikan juga bisa dilakukan dengan mengambil sampel secara rutin.

Namun, kuatnya keinginan pemerintah melakukan UASBN dilandasi dua hal. Pertama, lebih bersifat akademis. Di sini ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah pejabat di Depdiknas mungkin tidak tahu bahwa untuk memetakan situasi pendidikan nasional ada cara yang lebih efektif dan hemat, yaitu dengan mengambil sampel daripada memakai metodologi sensus. Kabar baiknya, mereka masih perlu kursus statistik tingkat dasar.

Kedua, lebih bersifat politis, juga ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah anggaran UASBN tidak kecil, karena itu memungkinkan terjadinya bancakan anggaran di berbagai tingkat terkait. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana mungkin pemerintah yang semula menganggarkan UASBN Rp 500 miliar dipangkas oleh Komisi X DPR hanya menjadi Rp 96 miliar. Kabar baiknya, pemerintah memiliki semangat besar. Meski dana dipangkas, pemerintah masih berani melaksanakan UASBN!

Fenomena ini bisa dibaca secara positif sebagai indikasi bahwa pejabat pemerintah masih membutuhkan kursus dasar membuat anggaran sebagai bagian peningkatan kinerja profesional. Sebaliknya, secara kritis, diduga terjadi penggelembungan anggaran.
Setelah UN

Pengalaman ujian nasional (UN) sebenarnya mulai menunjukkan pengaruhnya di kalangan siswa dan pendidik. Para guru mulai lebih antusias mengajar, mencari info untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cara membangun komunikasi antarpendidik, entah melalui diskusi, tanya jawab, membuat proyek kerja dengan rekan guru, maupun berselancar melalui dunia maya. Para siswa juga mulai lebih tekun belajar karena tidak ingin mengalami nasib serupa dengan temannya yang tinggal kelas karena tidak lulus UN.

Gejala ini oleh Hargreaves disebut dengan hyperactive professionalism, yaitu sebuah hiruk-pikuk, riuh rendah penuh semangat yang dilakukan guru untuk melaksanakan tujuan jangka pendek kebijakan pendidikan pemerintah daripada mewujudkan visi pribadi tentang pendidikan jangka panjang. Hiruk-pikuk UN dan UASBN akhirnya malah mengeringkan visi dan inspirasi pribadi pendidik tentang tujuan pendidikan.

Hargreaves juga melihat, penyakit ritual kompulsif akan standardisasi akhirnya menyeret dunia pendidikan pada hukum regulasi diri yang berlebihan (autokrasi). Karena standar tidak tercapai, satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan membuatnya lebih ketat, yaitu, meletakkan beban di pundak pendidik dan siswa dua kali lipat. Hasilnya adalah penambahan mata pelajaran yang diujikan. Penyakit ritual kompulsif UN menjadi kian membabi buta dan tidak tersembuhkan.

Pengalaman pasca-UN juga menjerumuskan dunia pendidikan pada jebakan teknokrasi, yaitu meredusir ketidakadilan sosial dan perbedaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama menjadi sekadar kalkulasi teknis dan hitung-hitungan nilai UN di mana satu-satunya tanggung jawab ditimpakan pada dunia pendidikan. Menimpakan kebobrokan pendidikan dengan menuduh para guru tidak becus adalah cara termudah dan murah! Maka, kebodohan itu terjadi bukan karena kemiskinan atau buruknya pelayanan gizi dan kesehatan, tetapi karena kesalahan guru di sekolah. Negara lepas tangan adalah jalan paling ringan.

Rasionalitas inspiratif

Usaha pembaruan pendidikan akan melemparkan kita pada sebuah perjalanan padang gurun jika inspirasi, visi, dan rasionalitas ditinggalkan. Usaha mencari jalan pintas untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara lari cepat jarak pendek hanya membuat dunia pendidikan kita kian terengah-engah, kehabisan daya, bahkan bisa mati kehausan di tengah jalan sebelum mencapai garis akhir dalam ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Suatu saat Mahatma Gandhi berkata, ”Speed is irrelevant if you are going in the wrong direction.” Kita salah jalan jika masih percaya, satu-satunya cara memetakan mutu satuan pendidikan adalah dengan mengadakan UASBN ataupun UN.

Logika mengatakan, ada cara lain yang lebih sistematis, praktis, dan ekonomis serta tidak mengorbankan tujuan pendidikan jangka panjang. Bukan melalui sensus, tetapi percontohan. Lebih dari itu, pembaruan dunia pendidikan akan lestari jika jalan-jalan perbaikan dipandu rasionalitas dan inspirasi tiada henti, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hari ini.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Artikel ini dikutip di:
1. Pemetaan Pendidikan Melalui UN (Padang Express)

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Thursday 21 February 2008

Waspadai Para Penelikung Konstitusi!!!

