Friday 23 November 2007

Batas Tanggungjawab Pendidik

Doni Koesoema A
Kekerasan yang terus menerus terjadi dalam dunia pendidikan sudah sampai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Sadisme dalam Kasus IPDN, penculikan Raisah, premanisme di SMA PL seolah belum cukup bagi para pendidik untuk bercermin. Kini kriminalitas itu terjadi lagi, kali ini di sekolah negeri, lebih tertata dan terorganisasi. Tamparan demi tamparan itu semestinya membuat kita bertanya di mana batas tanggungjawab kita sebagai pendidik?

Kerancuan akan makna tanggungjawab sebagai pendidik akan tetap melestarikan kultur kekerasan di dalam sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus IPDN, mungkin batas tanggungjawab itu jelas, sebab kekerasan terjadi di dalam pagar kampus. Namun bagaimana dengan kasus penculikan Raisah? Bagaimana dengan kekerasan di PL? Bagaimana sekarang menyikapi kasus Geng di SMA 34? Apakah memang batas-batas tanggungjawab sebagai pendidik itu sudah sangat jelas sehingga pagar kampus dan pagar sekolah menjadi definisi bagi tanggungjawab setiap pendidik? Bisakah kita sebagai pendidik mengatakan bahwa kasus penculikan dan premanisme di PL itu terjadi di luar pagar sekolah, sehingga pendidik tidak bertanggungjawab dengan alasan tindakan kriminal adalah urusan polisi?

Batasan moral

Yang membatasi definisi tanggungjawab seorang pendidik bukanlah pagar sekolah. Batasan morallah yang menjadi definisi esensial bagi tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Karena itu, entah di dalam pagar sekolah maupun di luar sekolah, para pendidik tetap memiliki tanggungjawab moral untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ketika moralitas menjadi dasar yang mendefinisikan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, maka dua jenis orientasi tanggungjawab menjadi bagian penting dari kinerjanya.

Pertama, pendidik mengidentifikasikan tanggungjawab melalui prinsip dasar tidak melakukan tindakan yang merusak (doing no harm). Prinsip tanggungjawab ini sifatnya ex post facto. Ini berarti bahwa pendidik bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Karena itu, ia mesti mengevaluasi terus menerus apakah keputusan dan tindakan yang telah dilakukannya memiliki dampak merusak, baik itu dari segi moral, mental dan fisik (Jonsen, 1968; Starrats, 2004). Membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkup sekolah sama saja menyetujui tindakan merusak.

Kedua, pendidik melangkah dari prinsip doing no harm menuju proactive responsibility. Ini berarti bahwa pendidik mesti menemukan niat-niat baik yang secara kelembagaan ingin direalisasikan demi berlangsungnya kinerja pendidikan, seperti, kualitas pembelajaran, relasi yang sehat antar individu sebagai warga negara, dll. Cakupan tanggungjawab yang demikian ini sifatnya antisipatif sebab terjadi sebelum tindakan itu sendiri (ex ante facto).

Dua orientasi moral atas tanggungjawab pendidik ini menuntut mereka untuk senantiasa menyadari sumber-sumber yang melahirkan tanggungjawab mereka selama ini. Jika dipahami melalui batasan moral, maka tanggungjawab pendidik bukanlah sekedar tugas-tugas yang secara formal didefinisikan melalui job descriptions lembaga, melainkan merupakan tanggungjawab penuh dirinya sebagai individu yang sekaligus secara formal adalah pendidik. Di sini memisahkan batas tanggungjawab antara sekolah dan masyarakat merupakan pengingkaran tanggungjawab moral diri sebagai pendidik.

Jika pemahaman akan tanggungjawab ini dipahami, pendidik tidak akan serta merta mengatakan bahwa kasus penculikan Raisah adalah urusan polisi, dan kekerasan senior PL atas yuniornya yang terjadi di luar batas sekolah bukanlah tanggungjawab sekolah. Kekerasan di SMA 34 terjadi karena pendidik melupakan tanggungjawab moralnya sehingga perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah lepas dari cakupan tanggungjawabnya sebagai pendidik.

Para pendidik memiliki tanggungjawab secara moral untuk menciptakan sebuah iklim yang menghargai individu di manapun mereka berada. Jika kultur kekerasan ternyata ada di sekolah, sementara pihak sekolah membiarkan semua itu terjadi terus menerus, tanggungjawab moral mereka sebagai pendidik dipertanyakan. Jika kita sering berteriak lantang tentang krisis moral para pemimpin kita, apakah kita sebagai pemimpin pendidikan juga telah merefleksikan cakupan tanggungjawab moral kita dalam kasus maraknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan?

Tiga jenis tanggungjawab

Para pendidik mestinya memahami bahwa tanggungjawab itu bukan sekedar jenis tanggungjawab terhadap (responsibility to), yang secara sempit di definisikan secara formal melalui struktur kelembagaan, seperti, tanggungjawab terhadap siswa, orang tua para staf guru, melainkan juga tanggungjawab untuk (responsibility for), yaitu tanggungjawab untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang aman, nyaman dan teduh bagi berlangsungnya proses pembelajaran.