Target Akhir Mengubah Konstitusi

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan uji materi Pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas sungguh-sungguh telah melukai hati rakyat. Drama Anggaran ini sudah tidak lucu lagi.

Permainan kata-kata kosong tidak ada artinya telah difatwakan oleh Mahkamah Konstitusi yang semestinya bertugas menjaga jiwa dan tujuan Undang-Undang Dasar 1945.

Tapi itulah realitas busuk politik pendidikan kita saat ini.

Pemerintah akan senang dengan keputusan ini, sebab itulah yang telah direncanakan sejak awal.

Kepada seluruh rakyat Indonesia yang mencintai dunia pendidikan, saya Anda harap tidak putus asa, tapi berusaha dengan cara kita masing-masing memajukan dunia pendidikan.

Inilah akhir dari Drama Anggaran Pendidikan itu. Inilah permainan politik.

Apa artinya keputusan MK itu bagi perbaikan pendidikan di Indonesia?

TIDAK ADA. Sama sekali TIDAK ADA.

Siapa yang diuntungkan dalam keputusan MK itu?

Yang diuntungkan pertama adalah pemerintah yang telah lama dikritik dan dikecam karena tidak memenuhi anggaran konstitusi. Memasukkan gaji pendidik dalam Anggaran Pendidikan hanya akan membesarkan angka anggaran tapi NOL perubahan.
Pemerintah bisa mulai berseloroh, “Kami telah hampir memenuhi amanat Konstitusi!” Suara lantang itu tidak ada artinya, sebab tidak ada perubahan sama sekali! Itu semua adalah OMONG KOSONG!

Yang akan diuntungkan kedua adalah calon presiden dari partai politik yang akan berusaha meraih suara pada pemilu 2009. Mereka yang akan menguasai eksekutif akan mewarisi aturan ini dan mereka akan dengan pongah mengatakan bahwa “Kami telah mematuhi konstitusi.” Tapi itu semua tidak ada artinya.

Siapa yang dirugikan?

Dunia pendidikan dan masa depan pendidikan di Indonesia. Anggaran 20 persen yang bisa dipakai untuk memperbaiki sekolah kita yang telah roboh dan membantu mereka yang miskin untuk sekolah semakin berkurang. Besaran angka 20 presen itu tidak ada artinya apapun jika hanya menggeser pos anggaran belanja pendidik pada anggaran pendidikan.

Apa yang dapat dibaca dari Keputusan MK Ini?

Pertama, telikung konstitusi telah terjadi lagi. Namun sekarang melibatkan sebuah lembaga terhormat penjaga Konstitusi. Jika MK sebagai lembaga pengawal konstitusi tidak memandang bahwa uji materi ini sesungguhnya hanya drama politik, masa depan demokrasi kita akan semakin suram. Jika mereka yang menjaga Konstitusi tidak lagi membela rakyat yang menjadi pemilik utama bangsa ini, rakyat menjadi yatim piatu. Akhirnya kita sendirian yang mesti mempertahankan harkat dan martabat kita.

Kedua, nuansa kolusi sangat kentara dalam proses pengajuan uji materi anggaran ini. Pemerintah tidak akan mungkin mengajukan uji materi karena mereka yang mengusulkan UU itu bersama DPR. Dulu ketika mereka berencana mengajukan uji materi, rakyat sang terdidik segera mengkritiknya, "Buruk muka cermin dibelah!" Maka ide Uji Materi tidak pernah mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan cara bahwa harus ada orang lain yang mengajukannya, yaitu, guru dan dosen sendiri. Maka ditemukanlah strategi busuk ini. Datanglah Ibu guru dan Bapak Dosen yang dari negeri jauh yang merasa diri mewakili para dosen dan guru, juga mewakili jeritan hati rakyat. Mereka itu bukan mewakili kita, tetapi mewakili kepentingan tertentu yang sudah bisa kita tebak.

Ketiga, MK memproklamasikan diri menjadi lembaga yang tidak KREDIBEL, yang tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat, yang menafsirkan semangat KONSTITUSI hanya dari persoalan formal, namun tidak memahami ISI dan JIWA dalam semangat KONSTITUSI. Selan itu, mereka sama sekali tidak paham apa makna perjuangan para pahlawan yang gugur, dan apa cita-cita SOEKARNO dan HATTA sebagai bapak Bangsa dalam membentuk negara ini.

Keempat, MK juga telah MENGKHIANATI semangat REFORMASI yang telah menelan ratusan jiwa mahasiswa dan rakyat jelata. UU Sisdiknas dibuat masih dalam semangat reformasi itu, maka ditulislah 20 persen anggaran pendidikan itu tanpa menyertakan gaji guru dan biaya kedinasa, karena gaji guru yang dimaksud itu mengacu pada gaji guru yang pegawai negeri yang sesungguhnya masuk dalam anggaran rutin.

Rencana Besar tersembunyi

Saya melihat ada rencana busuk tersembunyi untuk merongrong KONSTITUSI dan MENYELEWENGKAN lagi Semangat REFORMASI. Apa itu?

Kemenangan uji materi MK ini hanyalah langkah awal. Para politisi korup yang ada di parlemen juga sedang merencanakan BABAK II dari DRAMA ANGGARAN ini. Setelah, mereka berhasil menggagalkan UU SISDIKNAS yang dibentuknya sendiri, langkah panjang mereka adalah ini:

“MENGHAPUSKAN MUATAN KATA-KATA ANGGARAN 20% TENTANG PENDIDIKAN SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM KONSTITUSI”

Kita tahu, sekarang demokrasi kita telah diselewangkan menjadi demokrasi parlemen yang didasarkan pada jumlah tanda tangan wakil rakyat, yang sesungguhnya tidak mewakili rakyat. Di masa lalu, untuk mengubah Konstitusi harus dilakukan REFERENDUM oleh rakyat. Tapi sekarang Konstitusi bisa diganti hanya dengan tanda tangan wakil rakyat. Demokrasi macam ini jelas menciderai partisipasi rakyat. Sistem ini bisa membawa negara kita pada totalitarianisme bentuk baru, berupa totalotarianisme parlementer. Siapa yang kuat bayar buat anggota parlemen, dia bisa memperoleh keadilan dan hukum!

Maka, mulai sekarang saya mengajak seluruh warga negara Indonesia yang cinta pada bangsa dan negara, terutama mereka yang prihatin pada dunia pendidikan untuk menjaga dan memperhatikan gejala ini. Wacana anggaran ini akan dipungkasi dengan usaha menghapus angka 20 persen itu dari KONSTITUSI SENDIRI. Namun lebih dari itu, sikap kritis terhadap setiap penggunaan anggaran negara mesti kita awasi.Meskipun hal ini tidak mudah, namun kita perlu berusaha terus untuk menyelamatkan uang rakyat itu.

Memang, kita tidak dapat lagi mengandalkan wakil rakyat yang moralnya bejat. Kita tidak dapat lagi mengandalkan gerbang keadilan terakhir yaitu MAHKAMAH KONSTITUSI. Kitalah yang mesti mempertahankan martabat kita sendiri dan mengusahakan sekuat tenaga untuk mengkritisi para wakil rakyat yang TIDAK PERNAH mewakili RAKYAT.

Saya salut kepada Anggota MK yang mengajukan disenting opinion, sebab ANDA merupakan JIWA, NURANI, dan SUARA HATI RAKYAT. Namun, suara anda kalah, karena DEMOKRASI di negeri ini dipahami secara picik sekedar menang-menangan kekuatan angka, tanpa mau masuk esensi terdalamnya, yaitu menghargai kekuatan rakyat dan memahami kembali tujuan dasar didirikannya negeri ini.

Jika demokrasi dipahami seperti ini, kelompok mayoritas memiliki legitimasi dalam menindas siapapun yang hidup di negeri ini, terutama terhadap kelompok yang minoritas dan kecil. Demokrasi seperti ini bukanlah demokrasi yang digagas para pendiri bangsa yang justru menghargai dan melindungi mereka yang lemah.

Bangsa ini, merunduk sedih, mengurai air mata, karena penjaga jiwa-jiwa rakyatnya telah tiada…

Doni Koesoema A
Rakyat biasa yg berduka

Baca: DRAMA ANGGARAN PENDIDIKAN

Friday 15 February 2008

Pengangguran Intelektual

Doni Koesoema A


Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas kehidupan. Mengangkat kembali wacana entrepeneurship dan menggemakan lagi wacana link and match, hanya akan merupakan kebijakan tambal sulam jika pemerintah tidak segera menyadari bahwa kebijakan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, yang menjadi fondasi bagi kualitas pendidikan tinggi, lebih banyak mematikan kreatifitas dan memandulkan daya cipta guru maupun siswa.

“Kita hidup dalam sebuah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas (ingenuity). Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini; kalau tidak, masyarakat dan bangsa akan ditinggalkan.” (Andy Hargreaves, 2003).

Hargreaves tepat membidik dua hal yang seringkali dilupakan dalam pembaharuan pendidikan. Pertama, ekonomi pengetahuan pertama-tama melayani kebaikan individu (private good). Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum (public good). Sekolah semestinya mempersiapkan anak didik untuk keduanya.