Lebih dari itu, para pendidik sesungguhnya memiliki tanggungjawab sebagai (responsibility as), yaitu, sebuah esensi tanggungjawab berdasarkan keluasan identitas dirinya. Pendidik bertanggungjawab sebagai sesama manusia, karena itu apa saja yang berkaitan dengan promosi kebaikan, keadilan, kehidupan dan penghargaan martabat manusia merupakan bagian dasar dari tanggungjawabnya.

Selain itu, pendidik bertanggungjawab sebagai administrator sekolah, yang menjaga agar visi kelembagaan tetap pada garis cita-citanya. Pendidik juga bertanggungjawab sebagai warganegara yang kebetulan menjadi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dll. Tanggungjawabnya sebagai warga negara inilah yang membuat dirinya sebagai pendidik tidak dapat memisahkan cakupan kinerjanya sekedar dalam batasan formal-struktural tanggungjawabnya, apalagi batasan fisik tanggungjawab berdasarkan batas pagar sekolah.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di dalam lingkup sekolah akan berkurang jika pendidik memahami lingkup tanggungjawabnya secara utuh. Namun kekerasan dalam sekolah akan terus terjadi dan tetap akan menampar tanggungjawab kita sebagai pendidik jika batasan tanggungjawab kita sebagai pendidik kita pahami sekedar batasan pagar sekolah.

Perilaku kekerasan itu dapat terkikis jika pendidik menyadari tanggungjawab moralnya. Batas tanggungjawab pendidik adalah nilai-nilai moral, yaitu, menghindari tindakan dan kebijakan yang merusak dan mengejar nilai-nilai kebaikan. Jika nilai-nilai moral itu bukan menjadi batas yang mendefinisikan tanggungjawab kita sebagai pendidik, kekerasan itu akan tetap terjadi dalam lembaga pendidikan kita.

Kita tahu, krisis kepemimpinan moral telah kronis menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita. Namun jangan-jangan kita tidak pernah menyadari bahwa yang melahirkan mereka adalah kita sendiri, para pendidik negeri yang memahami batas tanggungjawabnya sekedar pada batasan pagar sekolah.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Media Indonesia, Kamis, 22 November 2007

Sunday 16 September 2007

Daftar Isi

BAB I
PENDIDIKAN KARAKTER SEBUAH TINJAUAN HISTORIS

1.1. Perang melawan lupa
1.2. Pendidikan karakter aristokratis ala Homeros
1.3. Pendidikan karakter populer dalam Hesiodos
1.4. Pendidikan karakter patriotis spartan
1.5. Pendidikan karakter harmonis ala Atena
1.6. Pendidikan karakter retoris Atena
1.7. Sokrates, “kenalilah dirimu sendiri”
1.8. Plato, “Mencetak seorang filsuf pemimpin”
1.9. Pendidikan karakter kosmopolitan hellenis
1.10. Pendidikan karakter ala Romawi
1.11. Pendidikan karakter kristiani
1.12. Pendidikan karakter modern
1.13. Pendidikan karakter F.W. Foerster
1.14. Pendidikan karakter di Indonesia

BAB II
PENDIDIKAN
2.1. Etimologi
2.2. Kegiatan manusiawi
2.3. Tindakan edukatif
2.4. Tindakan didaktis
2.5. Generasi yang sedang bertumbuh
2.6. Persoalan seputar tujuan pendidikan
2.6.1. Tiga fungsi normatif pendidikan
2.6.2. Asal usul tujuan pendidikan
2.6.3. Proses internal dan eksternal
2.6.4. Stabilitas dan fleksibilitas tujuan pendidikan
2.6.5. Persoalan seputar temporalitas tujuan pendidikan
2.6.6. Manusia menentukan tujuan pendidikan
2.6.7. Tujuan pamungkas pendidikan

BAB III
KARAKTER
3.1. Pemahaman umum tentang karakter
3.2. Dari kualitas menuju struktur
3.3. Paradoks pemahaman
3.4. Etimologi dan interpretasi atas karakter
3.5. Berbagai pendekatan tentang karakter
3.6. Mekanisme internal
3.7. Karakter mengarahkan individu ke masa depan
3.8. Menghormati ruang bagi misteri
3.9. Mengatasi karakter (beyond character)

BAB IV
PENDIDIKAN KARAKTER
4.1 Mengajarkan karakter?
4.2. Edukabilitas manusia
4.3. Urgensi Pendidikan Karakter
4.4. Kemunduran pendidikan karakter
4.5. Tujuan pendidikan karakter

BAB V
PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEDAGOGI
5.1. Pendidikan karakter sebagai pedagogi
5.2. Tiga matra pendidikan karakter
5.3. Sebelas kanon pengajaran moral menurut Komenský

BAB VI
PENDIDIKAN KARAKTER DAN PERISTIWA-PERISTIWA PENDIDIKAN
6.1. Visi pendidikan karakter lembaga pendidikan
6.2. Individu-individu dalam lembaga pendidikan (sekolah)
6.2.1. Etika profesi adalah jiwa pendidikan karakter di sekolah
6.2.2. Formasi guru
6.3. Individu dan lembaga keluarga
6.4. Individu dan lembaga sosial lain dalam masyarakat
6.5. Kebijakan negara