Namun sebagaimana perilaku di balik logika kapitalis, ekonomi pengetahuan juga memelihara daya-daya kreatif yang merusak. Ia merangsang pertumbuhan dan kemakmuran, namun serentak gelojoh dalam memburu keuntungan dan kepentingan pribadi, serta menghancurakan keteraturan sosial. Karena itu, sekolah sebagai lembaga publik mestinya mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan empati pada komunitas yang mampu meredam perilaku tamak kapitalisme.

Sayangnya, alih-alih mengembangkan kreatifitas dan menumbuhkan daya cipta, sistem pendidikan kita tanpa disadari lebih suka memaksakan kurikulum manajemen mikro secara seragam. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mestinya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreatifitas, menumbuhkan kemampuan kemampuan memecahkan persoalan dan menanggapi persoalan baru secara cerdas tetap terpasung dalam rubrik Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralistis.

Alih-alih mengembangkan misi solidaritas dan empati terhadap komunitas, kebijakan pendidikan kita memosisikan guru dan siswa sekedar terampil menjawab soal pilihan ganda. Usaha meraih mutu tinggi bagi pendidikan berubah menjadi obsesi kompulsif akan standardisasi.

Kebanggaan semu

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sesungguhnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai sekedar anjing pavlov. Mereka giat mengajar dan belajar karena ada stimulus dari luar. Padahal dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan. Jika pendidikan merupakan pemanusiaan, logika anjing pavlov harus dijauhkan dari kinerja pendidikan kita!

Situasi ini diperparah dengan banyaknya sekolah publik yang masih megap-megap, sekedar untuk mencukupi biaya operasional, diisi oleh para guru yang dibayar rendah, sekedar mengikuti SKL dan SI yang sifatnya sangat sentralistis, dan hanya mengajar siswa agar dapat lolos UN. Hampir tidak ada ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Juga tidak akan pernah lahir motivasi internal mengajar dan belajar yang dibutuhkan bagi berkembangnya kreatifitas dan innovasi.

Pembelajaran autentik

Kita bisa mengembangkan investasi tinggi dalam pendidikan dengan cara menciptakan sebuah sistem pendidikan yang memiliki visi jauh ke depan dan peka akan dinamika masyarakat. Guru semestinya diberi ruang kebebasan agar dapat meningkatkan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran autentik yang menumbuhkan kreatifitas dan daya cipta.

Mengusung kembali wacana entrepreunership dan matching dunia pendidikan dengan dunia kerja, tanpa disertai perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan hanya akan memiskinkan kemanusiaan. Dua wacana ini semakin mengukuhkan bahwa siswa hanyalah satu sekrup dari roda besar mesin uang kapitalisme. Pendidikan tidak dipahami sebagai sarana pemanusiaan dan pembudayaan melainkan sistem prosedur untuk menyortir orang berdasarkan keahlian.

Jika selama menjalani masa pendidikan siswa tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami semangat belajar tinggi karena tumbuhnya motivasi internal belajar, jangan pernah kita berharap bahwa semangat kewirausahaan itu pun akan tumbuh. Jangan pernah berharap bahwa kreatifitas dan inovasi itu akan hadir dalam diri generasi muda intelektual kita.

Cermin bagi pemerintah

Pengangguran intelektual semestinya menjadi cermin bagi pemerintah untuk berkaca dan berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang secara sistemik mematikan kreatifitas dan inovasi.

Pendidikan akan mampu menciptakan lulusan yang kreatif, penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan persoalan, melainkan kompeten dalam menjawab tantangan jaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka dibekali pengalaman untuk itu. Pengalaman seperti ini sulit tercapai jika kurikulum tetap diikat dari pusat, dan siswa tidak pernah mengalami pembelajaran kontekstual sejak dini. Asumsi dasar dibalik UN adalah dekontekstualisasi pengetahuan.

Kreatifitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa merdeka yang memiliki motivasi internal dalam belajar. Kreatifitas dan inovasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa udara, sebagaimana soal-soal UN. Kemampuan ini bertumbuh seiring dengan dialog dan perjumpaan individu dalam membumikan pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas masyarakat. Kebijakan UN yang berlaku sejak tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menangah Atas hanya akan mempersiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tapi tidak mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka yang menjadi pengangguran.

Doni Koesoema A. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Harian KOMPAS, 15 Februari 2008

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Thursday 24 January 2008

Drama Anggaran Pendidikan

Rabu, 23 januari 2008 03:12 WIB
Doni Koesoema A

Ketidakmampuan pemerintah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat UUD 1945 merupakan sebuah pelanggaran konstitusional yang telanjang. Apa pun alasan yang diberikan pemerintah tidak dapat menghapuskan kenyataan, pemerintah telah melanggar konstitusi. Atas pelanggaran ini, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memberi peneguhan.

Uji materi Pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas oleh MK yang diajukan dua pemohon, Dra Hj Rahmatiah Abbas dan Prof Dr Badriyah Rifai, SH, dalam kapasitasnya sebagai guru dan dosen harus dipahami dalam konteks politik anggaran yang melingkupinya.

Jika diteropong dari konflik kepentingan yang melingkupinya, uji materi ini hanya bagian kecil dari drama besar yang akhir ceritanya bisa diterka, yaitu kekalahan di pihak pemerintah, persoalan anggaran 20 persen lebih kurang terselesaikan karena anggaran akan memasukkan gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun, akibatnya, dunia pendidikan kita akan menjalani masa-masa yang kian suram dan kesejahteraan pendidik akan semakin jauh dari harapan.

Memenuhi amanat konstitusi merupakan tantangan politik yang dihadapi pemerintah, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang. Karena itu, pemerintah akan mengupayakan agar perilaku politik anggaran pendidikan yang selama ini menyimpang bisa dipecahkan.
Namun, alih-alih membuat kebijakan politik anggaran yang selaras konstitusi dengan memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, pemerintah mencoba mencari cara lebih halus, elegan, dan tidak mencolok.

Kekeliruan dalam pasal UU?

Masalah pelanggaran konstitusi tidak dicari dengan meneliti kembali komitmen politik terhadap rakyat, sebaliknya melalui berbagai macam agen sosial (guru, dosen, media, dan lainnya) pemerintah telah setahun ini mendiseminasi opini publik bahwa masalah anggaran bukan karena lemahnya komitmen politik pemerintah, tetapi karena ada kekeliruan pasal UU Sisdiknas.
Corong diseminasi opini publik adalah pakar hukum, dosen, guru, dan media. Mereka menyuarakan wacana antianggaran 20 persen dengan berbagai argumentasi. ”Besaran 20 persen tidak sesuai realitas politik negara kita”; ”Pencantuman 20 persen bukan muatan UUD” (Kompas, 5/5); ”Memasang angka dalam UUD kurang tepat. Seharusnya UUD memuat ketentuan yang konseptual filosofis, bukan angka-angka teknis” (Kompas, 20/8); dan ”Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas merupakan ketidakkonsistenan terhadap pengakuan guru sebagai bagian sistem pendidikan” (Kompas, 13/12).

Diseminasi opini publik seperti ini merupakan bagian drama besar anggaran pendidikan. Untuk sementara, pemerintah memilih menjadi tokoh protagonis dengan mengatakan, uji materi atas Pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas tak mungkin diadakan. UU Sisdiknas adalah hasil kerja pemerintah dan DPR karena pemerintah tidak mungkin mengajukan uji materi atasnya.

Agar drama anggaran kian seru dan menegangkan, perlu ada aktor lain. Pendaftaran untuk uji materi oleh MK dengan nomor perkara 24/PUU-V/2007, 21 September 2007, atas Pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas, yang dimohonkan oleh Rahmatiah Abbas dan Badriah Rifai, dalam kapasitasnya sebagai guru dan dosen, merupakan babak baru drama besar tentang anggaran ini.

Mengingat kentalnya kepentingan politik di balik uji materi ini, sulit bagi kita memahami kehadiran Rahmatiah Abbas (guru dengan pangkat Pembina golongan IV/a, dengan jabatan Pengawas TK SD Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dan Badriah Rifai (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) dalam drama anggaran pendidikan ini sebagai aktor dadakan yang tiba-tiba hadir di luar skenario.

Selain itu, seperti dalam drama, peran tiap aktor juga bisa dilihat dari karakternya. Dalam risalah sidang 28 November 2007 terlihat, pemerintah yang diwakili Mendiknas terkesan tidak siap. Ketika dicecar dengan pertanyaan lain oleh hakim MK seputar inkonsistensi peristilahan, seperti anggaran pendidikan dan dana pendidikan, juga tentang proses terjadinya RUU Sisdiknas, dan lainnya, pemerintah terkesan tidak mampu menjawab dengan cermat dan melempar pertanyaan agar dijawab anggota DPR.

Menarik mencermati bahwa dalam risalah sidang 28 November 2007, Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, ”pemerintah bukan pihak yang diadili di sini. Hanya memberi keterangan, yang kita adili undang-undangnya. Kalau undang-undangnya salah kita hukum undang-undang-nya bukan yang membuatnya.”

Apakah ini pertanda bahwa MK akan meluluskan pemohon, yang sebenarnya sejak awal menjadi agenda pemerintah, yaitu agar gaji pendidik dimasukkan ke anggaran sehingga pemerintah bisa berdalih, kini pemerintah hampir memenuhi anggara 20 persen karena penambahan itu?