BAB VII
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

7.1. Pendidikan karakter (moral, nilai, agama dan kewarganegaraan?)
7.2. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter
7.3. Metodologi pendidikan karakter
7.3.1. Mengajarkan
7.3.2. Keteladanan
7.3.3. Prioritas
7.3.4. Praksis prioritas
7.3.5. Refleksi
7.4. Prinsip-prinsip dasar pendidikan karakter

BAB VIII
LOCUS EDUCATIONIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
8.1. Sekolah sebagai wahana aktualisasi nilai
8.2. Setiap perjumpaan adalah momen pendidikan nilai
8.3. Wawasan Wiyatamandala pada Masa Orentasi Sekolah
8.4. Manajemen kelas
8.5. Penegakan kedisiplinan di sekolah
8.6. Pendampingan perwalian
8.7. Pendidikan agama bagi pembentukan karakter
8.8. Pendidikan jasmani dan distorsi bagi pendidikan karakter
8.9. Pendidikan estetika dan bahayanya bagi pendidikan karakter
8.10. Mengembangkan kurikulum secara integral
8.11. Pendidikan kehendak melalui pengalaman

BAB IX
PENILAIAN PENDIDIKAN KARAKTER
9.1. Belajar dari kasus Ujian Nasional
9.2. Siapa yang berwewenang menilai?
9.3. Hakekat dan tujuan penilaian pendidikan karakter
9.4. Kriteria penilaian pendidikan karakter
9.5. Performa sekolah “membuat besi menjadi emas”
9.6. Menuju kepemimpinan pendidikan berkarakter

Epilog
MENUJU KEWARGANEGARAAN GLOBAL

Daftar Pustaka

Saturday 15 September 2007

Mati Sunyi Seorang Guru

Oleh. Doni Koesoema, A

Menjadi guru merupakan komitmen. Bahwa aku memilih secara bebas untuk menjadi guru berdasarkan nuraniku yang bening merupakan salah satu pegangan yang memberikan rasa aman di tengah masyarakat yang penuh ketidakpastian dan perubahan. Tak mengherankan, dalam sebuah masyarakat yang mendewakan materi, memuja ketidakjujuran, membiarkan penindasan, mati sunyi menjadi konsekuensi logis yang disandang oleh setiap guru.

Kidung populer tentang mati sunyi seorang guru bisa kita dengar dari syair guru Oemar Bakrie-nya Iwan Fals. Oemar Bakrie adalah seorang guru yang penuh dedikasi dan kesederhanaan. Hanya dengan sepeda kumbang dan tas kulit buaya ia bolak-balik kesekolah. Akhir lagu merupakan jeritan protes yang menggema terus hingga sekarang, mengapa, ia yang telah mencetak profesor, insinyur dan dokter, gajinya seperti dikebiri?

Namun, kisah dramatis lebih mengharukan tentang komitmen seorang guru nasionalis hanya dapat kita temukan dalam novel Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam(1951). Novel ini, dengan gaya bahasa realisme yang kuat, mengisahkan tentang sebuah keluarga nasionalis revolusioner yang keluarganya hancur berantakan karena revolusi kemerdekaan yang diperjuangkannya sendiri. Ayah dari tokoh utama, aku, adalah seorang guru yang komitmennya pada pendidikan bangsa begitu besar. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun itu kini sekarat tak berdaya karena digerogoti baksil tbc. Di sela dengus nafasnya yang tersengal-sengal, tanpa keluhan, hanya tergeletak di ranjang bambu reyot, ia berujar kepada anak yang menunggunya, terpatah-patah. “Aku tak mau jadi ulama… Aku mau jadi nasionalis… Karena itu, aku jadi guru... Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman...patriotisme, dengar?..karena itu aku mau jadi guru..jadi lembaga bangsa.”

Sebenarnya, guru yang berjuang dengan tbc-nya ini pernah ditawari untuk menjadi anggota perwakilan daerah, yang memungkinkannya mendapat perlakuan istimewa, misalnya dirawat di sanatorium, namun ia menolak, dengan alasan bahwa perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan lagi, ia tak suka menjadi badut, sekalipun itu badut besar. Jabatan sebagai pengawas sekolah di Pati pun ditolaknya.

Refleksi Pram tentang mati sunyi seorang guru, keluar dari mulut seorang dukun yang kebetulan jadi guru, yang pada waktu itu dimintai tolong untuk mengobati ayah si tokoh utama. Dukun ini menemui kenyataan pahit bahwa suatu ketika para muridnya hanya sedikit yang mau menjadi guru. “Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalau diantara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak menjadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara. Kemudian kunasehati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Seorang guru, bisa hancur secara fisik, bukan karena banyak tugas yang harus dikerjakan, namun karena komitmennya pada pendidikan, keprihatinannya pada masyarakat dan bangsa yang dicintainya. Dalam novel ini, dukun yang dimintai pertolongan itu begitu heran bahwa ayah si tokoh baru terkena penyakit paru-paru setelah tiga puluh tahun menjadi guru. “Alangkah kuatnya. Aku baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru—untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap jadi guru.”