Reposisi anggaran

Reposisi anggaran merupakan wacana baru yang diajukan pemerintah terkait anggaran ini. Wacana itu sebenarnya ingin mengatakan hal yang sama bahwa pemerintah ingin anggaran 20 persen dalam APBN dan APBD memasukkan gaji pendidik di dalamnya.

Wacana itu tidak memecahkan masalah pendidikan karena persoalan pokoknya adalah tidak ada niat politik untuk melaksanakan amanat konstitusi. Lebih lagi, pemerintah tidak berniat memprioritaskan pembangunan pendidikan nasional. Ini masalah dasar yang seharusnya dijawab pemerintah, bukan malah lari dari tanggung jawab melalui reposisi anggaran.

Mempertaruhkan kredibilitas

Sutradara adalah penguasa panggung. Dalam drama ini, MK memiliki kuasa yang sama. Karena itu, kredibilitas MK dipertaruhkan dalam drama anggaran pendidikan ini. Lebih dari itu. MK bukan hanya mempertaruhkan kredibilitasnya, ia juga mempertaruhkan masa depan bangsa, masa depan jutaan rakyat miskin yang belum dapat mengenyam pendidikan yang layak.
MK sedang mempertaruhkan kredibilitasnya apakah keputusannya lebih memihak politisi yang suka ingkar janji dengan melanggar konstitusi, atau tetap paham bahwa tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak memasukkan gaji pendidik dalam anggaran 20 persen UU Sisdiknas merupakan indikasi keseriusan wakil rakyat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengalokasikan anggaran bagi pendidikan sebagai prioritas utama.

Drama anggaran pendidikan belum berakhir. Rakyat menunggu dengan rasa waswas. Lebih lagi, bangsa ini sudah bosan menyaksikan drama yang akhir ceritanya sudah bisa diduga.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Monday 3 December 2007

Ketidakadilan dalam Pendidikan

Doni Koesoema A
Kritik bertubi-tubi itu sepertinya tidak mempan. Putusan pengadilan yang memenangkan tuntutan korban ujian nasional, protes guru, demo pelajar menolak UN, dan efek samping UN rupanya tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.

Lebih dari itu, pemerintah sebagai wakil rakyat bersikukuh melaksanakan UN etika kewarganegaraannya dipertanyakan sebab kebijakan itu melanggengkan praksis ketidakadilan dan melestarikan kebijakan pendidikan yang cacat secara moral.

Kegagalan dalam UN berarti tinggal kelas, mengulang setahun, atau penundaan masuk perguruan tinggi karena harus mengikuti ujian persamaan; ini memastikan setiap siswa telah memiliki kesempatan belajar yang sama dan mampu membuktikan apa yang dipelajari merupakan tolok ukur pasti.

Kesempatan belajar

Gagasan persamaan kesempatan belajar terkait ide akuntabilitas pendidikan. Akuntabilitas pendidikan bertujuan menilai dan memastikan, para siswa telah mengalami proses belajar secara adekuat sehingga mampu mengerjakan ujian standar. Premis dasar akuntabilitas pendidikan adalah jika semua siswa wajib mencapai patokan standar yang sama, mereka harus mendapat kesempatan belajar yang sama.

Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar memberi metode pengajaran berkualitas, materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.

UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa jelas akan memengaruhi kehidupan individu siswa. Karena UN memiliki dampak besar terhadap individu, ia harus memenuhi standar kelayakan evaluasi yang menghargai hak-hak individu.

Standar ini mensyaratkan adanya orientasi pelayanan, dengan evaluasi didesain sedemikian rupa sehingga membantu organisasi atau individu agar dapat melayani kepentingan peserta yang tercakup dalam target evaluasi, menjaga agar evaluasi dilakukan secara sah/legal, memenuhi standar moral, menghormati kesejahteraan mereka yang terlibat dalam evaluasi. Untuk menjaga kepentingan individu yang terlibat, evaluasi semestinya didesain agar melindungi hak-hak dan memberi kesejahteraan kepada individu itu.

Evaluasi pendidikan harus ada. Namun, UN yang tidak menjaga kepentingan dan memberi kesejahteraan kepada individu yang terlibat perlu dipertimbangkan ulang. Saat negara mengharuskan setiap siswa lulus UN (jika gagal akan mengalami penghinaan publik, dicap bodoh), tetapi gagal menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi siswa, kebijakan seperti ini hanya melestarikan tumbal-tumbal UN, tidak memberi kesejahteraan kepada individu, sebaliknya justru menghina individu di depan publik secara berkelanjutan. Karena itu, kebijakan pendidikan seperti ini tidak memiliki kredibilitas moral.

Ketidakadilan tingkat dasar

Perbedaan sarana dan prasarana pendidikan di kota besar, di pedesaan, dan daerah terpencil amat mencolok. Kita lihat anak-anak belajar di ruang kelas seperti kandang ayam atau di bangunan yang hampir roboh. Tidak nyaman. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang memengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar.

Dengan ketimpangan kesempatan belajar seperti ini, apakah pemerintah (pusat atau daerah) bisa menjamin pelecehan dan penghinaan publik atas individu tidak terjadi dengan memaksakan UN?

Jika kesempatan belajar yang sama itu telah ada dan siswa secara faktual menunjukkan telah belajar, tidak akan ada siswa yang tidak lulus. Namun, apa faktanya? Dalam setiap UN masih banyak siswa tidak lulus. Mereka tidak lulus karena lingkungan sosial dan sekolah tidak memberi kesempatan belajar yang sama.

Di balik agenda ujian

Logika baik di balik agenda ujian dan akuntabilitas pendidikan adalah setiap anak dapat kesempatan belajar yang sama, terbukti dengan praksis pengalaman belajar itu sendiri. Logika ini menuntut negara memberi layanan pendidikan berkualitas.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk memberi kesempatan belajar, terutama terhadap mereka yang tidak memiliki akses belajar. Tanpa perubahan kualitas layanan pendidikan, anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah miskin akan tersingkirkan. Mereka terancam tidak lulus secara berkelanjutan dan penghinaan publik yang diterimanya akan semakin besar.

Tidak mengherankan jika anak-anak yang tidak lulus UN ada yang memilih tidak mengulang, putus sekolah, karena tidak ingin martabatnya diinjak-injak dua kali. Jika ini terjadi terhadap siswa SD, kebijakan pendidikan kita benar-benar immoral sebab secara sengaja membiarkan anak-anak ini diinjak-injak martabatnya dan hancur masa depannya.

Melaksanakan kebijakan UN, apa pun bentuknya, dan memaksa anak untuk lulus, tetapi pemerintah gagal menyediakan akses dan kesempatan pendidikan yang sama merupakan kebijakan politik yang melanggar keadilan sosial. Lebih dari itu, membiarkan anak didik mengalami penghinaan publik berkelanjutan karena dipaksa gagal merupakan kebijakan politik pendidikan yang immoral dan tidak bertanggung jawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di harian KOMPAS, 29 November 2007.

Friday 23 November 2007

Batas Tanggungjawab Pendidik

Doni Koesoema A
Kekerasan yang terus menerus terjadi dalam dunia pendidikan sudah sampai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Sadisme dalam Kasus IPDN, penculikan Raisah, premanisme di SMA PL seolah belum cukup bagi para pendidik untuk bercermin. Kini kriminalitas itu terjadi lagi, kali ini di sekolah negeri, lebih tertata dan terorganisasi. Tamparan demi tamparan itu semestinya membuat kita bertanya di mana batas tanggungjawab kita sebagai pendidik?

Kerancuan akan makna tanggungjawab sebagai pendidik akan tetap melestarikan kultur kekerasan di dalam sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus IPDN, mungkin batas tanggungjawab itu jelas, sebab kekerasan terjadi di dalam pagar kampus. Namun bagaimana dengan kasus penculikan Raisah? Bagaimana dengan kekerasan di PL? Bagaimana sekarang menyikapi kasus Geng di SMA 34? Apakah memang batas-batas tanggungjawab sebagai pendidik itu sudah sangat jelas sehingga pagar kampus dan pagar sekolah menjadi definisi bagi tanggungjawab setiap pendidik? Bisakah kita sebagai pendidik mengatakan bahwa kasus penculikan dan premanisme di PL itu terjadi di luar pagar sekolah, sehingga pendidik tidak bertanggungjawab dengan alasan tindakan kriminal adalah urusan polisi?

Batasan moral

Yang membatasi definisi tanggungjawab seorang pendidik bukanlah pagar sekolah. Batasan morallah yang menjadi definisi esensial bagi tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Karena itu, entah di dalam pagar sekolah maupun di luar sekolah, para pendidik tetap memiliki tanggungjawab moral untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ketika moralitas menjadi dasar yang mendefinisikan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, maka dua jenis orientasi tanggungjawab menjadi bagian penting dari kinerjanya.

Pertama, pendidik mengidentifikasikan tanggungjawab melalui prinsip dasar tidak melakukan tindakan yang merusak (doing no harm). Prinsip tanggungjawab ini sifatnya ex post facto. Ini berarti bahwa pendidik bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Karena itu, ia mesti mengevaluasi terus menerus apakah keputusan dan tindakan yang telah dilakukannya memiliki dampak merusak, baik itu dari segi moral, mental dan fisik (Jonsen, 1968; Starrats, 2004). Membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkup sekolah sama saja menyetujui tindakan merusak.