“Barangkali penyakitnya itu didapatnya waktu jadi pengawas sekolah—tiap hari mengayuh sepeda limabelas sampai dua puluh kilometer,” paman si tokoh berkata.

“Tidak,” kata dukun itu.”Aku yang sudah lama jadi guru bisa mengatakan tidak. Sungguh, penyakitnya bukan karena itu. Karena beliau minta kembali jadi guru itulah sebabnya. Limabelas-dua puluh kilometer mengayuh sepeda bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid. Itulah gampang sekali menghancurkan seorang guru…”

Di tangan para gurulah sesungguhnya wajah keluarga, masyarakat dan bangsa kita akan terlukis. Karena perjuangan mereka yang tanpa nama, mereka layak sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun cukupkah jasa guru hanya dikenang dalam nyanyian sementara kehidupan ekonomis mereka semakin terpuruk? Hymne Guru, memang baik, tapi sekarang para guru telah bersikap kritis, bahwa penindasan itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Bahwa, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mulai dipertanyakan, sebab seringkali menjadi kedok ideologis semata.

Menjadi guru memang sebuah komitmen. Dan dalam tata masyarakat yang telah hancur sendi-sendi moralitasnya, mati sunyi adalah “salib” yang harus dipanggul dipundak setiap guru. Jika guru tetap berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, mungkin kita perlu bertanya juga pada diri, sejauh mana kemampuan negara memenuhi tuntutan mereka? Apakah arif kiranya, ketika negara yang berhutang sebanyak $ 74 milyar-- dan untuk membayar cicilan hutang yang jatuh tempo kita sibuk dengan penjadwalan utang dengan resiko kredibilitas dan nama baik bangsa dipertaruhkan --, para guru meminta kenaikan tunjangan sebesar lebih dari 100%?

Negara kita hancur bukan karena utang. Negara kita hancur karena ketidakjujuran bersimaharajalela, sehingga banyak kekayaan kita terkorupsi. Dan rupanya, kita, guru turut andil dalam membentuk mental negeri ini, ketika kita membiarkan saja anak didik kita menyontek. Jadilah kita mati sunyi karena kesalahan kita sendiri. Mungkin para guru perlu meresapkan benar-kata-kata Pram, “kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Doni Koesoema A. penulis adalah staf pendidik di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.

Artikel dimuat di Harian BERNAS, 28 April 2000.

Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Oleh Doni Koesoema, A

NURLAILA apa salahmu? Kamu curahkan cinta dan hidupmu untuk mencerdaskan bangsa. Namun, apa balasan yang kamu terima? Kamu dituduh melakukan tindak pidana dengan melakukan pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Munir yang membelamu saat itu berkata keras, "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama." Kini Munir telah pergi ke dunia abadi. Kini kamu sendiri. Sekolahmu pun tiada lagi. Para penjaga negeri telah membuatnya sepi penghuni. Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Mempertanyakan pembela Nurlaila tak lain mempertanyakan masa depan pendidikan. Jika arogansi kekuasaan yang berselingkuh dengan uang tidak mendapat kontrol rakyat, lembaga pendidikan kita akan kian sekarat. SMPN 56 Melawai, Jakarta Selatan, telah sepi. Dua sosok pencinta negeri menyeruak memori. Nurlaila dan Munir, dua sosok yang tak bisa dilepaskan saat kasus tukar guling antara Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara, menuai protes rakyat.

Sebagai tersangka

Nurlaila, guru sederhana SMPN 56 Melawai yang bersikukuh mengajar para siswa saat belum ada keputusan resmi pengadilan atas kasus sekolahnya, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan pemalsuan dokumen SMPN 56 Melawai. Pertengahan Juli 2004 ia diperiksa Satuan Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Kegiatannya mengajar siswa yang dilakukan di luar kelas menjadikannya seperti seorang kriminal tertangkap basah melakukan kejahatan.

Dalam surat panggilan pemeriksaan, Nurlaila dituduh melakukan tindak pidana pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Pelanggaran yang dikenakan didasarkan Pasal 62 Ayat (1) dan Pasal 71 UU No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional dan Pasal 263 KUHP tentang memasuki tempat (SMPN 56 Melawai), tanpa izin.

Almarhum Munir yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan, pertentangan antarpraktik dan konsep pendidikan seperti ini bukan tindak kriminal. Konsep pendidikan modern yang diusulkan guru-guru SMPN 56 Melawai saat itu adalah sekolah sebagai lingkungan belajar yang memiliki kedekatan dengan masyarakat sehingga siswa tidak tercabut dari lingkungan sosialnya. Sementara pemerintah melihatnya hanya sebagai urusan tata ruang dan bisnis. "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama."

Kepergian Munir, kesendirian Nurlaila, dan pengosongan sekolah secara paksa bukan hanya tragedi, tetapi sebuah pertanda. Kosongnya sekolah adalah kosongnya nurani bangsa. Kesendirian Nurlaila adalah sepinya jutaan guru yang turut berduka, tak hanya atas kepergian Munir yang berjanji mau membela kasus Nurlaila, tetapi juga tanda makin sepinya harapan negeri ini sedang menuju padang di mana matahari kebijaksanaan dan pengetahuan bersinar cemerlang.

Di tengah drama kekerasan menyedihkan ini, kita kian pilu melihat kenyataan bahwa pengosongan sekolah ini dibiayai uang rakyat! Pemerintah Provinsi DKI sudah menganggarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penertiban sekolah itu seperti operasi penertiban lainnya (Kompas, 20/11). Apa jadinya bangsa ini jika pemerintah menganggap kehadiran lembaga pendidikan setara dengan pedagang kaki lima yang layak digusur begitu saja?

Pengosongan sekolah secara paksa oleh sekitar 300 petugas Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta kian menunjukkan bahwa para pegawai, yang seharusnya menjadi pelayan bagi kesejahteraan rakyat, melindungi, dan menciptakan rasa aman dalam masyarakat, lebih gemar menggunakan cara-cara kekerasan.

Gagalnya pendidikan demokrasi

Pindahnya gedung sekolah yang lebih baik dan jaminan Pemprov DKI akan kelanjutan pendidikan para siswa sampai lulus tidak akan pernah dapat mengganti pengalaman traumatis yang dialami para siswa. Pengalaman traumatis kekerasan dan penggusuran akan selalu dikenang dan diingat seumur hidup.

Pemerintah sebagai aparat negara yang mengemban amanat pendiri negeri untuk memberikan pendidikan yang layak bagi tiap warga telah lupa, yang mereka gusur dan rusak bukan hanya bangunan fisik. Bagi anak-anak SMP usia 13-15 tahun itu, sekolah sebagai tempat, sebagai sebuah komunitas kecil dalam berinteraksi merupakan tempat berseminya nilai-nilai solidaritas dan rasa aman. Sekolah merupakan sebuah tempat di mana anak- anak berkumpul di bawah disiplin untuk belajar mengenali apa yang oleh komunitas dianggap penting.

Anak-anak tak hanya belajar apa yang mereka peroleh dari komunitas sekolah, tetapi juga dari dunia di sekitarnya. Anak-anak lebih banyak belajar dari yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Mereka melihat apa yang kita lakukan, mereka belajar dari cara kita menyelesaikan konflik. Bagi mereka, setiap "tempat" memiliki batasnya sendiri di mana pemahaman akan dunia secara perlahan menemukan bentuknya. Dunia merupakan pertentangan terus-menerus yang berguna bagi mereka dalam merangkai dan membingkai relasinya di masa depan. Mereka belajar bagaimana memiliki perbedaan pandangan dan menyelesaikan persoalan dengan penuh hormat. Komunitas sekolah merupakan lingkungan praktis yang membantu mempertajam intuisi hidup sama pentingnya dengan pengetahuan abstrak.

Lingkungan pendidikan seperti inilah yang tak pernah dipikirkan aparat pemerintah. Pamer kekerasan dengan mengerahkan ratusan petugas ketertiban hanya mengajarkan satu hal, yaitu tiap persoalan hanya akan berakhir jika diselesaikan dengan cara-cara kasar, menggunakan kekuasaan. Kasus Melawai mengajarkan pada anak-anak bahwa dunia pendidikan tidak penting dan dialog bukan sebuah nilai yang diterima di masyarakat. Tak hanya anak-anak yang tak berdaya menghadapi kekerasan, tetapi juga orang dewasa, seperti Nurlaila.

Siapa pembelamu kini?

Munir yang berjanji akan membela kasusmu telah pergi. Para pendiri bangsa yang mencita-citakan tiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan layak, raganya telah menyatu dengan tanah negeri ini. Orang-orang hebat itu tiada lagi. Namun, semangat mereka tak akan pernah mati. Kami yakin, tiap nurani yang cinta pada tanah pertiwi tidak akan pernah tuli pada cita-cita pendiri negeri. Ibu guru Nurlaila, jutaan orang di belakangmu. Ibu tidak sendiri. Kasus Melawai harus berhenti.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, Selasa, 23 November 2004.