Kedua, pendidik melangkah dari prinsip doing no harm menuju proactive responsibility. Ini berarti bahwa pendidik mesti menemukan niat-niat baik yang secara kelembagaan ingin direalisasikan demi berlangsungnya kinerja pendidikan, seperti, kualitas pembelajaran, relasi yang sehat antar individu sebagai warga negara, dll. Cakupan tanggungjawab yang demikian ini sifatnya antisipatif sebab terjadi sebelum tindakan itu sendiri (ex ante facto).

Dua orientasi moral atas tanggungjawab pendidik ini menuntut mereka untuk senantiasa menyadari sumber-sumber yang melahirkan tanggungjawab mereka selama ini. Jika dipahami melalui batasan moral, maka tanggungjawab pendidik bukanlah sekedar tugas-tugas yang secara formal didefinisikan melalui job descriptions lembaga, melainkan merupakan tanggungjawab penuh dirinya sebagai individu yang sekaligus secara formal adalah pendidik. Di sini memisahkan batas tanggungjawab antara sekolah dan masyarakat merupakan pengingkaran tanggungjawab moral diri sebagai pendidik.

Jika pemahaman akan tanggungjawab ini dipahami, pendidik tidak akan serta merta mengatakan bahwa kasus penculikan Raisah adalah urusan polisi, dan kekerasan senior PL atas yuniornya yang terjadi di luar batas sekolah bukanlah tanggungjawab sekolah. Kekerasan di SMA 34 terjadi karena pendidik melupakan tanggungjawab moralnya sehingga perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah lepas dari cakupan tanggungjawabnya sebagai pendidik.

Para pendidik memiliki tanggungjawab secara moral untuk menciptakan sebuah iklim yang menghargai individu di manapun mereka berada. Jika kultur kekerasan ternyata ada di sekolah, sementara pihak sekolah membiarkan semua itu terjadi terus menerus, tanggungjawab moral mereka sebagai pendidik dipertanyakan. Jika kita sering berteriak lantang tentang krisis moral para pemimpin kita, apakah kita sebagai pemimpin pendidikan juga telah merefleksikan cakupan tanggungjawab moral kita dalam kasus maraknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan?

Tiga jenis tanggungjawab

Para pendidik mestinya memahami bahwa tanggungjawab itu bukan sekedar jenis tanggungjawab terhadap (responsibility to), yang secara sempit di definisikan secara formal melalui struktur kelembagaan, seperti, tanggungjawab terhadap siswa, orang tua para staf guru, melainkan juga tanggungjawab untuk (responsibility for), yaitu tanggungjawab untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang aman, nyaman dan teduh bagi berlangsungnya proses pembelajaran.

Lebih dari itu, para pendidik sesungguhnya memiliki tanggungjawab sebagai (responsibility as), yaitu, sebuah esensi tanggungjawab berdasarkan keluasan identitas dirinya. Pendidik bertanggungjawab sebagai sesama manusia, karena itu apa saja yang berkaitan dengan promosi kebaikan, keadilan, kehidupan dan penghargaan martabat manusia merupakan bagian dasar dari tanggungjawabnya.

Selain itu, pendidik bertanggungjawab sebagai administrator sekolah, yang menjaga agar visi kelembagaan tetap pada garis cita-citanya. Pendidik juga bertanggungjawab sebagai warganegara yang kebetulan menjadi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dll. Tanggungjawabnya sebagai warga negara inilah yang membuat dirinya sebagai pendidik tidak dapat memisahkan cakupan kinerjanya sekedar dalam batasan formal-struktural tanggungjawabnya, apalagi batasan fisik tanggungjawab berdasarkan batas pagar sekolah.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di dalam lingkup sekolah akan berkurang jika pendidik memahami lingkup tanggungjawabnya secara utuh. Namun kekerasan dalam sekolah akan terus terjadi dan tetap akan menampar tanggungjawab kita sebagai pendidik jika batasan tanggungjawab kita sebagai pendidik kita pahami sekedar batasan pagar sekolah.

Perilaku kekerasan itu dapat terkikis jika pendidik menyadari tanggungjawab moralnya. Batas tanggungjawab pendidik adalah nilai-nilai moral, yaitu, menghindari tindakan dan kebijakan yang merusak dan mengejar nilai-nilai kebaikan. Jika nilai-nilai moral itu bukan menjadi batas yang mendefinisikan tanggungjawab kita sebagai pendidik, kekerasan itu akan tetap terjadi dalam lembaga pendidikan kita.

Kita tahu, krisis kepemimpinan moral telah kronis menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita. Namun jangan-jangan kita tidak pernah menyadari bahwa yang melahirkan mereka adalah kita sendiri, para pendidik negeri yang memahami batas tanggungjawabnya sekedar pada batasan pagar sekolah.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Media Indonesia, Kamis, 22 November 2007

Pendidikan Keagamaan