Pendidikan Darurat Pasca Bencana

Oleh Doni Koesoema A
KONFLIK politik dan bencana alam memperparah situasi krisis dan penderitaan berkepanjangan di Aceh. Kita masih ingat, sebelum bencana, pembakaran sejumlah sekolah di Aceh akibat konflik politik. Kini gelombang tsunami menyapu dan meluluhlantakkan sejumlah sekolah dan menghancurkan sistem pendidikan.
Anak-anak selalu menjadi korban utama dalam konflik politik maupun bencana alam. Dunia pendidikan kita, yang dalam keadaan normal masih carut marut jika dilihat dari sudut manajerial, kini kian kacau dan tidak tahu lagi harus berbuat apa saat menghadapi krisis dan darurat akibat bencana.
Situasi darurat akibat krisis politik dan bencana alam bisa terjadi di mana saja. Maka, dalam pertemuan di Dakar, Senegal, April 2000, Unesco memikirkan dan mempelajari sebuah kerangka kerja bersama bagi kelangsungan pendidikan pada masyarakat yang ditimpa krisis politik maupun bencana. Pembahasan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat dan krisis merupakan pengejawantahan keprihatinan atas Deklarasi Hak- hak Asasi Manusia Universal, tertuang dalam Pasal 26 Ayat (1), "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis semestinya diberikan pada tingkat dasar atau tingkat paling fundamental. Pendidikan dasar merupakan hal amat esensial dan dilindungi oleh hukum".
Apa yang menjadi keprihatinan di balik pemikiran untuk mengantisipasi situasi pendidikan darurat dan krisis, entah akibat konflik politik maupun bencana, adalah tetap dijaga dan dihormatinya hak- hak dasar manusia atas pendidikan. Artikel 26 Ayat (1) menegaskan, pendidikan dasar yang tersedia dan dijamin hukum merupakan salah satu langkah nyata atas realisasi hak-hak dasar ini.
Dua sasaran utama menciptakan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat adalah terjaminnya pendidikan bagi semua (education for all) dan promosi pendidikan yang selaras dengan deklarasi hak-hak asasi manusia universal.
Memahami pendidikan sebagai hak fundamental inilah yang biasanya luput dari perhatian banyak orang, staf organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat bencana hebat seperti terjadi di Aceh dan penduduk sepanjang pantai tersapu gelombang. Konsentrasi pada evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan fundamental, seperti bahan makanan, obat- obatan, dan lain-lain membuat lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah tidak melihat kepentingan mendesak untuk segera merestorasi akses pendidikan bagi anak-anak yang tertimpa bencana. Mereka lupa, anak-anak bukanlah selimut atau tenda yang bisa disimpan lama sembari menunggu situasi normal untuk memulai kembali kelangsungan pendidikan yang mereka terima. Menunggu sampai situasi normal, baru kemudian memikirkan kelangsungan pendidikan, hanya akan memosisikan mereka sebagai "generasi yang hilang" dalam struktur dan tatanan masyarakat.
Penderitaan ganda
Situasi pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta.
Penderitaan ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Kedua, berhadapan dengan luluh lantaknya sistem pendidikan di Aceh dan daerah lain yang diterjang tsunami, pemerintah bekerja sama dengan LSM- LSM, baik internasional maupun nasional, mesti segera memikirkan kelangsungan pendidikan, terutama bagi anak- anak dengan memerhatikan dimensi psikologis yang mereka alami. Dalam hal ini, menyiapkan para guru yang dibekali pengetahuan psikologis untuk mengenali situasi kejiwaan anak-anak yang menjadi korban merupakan sebuah kemendesakan.
Membangun kembali prasarana dan sarana pendidikan pascabencana di satu sisi memberi semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai harkat kemanusiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar- akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan.
Memberi beasiswa bagi pelajar korban atau memindahkan mereka ke sekolah lain merupakan usaha yang patut dihargai, tetapi tetap bukan perwujudan adanya rasa krisis (sense of crisis) dan penghargaan bagi siswa yang menjadi korban bencana, mengingat situasi psikologis yang mereka alami begitu traumatis di mana program pendidikan nasional yang diterapkan dalam situasi normal amat jauh dari apa yang mereka butuhkan. Program pendidikan nasional tidak dapat diterapkan dalam situasi pendidikan darurat seperti terjadi di Aceh dan daerah bencana lain. Inilah yang harus diingat dan diperhatikan sebelum mengambil langkah-langkah penyelamatan atas kelangsungan pendidikan anak-anak korban bencana.
Tanggapan terhadap situasi pendidikan darurat sering fragmentaris karena adanya berbagai macam kesulitan di lapangan maupun dalam kerangka pemberian kewenangan. Untuk kasus Aceh, sudah semestinya pemerintah membuka akses sebesar-sebesarnya bagi lembaga internasional, seperti Unesco, agar mereka mampu bekerja sama dengan LSM-LSM lokal maupun nasional dalam membangun kembali dunia pendidikan di Aceh.
Sementara itu, sudah merupakan conditio sine qua non untuk mengatasi kendala yang bersifat politis, terlebih dalam menghentikan konflik bersenjata, membangun jalur dialog antara pihak pemerintah dan kelompok bersenjata di Aceh untuk menghentikan perang, dan turun tangan secara bersama-sama dalam menciptakan masa depan yang lebih baik yang menghormati kemartabatan sesama manusia.
Menciptakan kesadaran baru
Menyadari kemendesakan untuk segera membangun kembali situasi pendidikan di Aceh merupakan langkah awal yang baik guna memulai sebuah masyarakat baru yang menghargai hak-hak dasar manusia, seperti tercantum dalam deklarasi hak-hak asasi manusia universal dan UUD 1945 dalam kerangka pendidikan, terutama hak tiap orang untuk mengenyam pendidikan yang layak, apa pun situasi yang sedang mereka hadapi. Untuk ini, kepentingan politik, semestinya mengatasi kepentingan mendesak para korban yang kemanusiaannya diinjak-injak entah karena situasi politik sebelum maupun sesudah bencana.
Semoga kesadaran baru seperti ini merupakan langkah awal yang baik untuk menata kembali puing-puing reruntuhan sistem pendidikan di daerah-daerah yang terkena bencana, terutama di Aceh, yang hari-hari ini menjadi semakin istimewa. Sebab, bencana Aceh tak hanya mengabarkan duka di setiap keluarga umat manusia, tetapi sebuah momen kelahiran bagi sebuah solidaritas umat manusia universal yang mengatasi sekat-sekat agama, terlebih sekat-sekat politik yang selama ini membuat masyarakat Aceh terpuruk dalam lembah duka lara tiada tara.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma


Artikel dimuat di harian KOMPAS, Jumat, 07 Januari 2005

Pendidikan dalam Perjumpaan

Oleh. Doni Koesoema A.

“Tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi,” ujar seorang baby-sitter pada si buyung dalam gendongannya. Setiap kali si buyung mengenang ibunya kalimat yang keluar dari bibir baby-sitter itu seperti terdengar kembali. Itulah memori yang membekas kuat dalam benak Martin Buber (1878-1965) ketika sebagai bocah berusia 3 tahun ditinggal pergi oleh ibunya. Berlalu lebih dari sepuluh tahun ia baru memahami arti pengalamannya itu. Buber memahami sebuah realitas yang disebutnya sebagai ‘kegagalan perjumpaan nyata antarpribadi’ (Vergegnung). Dalam terang pengalamannya inilah Buber lantas mendefinisikan pendidikan sebagai “sebuah keputusan dari seorang pribadi untuk bertindak dalam relasinya dengan pribadi yang lain di dunia”(Friedman, M.1976:3). Pedagoginya sering disebut dengan pendidikan dalam perjumpaan.

Tiga relasi

Perjumpaan nyata antarpribadi adalah ciri hakiki sebuah pendidikan. Definisi Buber tentang pendidikan membawa kita menyadari tiga unsur penting yang inheren dalam proses pendidikan, yaitu, aku, kamu (baca, orang lain) dan dunia. Pendidikan memiliki misi mengarahkan keputusan setiap pribadi dalam kerangka kehadiran orang lain dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Karena itu, pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah relasi personal yang mendalam antarpribadi, bukan sekedar relasi fungsional pendidik (educator) dan murid (educando). Relasi ini terjadi dalam sebuah ruang publik seperti sekolah, masyarakat, bangsa, negara atau dunia. Ruang publik ini menjadi tempat berjumpa dalam rangka belajar bersama (locus educationis) dalam setiap tindakan pendidikan.

Kualitas sebuah pendidikan bisa dilihat bagaimana berbagai macam relasi dapat terbentuk dalam ruang-ruang yang menjadi locus educationis tersebut. Jika relasi pembelajaran hanya berfungsi secara teknis, maka guru hanya memandang murid sebagai semacam gelas kosong yang mesti diisi dengan berbagai macam ilmu. Jika relasi itu melibatkan unsur kekuasaan, entah kekuasaan yang dimiliki karena sebuah jabatan, misalnya, sebagai guru, kepala sekolah atau penilik sekolah, maka relasi yang terjadi akan makin koruptif-manipulatif. Guru menjual nilai, kepala sekolah dan staff sekolah memanipulasi anggaran sekolah berupa angka-angka fiktif manipulatif, penilik sekolah memanfaatkan kekuasaannya untuk memeras sekolah-sekolah elit berduit, dll. Siswapun tak kalah pintar. Jika mereka punya uang, guru dan nilai bisa dibeli sekaligus. Ebtanas tak jadi masalah sebab bisa beli bocoran soal.

Selain itu dampak sosial sebuah pendidikan yang gagal memaknai peranan penting perjumpaan antarpribadi bisa terlihat dalam meningkatnya berbagai macam tindak kekerasan yang cenderung melecehkan martabat satu sama lain. Tawuran pelajar, perkelahian mahasiswa, bahkan tawuran antar kampung merupakan manifestasi kegagalan sebuah perjumpaan yang dialami dalam hidup seseorang. Jika pendidikan tidak mempersiapkan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya untuk dapat menghargai pribadi lain maka berbagai macam konflik antar pribadi dan golongan bisa makin subur.

Dalam sebuah masyarakat multi-kultural, multi-religius, multi-etnis, seperti Indonesia pendidikan yang mengarahkan setiap pribadi agar dapat memaknai setiap perjumpaan mereka dengan orang lain merupakan kemendesakan yang tak dapat ditawar. Kegagalan memahami kehadiran orang lain sebagai pribadi yang berharga bagi diri setiap orang akan berdampak mengerikan. Jika sampai pada taraf massif bisa terjadi tindakan kekerasan dalam level horisontal fatal, seperti, genocide (karena tak bisa menghargai perbedaan etnis atau suku), bisa juga terwujud dalam tindakan diskriminatif rasial (hilangnya perlindungan atas hak-hak kaum minoritas karena tekanan mayoritas), atau bisa terwujud dalam pembasmian religius yang bermotifkan fundamentalisme agama.

Dunia berubah

Bagaimana seseorang berelasi satu dengan yang lain tidaklah sama dari waktu ke waktu. Tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Waktu berubah dan kitapun ikut berubah karenanya. Pepatah ini ingin mengatakan bahwa tata cara kita memandang ruang di mana kita hidup berubah. Waktu tentu akan tetap sama. Satu hari akan selalu terdiri dari 24 jam. Namun, lebih dari masa lalu perubahan mendasar yang kita alami adalah cara pandang kita terhadap ruang.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi memperpendek bahkan menghilangkan batas-batas fisik-spasial. Hadirnya komputer, maraknya sistem komunikasi multi-media lewat internet (chating, email, dll) semakin memperpendek jarak spasial yang ada. Perubahan cara pandang terhadap ruang melalui bahasa teknologi ini mempengaruhi salah satu proses dalam pendidikan yaitu transfer ilmu. Perubahan radikal pada proses transfer ilmu ini memiliki signifikasi tidak kecil bagi sebuah pedagogi pendidikan yang memberi penekanan pada unsur perjumpaan.

Menurut Jean-François Lyotard dalam The postmodern Candition: A report on Knowledge, dalam masyarakat yang terkomputerisasi, ilmu pengetahuan akan semakin valid dan terdiseminasi dengan subur jika bisa terkodifikasi dalam bahasa komputer yang bisa diakses oleh siapa saja. Monopoli ilmu adalah ilusi masa lalu. Bank data merupakan ensiklopedi masa depan. Mereka mengatasi kapasitas setiap pengguna (user). Bank data merupakan sebuah ‘kodrat’ bagi manusia pos-modern. Dengan kata lain, yang terkena sasaran langsung adalah peranan pendidik sebagai medium dalam proses pembelajaran. Sejauh proses pembelajaran dapat diterjemahkan dalam bahasa komputer, peranan tradisional guru bisa tergantikan oleh memori bank data. Proses didaktis bisa tergantikan oleh mesin yang menjembatani memori bank tradisional (perpustakaan) dengan memori bank modern (komputer) sesuai dengan kebutuhan siswa.

Proses alihfungsi parsial peran guru pada mesin sepertinya merupakan pelecehan terhadap kemanusiaan. Namun seperti disinyalir oleh Lyotard, proses didaktis tidaklah sekedar transformasi informasi, atau sekedar kepemilikan kompetensi (memiliki memori yang baik atau kemudahan akses pada komputer). Yang paling penting dalam proses didaktis modern adalah “kemampuan untuk mengaktualisasikan data-data yang relevan untuk memecahkan persoalan ‘saat ini-di sini’ dan kapasitas mengorganisasikan data-data ke dalam sebuah langkah strategis yang efisien.” (J.F.Lyotard,op.cit,51). Dalam kerangka ini guru bisa menemukan pintu masuk dalam berdialog dengan dunia.

Dalam masyarakat pos-modern ilmu telah terpublikasi secara penuh sehingga tak ada lagi monopoli ilmu. Data-data secara prinsip dapat diakses oleh siapa saja. tidak ada ada rahasia sains. Lyotard menyebut situasi ini sebagai sebuah permainan informasi sempurna (a game of perfect information). Dalam konteks ini salah satu keunggulan setiap proses belajar adalah kapasitas dalam menggabungkan berbagai macam data yang sepertinya terpisah itu ke dalam suatu wajah pengetahuan yang memiliki fungsi praktis dalam memecahkan persoalan konkret. Metode pembelajaran lintas ilmu (inter disciplinary studies) merupakan konsekuensi logis situasi ini. Siswa tidak bisa belajar secara sendiri. Ia membutuhkah partner jika ingin menjadi makin matang dan dewasa dalam proses pendidikan. Maka kehadiran orang lain dalam proses belajar menjadi penting.

Apa yang direfleksikan oleh Martin Buber tentang pentingnya perjumpaan antar pribadi menjadi sangat penting dan relevan. Masyarakat pos-modern menekankan pentingnya sebuah dialog terbuka satu dengan yang lain. Kehadiran pribadi lain menjadi bermakna ketika diletakkan dalam kerangka proses transformasi masyarakat sebab pendidikan pada hakekatnya merupakan cara berelasi antar pribadi satu sama lain dalam kerangka memecahkan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi.

Menjadi guru di dalam masyarakat pos-modern akhirnya merupakan kinerja seni. Ia seperti seorang pelukis yang mengajak muridnya membuat sebuah lukisan secara bersama-sama. Dalam kerangka ini, pedagogi pendidikan dalam perjumpaan seperti direfleksikan oleh Martin Buber merupakan perwujudan emansipasi kemanusiaan kerangka transformasi masyarakat untuk mencari jalan-jalan alternatif terbaik bagi berlangsungnya kehidupan.

Kepada para pendidik tradisional yang masih merasa diri sebagai pemilik ilmu, kepada para pendidik yang masih yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya protagonista dalam proses pendidikan, juga kepada para murid yang merasa bisa melangkah sendiri dalam mencari ilmu, yang mengabaikan kehadiran guru dan temannya sendiri, mungkin baik juga mengenang ingatan Martin Buber akan ibunya dan mengatakan kepada mereka, “tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi.” Orang-orang seperti itu memang tidak pernah boleh kembali lagi dalam proses pendidikan kita yang ingin memaknai setiap perjumpaan dan pertemuan dengan yang lain dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi dan layak huni.

Doni Koesoema A. mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2004

Pendidikan Keagamaan